- Komunitas Anak Sungai di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan berhasil memanfaatkan kotoran kelelawar (guano) menjadi pupuk organik. Prosesnya melalui fermentasi bahan-bahan alami untuk meningkatkan kualitas nutrisi pupuk.
- Awalnya, pupuk guano ini menjadi solusi bagi petani yang kesulitan mengakses pupuk subsidi. Selain itu, penggunaan pupuk organik ini juga diharapkan dapat mengubah pola pikir masyarakat untuk beralih dari penggunaan bahan kimia ke bahan alami.
- Pupuk guano memiliki kadar fosfat dan nitrat tinggi yang berperan memperbaiki kondisi tanah dan nutrisi tanaman. Selain lebih sehat, hasil panen yang menggunakan pupuk ini cenderung memiliki bobot yang lebih baik dibandingkan dengan pupuk kimia.
- Sembari memproduksi pupuk guano, Komunitas Anak Sungai juga mengedukasi masyarakat tentang manfaat pupuk organik. Mimpi mereka agar kampung mereka terkenal dengan pertanian organik.
Bersama dengan dua temannya, Naharuddin menaiki kaki bukit pegunungan karst Rammang-Rammang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Berbekal senter, karung dan tali, mereka memasuki gua untuk mengambil kotoran kelelawar. Biasa dikenal dengan guano. Selanjutnya, guano diolah menjadi pupuk organik.
Tiap anak tangga bambu mereka naiki setinggi lima meter untuk mencapai gua–tempat bersarang kelelawar. Kata Nahar, bulan ini menjadi waktu yang tepat untuk panen kotoran kelelawar. Biasanya mereka akan mengambil saat cuaca tidak hujan dan memproduksinya sebelum musim tanam tiba.
Sejak 2017, Naharuddin, salah satu anggota Komunitas Anak Sungai bertanggung jawab dalam pengelolaan pupuk dari kotoran kelelawar—biasa disebut pupuk guano. “Tidak semua (petani) bisa mengakses pupuk subsidi. Dari situ kami berpikir untuk mengembangkan pupuk organik ini,” ceritanya saat ditemui Mongabay pada Juni 2024 lalu.
Setiap panen guano, Naharuddin, anggota Komunitas Anak Sungai bersama dua temannya menaiki bukit pegunungan karst Rammang-Rammang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Dua diantaranya masuk ke gua, sedangkan Nahar menunggu operan guano keluar dari gua melalui tali. Foto: Sharlah Aulia Kahar/ Mongabay Indonesia
Saat panen tiba, bersama para pengepul guano, Nahar berbagi peran. Dua orang masuk ke dalam gua untuk mengambil guano, sisanya menerima hasil panen keluar dari gua. Biasanya guano dikumpulkan ke dalam karung, lalu satu per satu karung dioper dengan tali keluar gua.
“Pengetahuan (manfaat) dari pupuk guano ini lahir secara turun temurun,” ujarnya. Dia tahu dari kebiasaan sang kakek dalam mengolah lahan pertaniannya.Tak hanya memiliki manfaat bagi lahan, penggunaan pupuk ini membuat hasil pangan yang lebih sehat.
- Advertisement -
Dia bilang, mayoritas petani di Kabupaten Rammang-Rammang kini memiliki ketergantungan terhadap pupuk subsidi pemerintah. Namun, ketersediaan pupuk subsidi tidak sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan.
“Awalnya pupuk guano ini hadir untuk jadi solusi karena kelangkaan pupuk, lalu kami memang mau merubah pola pikir masyarakat yang awalnya menggunakan bahan kimia untuk beralih ke organik,” katanya.
Baca juga: Guano: Si Emas Putih yang Punya Nilai Ekonomi Tinggi
Nutrisi dalam pupuk guano
Setelah guano dipanen, guano akan dicampur dengan bahan-bahan alami di granulator. Tiap bahan alami memiliki kandungan manfaat yang berbeda. Foto: Sharlah Aulia Kahar/ Mongabay Indonesia
Di belakang rumah Komunitas Anak Sungai, beberapa anggota terlihat sibuk. Ruangan seukuran garasi mobil ini menjadi lokasi penyimpanan sekaligus pengolahan pupuk guano. Ada dua proses, pertama pembuatan nutrisi melalui fermentasi, selanjutnya pencampuran.
Proses fermentasi dilakukan secara alami dari limbah sisa rumah tangga. Tiap jenis fermentasi memiliki manfaat yang berbeda-beda. “Toples berisi kangkung mengandung kalium, ikan bandeng itu nitrogen, jantung pisang untuk fosfor, sedangkan pepaya mentah atau pisang bonyok itu kalsium,” ujar Nurnia, anggota Komunitas pada bagian pengolahan sambil menunjuk tiap toples.
Fermentasi kangkung biasa dilakukan dengan mencacahnya, mencampurnya dengan gula merah dan mendiamkannya selama tujuh hari. Hal yang sama dilakukan pada bahan lainnya.
Tak hanya itu, proses pupuk guano juga membutuhkan pestisida nabati. “Ini dari cacahan jahe dan bawang putih yang kita fermentasikan,” ujarnya.
Pupuk guano memiliki kadar fosfat dan nitrat tinggi yang berperan memperbaiki kondisi tanah dan nutrisi tanaman. Foto: Sharlah Aulia Kahar/ Mongabay Indonesia
Setelah fermentasi siap digunakan, Nahar bersama pengepul lainnya mengambil guano dan mencampurnya. Pertama-tama, mencampur guano dan bahan fermentasi dalam granulator. “Meski pakai alat, tetap harus diaduk manual lagi pakai tangan,” cerita Nahar sambil mengaduk bahan tersebut hingga merata.
Tekstur guano sedikit padat, semakin halus setelah diaduk dengan granulator dan bercampur dengan bahan lainnya. “Setelahnya kami kemas dengan karung, didiamkan sekitar dua minggu sampai akhirnya pupuk siap digunakan,” ujarnya.
Awalnya, komunitas ini melakukannya secara relawan untuk memasok pupuk kepada petani. Hingga akhirnya, pemerintah desa pun memberi dukungan dalam inisiatif pengembangan pupuk guano bersama komunitas dan masyarakat. Kini, masyarakat pun bisa mendapatkan pupuk guano dengan harga lebih terjangkau, sekitar Rp 50.000 per karung. “Ini tidak meraup keuntungan. Setidaknya ada modal untuk kembali membeli bahan bakunya.”
Baca juga: Berebut Ruang di Rammang-Rammang
Edukasi pupuk guano untuk pertanian
Deretan gunung karst yang ditumbuhi vegetasi alami menjadi daya tarik tersendiri bagi kawasan ini. Kawasan ini sempat menjadi incaran tambang marmer, meski kemudian dibatalkan di tahun 2013 karena penolakan warga. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia
Pupuk guano menjadi salah satu komoditas yang juga diperdagangkan secara global. Indonesia menjadi salah satu negara eksportir pupuk guano ke Amerika, Australia dan China. Sulawesi, Maluku, Papua, Sumatera, Madura hingga Nusa Tenggara Timur tercatat penghasil pupuk guano.
Tak hanya menjual pupuk guano, komunitas Anak Sungai juga melakukan penyadartahuan kepada masyarakat tentang manfaat pupuk organik. Sama dengan masyarakat pada umumnya, Nahar memiliki keraguan untuk mencoba dengan pupuk guano. Tapi setelah berkali-kali mencoba, hasilnya memuaskan.
Meski secara kuantitas tidak lebih unggul, Nahar bercerita gabah dari hasil panen yang dihasilkan memiliki bobot yang lebih besar. “Kalau pakai pupuk urea, meski banyak hasilnya tapi (gabahnya) kosong.”
Lukman, penulis dalam Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (2022) menyebutkan pupuk guano memiliki kadar fosfat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk organik lainnya, seperti pupuk kandang atau limbah pertanian. Kadar fosfat mendorong pertumbuhan dan pembungaan, serta perbanyakan akar. Sehingga nutrisi buah dan tanahnya semakin cepat.
“Guano digunakan sebagai pupuk untuk memperbaiki kondisi tanah serta menyediakan unsur hara bagi tanaman, dan untuk menambah kandungan bahan organik tanah serta memperbaiki sifat fisik tanah, terutama struktur dan porositas tanah agar jumlah hara yang dibutuhkan oleh tanaman lebih banyak tersedia,” tulisnya.
Jalan setapak setelah sampai di Kampung Massaleong, Salenrang, Maros yang belum tertata. Foto : Nur Suhra Wardyah/Mongabay Indonesia
Dia juga melakukan penelitian pada tanaman jagung manis. Perbedaan bobotnya bisa mencapai selisih 1,5 kg antara tanah tanpa nutrisi pupuk guano dengan lahan yang dipupuk 7 ton per hektar.
Sama dengan Lukman, penelitian Universitas Padjajaran (2022) menyebutkan pupuk guano mengandung kadar fosfat dan nitrat yang bermanfaat sebagai sumber nutrisi bagi tanaman. Penelitian yang dilakukan pada pertumbuhan anggur laut menyebutkan adanya kenaikan bobot komoditas tersebut, ukuran serta jumlah ramuli yang lebih banyak.
Nahar bercerita, butuh waktu baginya untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Ini karena perlu adanya waktu untuk memperbaiki unsur hara yang ada di dalam tanah. “Sekarang jumlah panenan sudah stabil, meski prosesnya tidak instan.”
“Ya harapannya masyarakat bisa merasakan manfaatnya. Mampu mewujudkan kampung yang dikenal dengan pertanian organik dan mengatasi kelangkaan pupuk,” pungkasnya. (***)
Pupuk Organik, Banyak Manfaat tapi Sepi Peminat
*Sharlah Aulia Kahar, mahasiswa Antropologi Universitas Hasanuddin. Dia menerima fellowship Into the Climate Stories Makassar. Kini dia sedang menekuni relasi antara manusia dan lingkungan, sebuah inspirasi dari novel yang baru saja dia baca.
Sumber: Mongabay.co.id