- Selama 79 tahun Indonesia merdeka, sektor perikanan dinilai masih menghadapi tantangan serius, terutama dalam rantai pasok dan eksploitasi sumber daya laut.
- Alih-alih menjadi penopang ketahanan serta penggerak perekonomian nasional, berbagai persoalan masih membayangi nelayan-nelayan kecil.
- Keberpihakan dan kebijakan sektor maritim di era pemerintahan baru justru melemah. Hal ini tercermin dari dihapuskannya Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi.
- Perlu investasi besar untuk memajukan sektor perikanan, karena 62 persen wilayah Indonesia merupakan laut.
Pemerintah perlu menyusun peta jalan dan cetak biru pembangunan perikanan tangkap yang komprehensif, holistik, benar, dan diimplementasikan secara berkesinambungan. Dengan demikian, target dan pembangunan untuk mewujudkan perikanan tangkap yang menyejahterakan nelayan dan berkelanjutan bisa tercapai.
Tanpa langkah ini, kondisi nelayan diyakini akan tetap rentan terhadap kemiskinan, dan praktik Illegal Unreported And Unregulated (IUU) Fishing akan terus terjadi.
Hal ini disampaikan Rokhmin Dahuri, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, dalam diskusi bertajuk “Arah Kebijakan Baru Pemerintah Indonesia pada Tata Kelola Perikanan” yang diadakan oleh Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) secara hybrid di Jakarta belum lama ini.
Rokhmin prihatin selama 79 tahun Indonesia merdeka, wajah sektor perikanan masih menghadapi tantangan serius, terutama dalam rantai pasok. Selain itu, kondisi sumber daya ikan terkuras karena jumlah kapal ikan terus bertambah. Sedangkan habitat perairan laut tempat nelayan menggantungkan hidup tercemari.
Dia menyayangkan bahwa dengan kondisi ini, keberpihakan dan kebijakan sektor maritim di era pemerintahan baru justru melemah. Hal ini tercermin dari dihapuskannya Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, karena dinilai kinerjanya tidak menghasilkan ekonomi yang signifikan.
Baca : Sakti Wahyu Trenggono Kembali Pimpin KKP, Sektor Kelautan dan Perikanan Akan Lebih Baik?
- Advertisement -
Diskusi bertajuk “Arah Kebijakan Baru Pemerintah Indonesia pada Tata Kelola Perikanan” yang diadakan oleh Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) secara hybrid di Jakarta. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Oleh karenanya, kebijakan dan program subsektor perikanan tangkap seharusnya lebih mengutamakan kesejahteraan mayoritas nelayan, terutama nelayan kecil yang jumlahnya mencapai 80 persen.
“Nelayan kecil harus dapat hidup sejahtera dengan rata-rata pendapatan minimal Rp.7,5 juta per bulan,” ujarnya.
Rokhimin juga menyarankan pemerintah untuk melakukan kaji ulang terhadap kebijakan perikanan di tahun 2022-2024, termasuk terkait penangkapan ikan terukur, penarikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) usaha penangkapan ikan yang terlalu tinggi, ekspor benih bening lobster, serta penambangan dan ekspor pasir laut.
Komitmen Astacita dan Ekonomi Biru
TA Khalid, Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Gerindra, menyatakan bahwa program ekonomi biru saat ini telah berjalan dan menjadi bagian dari komitmen Astacita di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Dia menekankan pentingnya optimalisasi anggaran untuk mendukung pembangunan infrastruktur dasar dalam sektor kelautan dan perikanan. “Jika anggaran tidak cukup, sulit mencapai hasil yang diharapkan,” katanya.
Untuk itu, alokasi anggaran terutama dalam mendukung pembangunan infrastruktur dasar yang mendukung sektor kelautan dan perikanan ini menjadi penting.
Dalam kesempatan yang sama, Dani Setiawan, Ketua Umum KNTI berpandangan, dengan adanya perhatian pemerintahan baru terhadap agenda ketahanan pangan dan swasembada pangan menjadi bagian yang penting untuk diperhatikan dan diperkuat.
Untuk mendukung misi ketahanan pangan ini, lanjut Dani, sektor kelautan dan perikanan memegang peranan yang sangat penting yang tidak bisa dipisahkan. Dari nelayan kecil, katanya, kebutuhan protein pangan bangsa dari sektor perikanan mampu tercukupi.
Alih-alih menjadi penopang ketahanan serta penggerak perekonomian nasional, Dani menyayangkan berbagai persoalan yang masih membayangi nelayan-nelayan kecil sehingga kondisinnya banyak yang miskin, bahkan mengalami kemiskinan yang ekstrem di daerah pesisir.
Disamping itu, wilayah-wilayah penangkapan nelayan kerapkali berhadapan dengan sektor usaha lain yang pada akhirnya menyingkirkan keberadaan mereka. “Antara nelayan dan aktivitas non nelayan yang seringkali sektor perikanan ini kalah dalam perebutan ruang,” katanya.
Baca juga : Nelayan Indonesia Desak Keadilan di Sektor Kelautan dan Perikanan
Nelayan tradisional membereskan ikan hasil tangkapannya di pesisir Jakarta, DKI Jakarta. Nelayan kecil harus dapat hidup sejahtera dengan rata-rata pendapatan minimal Rp7,5 juta per bulan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Pencemaran laut dari plastik maupun tumpahan minyak juga masih menjadi masalah besar yang dihadapi nelayan-nelayan di daerah.
Tak hanya itu, Dani juga menyoroti, persoalan nelayan yang masih belum bisa mengakses permodalan, teknologi, pasar. Selain itu juga masih lemahnya pengorganisasian nelayan dan pembudi daya ikan di Indonesia.
Oleh sebab itu, untuk meningkatkan produktivitas sektor perikanan, Dani berpandangan pemerintah perlu melakukan perbaikan-perbaikan tata kelola, sekaligus menjawab persoalan kemiskinan ekstrem yang terjadi di masyarakat nelayan di pesisir.
Untuk mendorong berkembangnya roda ekonomi masyarakat pesisir yang hidupnya bergantung pada sektor kelautan dan perikanan ini, kebijakan fiskal moneter alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD) menurut Dani juga perlu dikawal.
“Upaya untuk mendorong keseimbangan dan keadilan antar wilayah dalam pemanfaatan juga harus menjadi agenda pokok,” katanya. Termasuk juga kebijakan industri dan perdagangan. Yang perlu diperhatikan misalnya soal perizinan kualitas mutu, akses pasar baik di dalam maupun luar negeri. Sehingga produk-produk perikanan Indonesia bisa lebih kompetitif dengan adanya dukungan dan bantuan dari negara.
Perlunya Relaksasi Kebijakan
Sedangkan Hendra Sugandhi, Ketua Bidang Perikanan dan Peternakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkapkan, minimnya investasi masih menjadi kendala dalam pengembangan sektor perikanan.
Dalam paparannya Hendra mengemukakan, dalam satu dekade, pada periode 2014-2023 kontribusi sektor perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional hanya berkisar 2,3-2,6 persen, menunjukkan stagnasi. Investasi di sektor perikanan di Indonesia di periode yang sama hanya Rp11,7 triliun. Angka yang dianggap masih sangat kecil.
Untuk itu, bila sektor perikanan ingin maju, maka investasinya harus besar. Sebab, 62 persen wilayah Indonesia merupakan berupa laut. Relaksasi kebijakan di sektor perikanan dan kelautan juga menjadi krusial untuk pertumbuhan ekonomi biru.
Hendra juga menyoroti bahwa meskipun potensi sumber daya ikan meningkat signifikan, peningkatan tersebut belum tercermin dalam PDB perikanan. Bahkan, meskipun produksi perikanan tangkap laut meningkat lebih dari 20%, volume ekspor malah menurun sekitar 18%.
“Ada ketimpangan besar antara potensi PDB dengan volume ekspor. Yang terpenting adalah kapasitas penangkapan ikan yang kita miliki,” jelasnya.
Baca juga : 2023, Tahun Puncak Perampasan Ruang Laut di Indonesia
Wilayah-wilayah penangkapan nelayan kerapkali berhadapan dengan sektor usaha lain yang pada akhirnya menyingkirkan keberadaan mereka. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Dalam program hilirisasi yang meliputi 28 komoditas, termasuk empat komoditas perikanan sudah dilakukan industri pengolahan ikan, namun masih terkendala oleh kurangnya pasokan bahan baku ikan utuh seperti tuna, cakalang, rajungan dan makarel, yang harus diimpor dari berbagai negara untuk meningkatkan tingkat pemanfaatan industri pengolahan. Akibatnya, volume impor produk perikanan meningkat sebesar 67,5% dari 2014 hingga 2023.
Hendra berpendapat, bahwa untuk mendorong investasi dan hilirisasi perikanan, perlu dilakukan perbaikan regulasi yang selama ini menjadi penghambat bagi dunia usaha. Salah satunya yaitu pengenaan tarif PNPB dari hasil perikanan yang dirasa memberatkan pelaku usaha di sektor ini.
Menurut Hendra, untuk mendorong revitalisasi dan peningkatan produksi, pemerintah perlu memastikan jumlah sebenarnya dari kapal ikan yang aktif beroperasi, bukan hanya mengandalkan data dan potensi yang ada.
Disamping itu, kuota jumlah tangkapan ikan dalam PP No 11 tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT) telah mengabaikan status tingkat pemanfaatan. Sistem kuota PIT juga berpotensi melahirkan rent seeker. Jika dijual ke pihak asing, maka akan membahayakan usaha penangkapan ikan nelayan lokal.
Sementara itu, Hamdan Nurul Huda, Ketua Tim Kerja Harmonisasi Perizinan, Direktorat Perizinan dan Kenelayanan, Ditjen Perikanan Tangkap, KKP mengemukakan, pengelolaan perikanan adalah sebuah lingkaran atau proses yang tidak ada putus-putusnya, baik dari perencanaan, implementasi dan evaluasi untuk mencapai hasil yang semakin baik.
Dengan demikian, dalam prosesnya perlu sinergi, kolaborasi, dan gagasan dari seluruh pemangku kepentingan menjadi salah satu kunci untuk memajukan sektor kelautan dan perikanan.
“Terlebih di Indonesia yang memiliki keberagaman sumber daya, habitat, alat tangkap, hingga keberagaman stakholder. Kerjasama yang erat sangat diperlukan,” tandasnya. (***)
10 Tahun Kebijakan Perikanan: Realita Perikanan Berkelanjutan Indonesia
Sumber: Mongabay.co.id