- Regulasi Anti Deforestasi Uni Eropa (EUDR) tengah di persimpangan jalan. Komisi Uni Eropa mengusulkan penundaan implementasi EUDR selama 12 bulan. Berbagai kalangan masyarakat sipil di Indonesia pun merespon dan melihat berbagai kemungkinan risiko kalau ada penundaan.
- Pada 2 Oktober lalu, Komisi Uni Eropa mengumumkan usulan penundaan implementasi EUDR yang semula pada 30 Desember 2024 jadi 30 Desember 2025 untuk perusahaan besar dan 30 Juni 2026 untuk usaha mikro dan kecil.
- Andi Muttaqien, Direktur Eksekutif Satya Bumi, mengatakan, ada tiga unsur EUDR yang penting untuk perbaikan tata kelola komoditas yang diatur: deforestasi, keterlusuran dan legalitas.Tiga hal ini, merupakan kunci mendorong perbaikan tata kelola komoditas apapun di Indonesia.
- Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, EUDR ini, seharusnya jadi salah satu momentum yang Pemerintah Indonesia untuk melakukan perbaikan tata kelola. Walaupun, ada atau tidak ada aturan ini sudah seharusnya Pemerintah Indonesia, lakukan pembenahan.
- Advertisement -
Regulasi Anti Deforestasi Uni Eropa (EUDR) tengah di persimpangan jalan. Komisi Uni Eropa mengusulkan penundaan implementasi EUDR selama 12 bulan. Berbagai kalangan masyarakat sipil di Indonesia pun merespon dan melihat berbagai kemungkinan risiko kalau ada penundaan.
Pada 2 Oktober lalu, Komisi Uni Eropa mengumumkan usulan penundaan implementasi EUDR yang semula pada 30 Desember 2024 jadi 30 Desember 2025 untuk perusahaan besar dan 30 Juni 2026 untuk usaha mikro dan kecil.
Bagi Indonesia, penundaan ini bisa memperlemah upaya pembenahan tata kelola sawit di Indonesia.
“Kami tidak menyangka proposal itu bisa keluar dari Komisi (Uni Eropa). Padahal mereka yang selama ini menyusun berbagai instrumen pasca EUDR,” kata Andi Muttaqien, Direktur Eksekutif Satya Bumi, dalam media briefing di Jakarta, Oktober lalu.
Sekalipun penundaan 12 bulan untuk memberikan waktu persiapan implementasi tetapi Andi menilai ada risiko pelemahan EUDR.
Mengapa? Bukan tak mungkin ada pembukaan lagi dokumen yang selama ini disepakati dalam poin regulasi anti deforestasi. Salah satunya, seperti syarat pengambilan data dari Uni Eropa, bukan data negara produsen.
Kalau mengacu pada data negara produsen, katanya, angka dan perspektif akan berbeda. Pun demikian dengan sistem benchmarking yang seharusnya tidak terganggu gugat.
“Sebenernya inilah yang paling kuat. Karena pemerintah Indonesia sama sekali tidak mau ada negara lain yang menilai mereka masuk dalam low, medium, atau high risk deforestasi di dunia,” katanya.
Ada tiga unsur EUDR yang penting untuk perbaikan tata kelola komoditas yang diatur: deforestasi, keterlusuran dan legalitas.Tiga hal ini, katanya, merupakan kunci mendorong perbaikan tata kelola komoditas apapun di Indonesia.
“Ketika ditunda, tidak ada lagi faktor eksternal atau pendorong yang memaksa bisnis di Indonesia untuk memperbaiki diri. Itu sayang banget [ditunda],” kata Andi.
Aetidaknya ada 17,1 juta hektar hutan alam sudah terbebani izin dan berpotensi terdeforestasi. Sekitar 2,6 juta hektar, katanya, merupakan izin sawit.
Kajian juga menunjukkan perkebunan sawit saat ini bergerak ke arah timur Indonesia, termasuk Papua, dengan tutupan hutan alam masih rapat.
“Inilah yang ideal ketika EUDR itu diimplementasi penuh Januari 2025, mencegah deforestasi karena ada syarat ketertelusuran, due diligence bagi para supplier di Indonesia untuk suplai sawit dan komoditas lain ke Uni Eropa.”
Perempuan di Semende secara adat adalah pemegang hak kelola kebun kopi milik keluarganya. Foto: Muhammad Tohir/Mongabay Indonesia
Petani sudah bersiap
Marselinus Andry, Kepala Departemen Advokasi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menyesalkan, penundaan implementasi EUDR. Pasalnya, sudah banyak petani bersiap dan membenahi tata kelola mereka untuk bisa penuhi aturan ini.
“Harapan kami, EUDR bisa membentuk harga yang adil di level petani. Selama ini, jadi masalah di Indonesia,” katanya.
Petani sawit anggota SPKS, katanya, sudah lakukan pembenahan tata kelola sejak 2015. “Kami sudah memikirkan bagaimana perbaikan tata kelola itu harus mulai dengan penguatan data dan pemetaan kebun-kebun petani agar proses legalitas dan keterlacakan maupun komitmen no deforestasi bisa mudah dilakukan,” katanya.
Berdasarkan catatan SPKS, petani sudah keluar dana sampai Rp200.000 per persil. Petani sudah beralih dari sistem manual dengan membuat center data sawit.
“Yang sudah ter-input lebih dari 70.000 data. Ini masih terus dilakukan, termasuk petani-petani yang sudah certified ISPO dan RSPO,” katanya.
Petani, katanya, tinggal menunggu instrumen teknis bangun sistem keterlusuran. Hal itu yang seharusnya bisa pemerintah dan Uni Eropa, siapkan.
Selama ini, dukungan Uni Eropa dan Pemerintah Indonesia sangat minim untuk perbaikan tata kelola bagi petani, termasuk agar mereka bisa memenuhi ketentuan EUDR.
Karet masih menjadi andalan petani di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
Pemerintah harus berbenah
Penundaan EUDR tidak seharusnya menjadikan pemerintah Indonesia terlena di tengah industri sawit yang masih banyak persoalan. Perbaikan tata kelola harus dilakukan ada atau tanpa EUDR.
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, EUDR, merupakan instrumen business to business (B2B). EUDR ini, seharusnya, jadi salah satu momentum yang Pemerintah Indonesia untuk melakukan perbaikan tata kelola. Walaupun, ada atau tidak ada EUDR sudah seharusnya Pemerintah Indonesia, lakukan pembenahan.
Perbaikan tata kelola, katanya, tidak hanya untuk memastikan tidak ada lagi deforestasi, juga menghormati dan melindungi hak masyarakat adat maupun komunitas lokal di sekitar perkebunan. Dengan ada EUDR, sejatinya jadi alat perbaikan isu ini.
“Sangat disayangkan kalau EUDR ditunda. Karena kita mau uji sebetulnya, apakah barang ini bagus untuk perbaikan tata kelola ini.”
Senada dengan Uli, Denny Bathara, Pengampanye Senior Kaoem Telapak, mengatakan, EUDR bisa jadi batu loncatan perbaikan tata kelola, terutama untuk masalah menahun terkait HAM, hukum, dan masyarakat adat.
“Kami melihat penundaan sebagai opsi yang kurang bijak. Karena akan melemahkan proses perbaikan yang sudah terjadi saat ini. Jika terjadi, Indonesia harus benar-benar jauh lebih siap,” katanya.
Koalisi Masyarakat Sipil memberikan pernyataan tentang EUDR. Menurut koalisi yang terdiri dari 45 organisasi termasuk LSM, serikat petani dan buruh perkebunan, organisasi Masyarakat Adat, komunitas lokal, serta perwakilan perempuan dan pemuda ini, perbaikan tata kelola komoditas tidak hanya akan memenuhi persyaratan EUDR, juga meningkatkan daya saing, melindungi lingkungan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Seorang petani sawit sedang memanen tandan buah sawit di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Foto : Transparansi Internasional Indonesia
*******
Gugus Tugas Bersama EUDR Tertutup? Berikut Masukan Koalisi Masyarakat Sipil
Sumber: Mongabay.co.id