- Tangkapan nelayan gurita di Teluk Totikum Selatan, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, menurun drastis sejak tahun 2019
- Vandalisme dan penggunaan bom ikan yang merusak karang menyebabkan air laut keruh, berdampak pada berkurangnya populasi gurita
- Pakar Kelautan Universitas Hasanuddin, Syaifudin Yusuf, menjelaskan putaran arus laut deras mengangkat sedimen di dasar laut yang terumbu karangnya telah hancur membuat air laut keruh sehingga gurita menghilang.
- Menurunnya jumlah tangkapan gurita menambah beban kemiskinan nelayan pesisir teluk Totikum Selatan.
Padang lamun yang menghampar dan menjulang tinggi satu meter lebih di bawah permukaan laut yang mulai surut, terlihat bergerak ikuti irama arus. Rumput laut berlomba menggapai pantulan sinar matahari pagi yang muncul dari balik gunung karst Pulau Peling yang setengah tandus, menyinari perairan Teluk di Kecamatan Totikum Selatan, Kabupaten Banggai Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tengah, di pertengahan Oktober 2024.
Di sini ada ungkapan nyeleneh ‘kering dayung, kering balanang (periuk)’. Dan air surut di pagi hari menjadi satu keberuntungan bagi nelayan penangkap gurita yang tidak dapat digantikan dengan tanda-tanda alam di waktu lain. Mereka bergegas mengemudikan mesin ketinting barang sesaat ke arah selatan.
Mereka mendatangi area terdekat yang masih terdapat gugusan terumbu karang yang sehat setelah melintasi titik-titik dengan kondisi terlihat jelas serakan terumbu karang yang hancur.
Tidak jauh dari area karang yang hancur, arus laut terasa berbeda, lebih deras. Para nelayan mematikan mesin dan memasrahkan diri di atas perahu hanyut mengikuti arus laut yang mengalir keluar dari Teluk Totikum Selatan.
Di atas perahunya, Yudi Muhammad sudah sejam lebih melengkungkan tubuhnya seperti bersujud ke permukaan laut dan membenamkan wajahnya yang mengenakan bakaca (kacamata selam) ke permukaan air.
Dia mengintip ke kedalaman laut di bawah terik matahari yang menyengat dengan suhu panas hingga 34 derajat celcius, suhu rata-rata harian pada musim panas di perairan laut lintasan garis khatulistiwa. Kedua lututnya bertumpu sejajar pada tepi kanan bibir perahu, membuat perahu miring hampir 90 derajat ke kanan nyaris terbalik.
- Advertisement -
Baca : Suku Bajo Torosiaje Panen Hasil saat Punya Area Lindung Gurita
Nelayan yang perahunya hanyut terbawa arus air surut mengintip ke kedalaman laut selama berjam-jam, mengoperasikan si manis untuk memancing gurita keluar dari sarangnya di perairan laut dangkal di Teluk Totikum Selatan, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. (Foto: Riza Salman, Mongabay Indonesia)
Meski Muhammad telah berumur 42 tahun, seluruh otot tubuhnya masih lentur bekerja ekstra untuk menjaga keseimbangan perahu ditengah dihempas guncangan ombak-ombak kecil kecil.
Kata orang-orang setempat, ikut arus laut, pakai bakaca dan mendayung sebelah tangan, sementara sebelah tangan mereka terus mempertahankan tali pancing nilon yang tipis di ujung jari telunjuknya.
Tali nilon berwarna putih itu terhubung dengan alat pancing si manis (replika gurita) berwarna merah marun yang terus bergerak ke diombangambingkan arus dasar bawah laut di kedalam sekitar 20 depa atau 36 meter. Si manis berhasil menarik perhatian seekor gurita keluar dari persembunyiannya di celah-celah karang untuk mempertahankan area berburunya. Gurita merupakan hewan laut yang soliter, akan menyerang fisik gurita lain yang tengah melintasi wilayahnya.
Muhammad yang menjadi dalang pertunjukan si manis dari atas perahu, perlahan menarik si manis yang telah ditempeli gurita itu naik ke permukaan laut. Muhammad kegirangan mendapat tangkapan gurita, dia sangat berhati-hati melepaskan delapan tentakel gurita yang menempel di si manis.
Dia segera memukul kepala gurita itu menggunakan pentungan kayu yang telah disiapkan sebelumnya, dia berusaha agar hantaman kayu tidak mengenai gigi dan tidak meremukan kepala gurita. Dia khawatir gurita akan menyemprotkan lebih banyak cairan tinta hitam ketika merasa terancam.
Gurita yang ditangkap dalam kondisi yang telah mengeluarkan tinta hitam, akan berakibat pada nilai jual yang murah di tangan sebagian pengepul gurita, meskipun gurita itu diterima dalam kondisi normal tanpa cacat.
Baca juga : Begini Tantangan Nelayan Kecil Demersal dan Gurita di Sulawesi
Nelayan memisahkan si manis dari cengkeraman gurita. Si manis merupakan alat tangkap tradisional gurita yang ramah lingkungan di Teluk Totikum Selatan, Banggai Kepulauan, Sulteng. Foto: Riza Salman/Mongabay Indonesia
Muhammad sumringah memamerkan guritanya yang beratnya diperkirakan hanya setengah kilogram (kg), masuk dalam kategori grade C, yang oleh pengepul hanya dinilai seharga Rp10.000. Dan gurita yang masih melekat di tangannya itu merupakan tangkapan pertamanya setelah tiga hari lamanya dari pagi hingga sore hari tidak pernah berhasil mendapatkan buruan gurita.
Dia segera membasahi kerongkongannya yang kering dengan beberapa teguk air. Dalam perahunya hanya ada satu botol air mineral ukuran 500 ml, satu-satunya bekal yang ada untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuhnya dari dehidrasi hingga di sore hari, menunggu arus pasang laut hanyutkan perahunya kembali ke pesisir.
“Kitorang (kami) ini hidup susah. Lihat ke atas, langit, melihat ke bawah, air,” katanya dengan lirih, mengungkapkan kondisi rumahnya yang reot di atas laut, seperti umumnya sebagian rumah masyarakat Suku Bajo pesisir yang masih hidup dibawah taraf kemiskinan.
Hanya berjarak puluhan meter dari perahu Muhammad, seorang nelayan gurita lainnya bernama Musni yang telah berumur lansia mengenakan capit di kepala, tidak seberuntung Muhammad.
Tiga hari berturut-turut turun melaut, belum mendapatkan tangkapan seekor gurita pun menggunakan cipo, umpan gurita menyerupai udang lobster yang terbuat dari gumpalan pemberat timah yang dibalut kayu.
Seperti itulah potret keseharian para nelayan gurita di sini. Nelayan paling beruntung adalah nelayan dengan paling banyak mendapatkan buruan gurita sebanyak 4 ekor pada hari yang sama. Namun itu adalah kejadian yang langka ditemui saat ini.
Nelayan gurita di sini memiliki perhitungan pengeluaran bahan bakar yang berkorelasi dengan efektivitas ruang dan gerak mereka di laut jika dalam tiga hari tidak memperoleh seekor tangkapan gurita. Hari pertama, ketinting menghabiskan 2 liter bensin; hari kedua, ketinting menghabiskan 2 liter bensin; hari ketiga, menghabiskan setengah liter bensin.
“Campur mendayung pulang (ikut arus pasang ke darat), besoknya ba-utang (berutang) lagi,” kata mereka.
Baca juga : Nelayan Gurita Samajatem: Tabung Dahulu, Panen Hasil Kemudian
Kondisi laut di Totikum Selatan, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, yang dikeluhkan nelayan semakin keruh dari tahun ke tahun. Foto: Riza Salman/Mongabay Indonesia
Dan mereka yang seperti Muhammad dan Musni, yang tidak membawa bekal melainkan hanya sebotol air minum, adalah mereka yang sudah tidak memiliki persediaan makanan di rumah untuk keluarganya. Menurunnya jumlah tangkapan gurita menambah beban kemiskinan nelayan pesisir teluk Totikum Selatan
Data yang dihimpun dari pemantauan Pokmaswas (Kelompok Masyarakat Pengawas) nelayan setempat, menyebutkan di sepanjang tahun 2024 terjadi lima musibah yang merenggut lima nyawa nelayan saat melaut di Teluk Totikum Selatan. Empat diantaranya ditemukan tewas saat melaut, diduga mengalami maag akut saat tubuhnya mengalami kedinginan di laut, dan satu nelayan lain telah dinyatakan hilang tanpa pernah temukan jasadnya.
Laut Keruh, Gurita Menghilang
Desa Lobuton di Kecamatan Totikum Selatan adalah desa nelayan yang dihuni 200 kepala keluarga dan sebagian warganya tinggal di pemukiman terapung — mendiami rumah berdinding papan yang dibangun diatas tiang-tiang pancang kayu, yang disekitar pancang itu terdapat banyak tanaman anggur laut, dan air lautnya jernih, terlihat beraneka jenis ikan karang dengan berbagai ukuran bermain ke sana ke mari.
Berbeda dengan kejernihan air di tengah laut yang dalam beberapa tahun belakangan ini menjadi keruh, yang disebut-sebut Sukarman, sebagai penyebab populasi gurita berkurang pasca tahun 2018 — periode puncak permintaan pasar terhadap gurita meninggi disusul dengan harga beli gurita yang meroket.
“Kita juga tidak tahu apa penyebabnya,” kata Sukarman, nelayan gurita Lobuton yang kala itu telah merintis usaha pengepul gurita.
Di tahun-tahun itu, dia sanggup mengumpulkan 7 box gurita dalam sehari, yang diperoleh dari hasil tangkapan para nelayan lokal. Kapasitas tampung maksimal dalam satu box mencapai 70 kg gurita, dengan nilai jual naik turun berkisar hampir Rp100.000/kg untuk tangkapan gurita grade A. Kini, dia beruntung jika dalam sehari bisa mengumpulkan satu box gurita.
Menarik dibaca : Buka-Tutup Kawasan Tangkap Gurita di Makassar Sukses. Bagaimana Keberlanjutannya?
Nelayan memperlihatkan tangkapan gurita yang populasinya terus menurun akibat diburu secara berlebihan dari tahun ke tahun di Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Foto: Riza Salman/Mongabay Indonesia
Pakar Kelautan Universitas Hasanuddin Makassar, Syaifudin Yusuf, yang pernah mendatangi perairan-perairan di Banggai Kepulauan dan Banggai Laut di tahun 2018, menjelaskan putaran arus deras yang masuk ke selat sempit dijepit oleh dua pulau besar itu menumpuk dan berputar di satu wilayah tertentu — seperti yang terjadi pada siklus keluar masuknya arus pasang-surut di Teluk Totikum.
Apabila terumbu karang di dalam teluk telah hancur dibom dari aktivitas penangkapan ikan yang merusak, maka arus deras akan mengangkat sedimen di dasar laut yang sebelumnya dihuni banyak koral. “Akhirnya menjadi keruh, meski butuh waktu lama laut bersih dari sedimen,” kata Yusuf.
Maraknya Bom Ikan
“Sudah di sini tempatnya bom ikan,” kata Harun Sarpin (27), yang beberapa kali mendengar dentuman bom dari kejauhan sekira pukul tujuh pagi sampai siang hari.
Sore itu, Sarpin yang menggabungkan diri dalam Pokmaswas yang berjumlah 10 anggota, sedang sibuk mempersiapkan acara penutupan area tangkap sementara gurita di perairan Totikum Selatan, yang akan digelar keesokan harinya.
Pokmaswas dibentuk untuk mengawasi vandalisme (pencungkilan/pengambilan karang, pemboman ikan, penggunaan racun, dan pemanah kompresor), dan illegal fishing yang menggunakan jaring pukat bermata kecil. Semua aktivitas itu diidentifikasi telah merusak keseimbangan ekosistem laut selama bertahun-tahun.
Antuka, Ketua Pokmaswas menceritakan bagaimana laut di sekitarnya telah rusak akibat pengambilan karang oleh warga. Karang digunakan sebagai material timbunan laut untuk pondasi rumah.
Antuka berumur 50 tahun, dan mengaku telah menyaksikan kebiasaan masyarakat nelayan mengambil karang sejak ia masih SD. Dan di era tahun 1980-an, dia masih merasakan bagaimana indahnya bermain di antara terumbu karang yang besar dan berwarna-warni menghampar menutupi dasar laut.
“Sekarang laut di sini (telah) rusak,” ujar Antuka. (***)
(bersambung ke tulisan kedua)
Gurita, Spesies Berumur Pendek Bernilai Ekonomi Tinggi
Sumber: Mongabay.co.id