- Masyarakat Gunungkidul mengelola lahan ramah lingkungan dengan menanam berbagai jenis tanaman dari pohon-pohon buah, sayur mayur maupun obat-obatkan sampai peternakan dan budi daya ikan. Mereka pakai pola agroforestri.
- Belakangan praktik agroforestri di Gunungkidul ini menarik perhatian orang hingga warga kelola jadi ekowisata. Agung Nugroho, Ketua Desa Wisata Gunungkidul, yang membawahi puluhan komunitas wisata lokal di sana salah satu penggagas. Agung memulai agroforestri sejak 20 tahun lalu. Tujuannya, mengupayakan konservasi produktif dan menyebar luaskan ke desa wisata lain di Gunungkidul.
- Masyarakat berupaya mengelola karst secara berkelanjutan. Sisi lain, investasi marak di pesisir selatan Gunungkidul jadi ancaman. Chay Asdak, Guru besar Ilmu Manajemen Daerah Aliran Sungai Universitas Padjajaran, dalam Summer Course di Ngestiharjo menyebut, perlu kehati-hatian dalam mengambil kebijakan terutama pembangunan pada lahan karst di Gunungkidul. Tanpa mitigasi memadai, kerusakan karst karena pembangunan dapat berupa bencana bagi warga Gunungkidul.
- Upaya pengelolaan lahan dengan agroforestri ini menunjukkan kabar menggembirakan. Selain ekonomi menguat, kondisi lingkungan juga makin baik. Terbukti dengan kembalinya sejumlah burung yang dulu tinggal di Gunung Api Purba Nglanggeran seperti elang sampai perkutut lokal. Sejumlah tanaman endemik yang sempat rusak dan terancam punah juga kembali berkembang, misal, anggrek lokal hingga pohon cendana.
- Advertisement -
Puluhan kolam ikan berjejer rapi. Rata-rata kolam berukuran 3×4 meter menggunakan terpal berpadu batako. Berbagai jenis ikan dari lele, nila, mujair, sampai patil ada di sana dari pembenihan sampai penggemukan.
Tak jauh dari sana ada belasan kandang unggas juga tersusun rapi sekitar 600 meter persegi. Ada ayam-ayam dari sejumlah negara yaitu Polandia, Australia, Brazil hingga Jepang. Beberapa entok unik tergolong unggas hias juga ada.
Di kawasan seluas 1.300 meter persegi itu juga rapat tertanam aneka pohon buah, sayuran, sampai rempah-rempah serta tanaman hias langka. Untuk buah-buahan ada apel Jepang, cempedak, rambutan, maupun mangga. Ada juga pohon palm, black sapote, kenitu, hingga santigi.
Tanah di Kelurahan Ngestirejo, Kapanewon Tepus, Gunung Kidul, Yogyakata ini, masyarakat kelola dengan pola agroforestri. Adalah Agung Nugroho, Ketua Desa Wisata Gunungkidul, yang membawahi puluhan komunitas wisata lokal di sana.
Agung memulai agroforestri itu sejak 20 tahun lalu. Pada 2004, dia mulai membangun kolam-kolam untuk pertama kalinya.
Tujuan Agung mengupayakan konservasi produktif dan menyebar luaskan ke desa wisata lain di Gunungkidul. “Konsep wisata berkelanjutan yang disandingkan dengan upaya pelestarian lingkungan ini penting apalagi dalam konteks Gunungkidul yang sebagian besar lahan karst,” katanya.
Lewat agroforestri itu, Agung juga mau melawan stigma bahwa lahan karst di Gunungkidul tak bisa dikembangkan.
“Saya kembangkan ini karena ingin buktikan, meskipun Gunungkidul lahan karst tapi bisa produktif dalam pertanian, termasuk perikanan,” katanya.
Upaya melawan stigma itu tak semulus yang Agung kira, meskipun mendapat sumber air untuk budidaya perikanan ternyata tak mendukung. Awalnya, air untuk kolam itu memiliki kandungan yang tak menguntungkan bagi lele berkembang biak. “Tahun pertama saya coba itu banyak bibit lele mudah mati, ternyata banyak kandungan amonia dalam air, padahal sudah saya jaga sirkulasi airnya.”
Sumber air ini dari PDAM yang mengambil dari sungai bawah tanah di Bribin, Ponjong. Kandungan amonia dalam air di kolam itu dia tangani secara ramah lingkungan melalui mikroalga berbentuk lumut. “Lumut-lumut yang menempel di dasar permukaan terpal kolam ini ternyata bagus juga untuk mengatasi amonia, akhirnya saya kebangkan mikroalga ini untuk mengatasinya,” katanya.
Penggunaan lumut ini cukup membuahkan hasil, kata Agung, bibit lele berangsur tak mudah mati dan kadar air jadi lebih bersih dan cocok untuk budidaya. “Air limbah dari kolam juga bagus, tidak beracun dan bisa untuk menyiram tanaman, bahkan malah menyuburkan tanaman,” katanya.
Kini, Gunungkidul mulai banyak tutupan lahan hingga kaya sumber air. Foto: Tommy Apriando
Ramah lingkungan, tingkatkan ekonomi warga
Hasil pembenihan dan budidaya ikan itu Agung bagikan ke warga sekitar rumah. Tak hanya ikan, aneka benih sayuran dan buah-buahan juga dikembangkan kelompok pemuda di sana.
“Stigma tanah Gunungkidul tak bisa ditanam, sulit air tak bisa mengembangkan perikanan sudah saya patahkan. Saya tularkan contoh pengelolaan ini ke warga lain. Bagusnya banyak turut berpartisipasi dan mengembangkan sendiri.”
Lambat laun pariwisata berkembang pesat di Gunungkidul, Agung pun bikin Greenhouse Lelakisintal. Dia bikin program paket wisata yang menonjolkan agroforestri itu. Pengunjung dapat aneka edukasi pertanian, peternakan, dan perikanan.
Paket wisata ini banyak diminati apalagi lokasi dekat dengan pantai-pantai indah di Kapanewon Tepus. Warga Ngestirejo juga banyak terlibat dalam paket wisata bercorak pertanian ini.
Agung juga mengembangkan paket wisata lain yang sama-sama ramah lingkungan yakni edukasi pengelolaan limbah minyak goreng. “Saya melihat banyak pedagang di pinggir pantai ini membuang limbah minyak goreng ke laut, padahal itu sangat mengotori dan mengancam ekosistem sekali,” katanya.
Limbah minyak goreng ini umumnya berwarna hitam pekat.
Kalau limbah ini dibiarkan terus buang ke Laut Selatan Jawa, terumbu karang bisa rusak, dan populasi ikan menurun. Ekosistem, katanya, bisa rusak karena cahaya matahari tak bisa menerobos hingga dasar laut karena tertutup bekas minyak goreng.
Agung melihat banyak sekali limbah minyak goreng karena sebagian besar usaha di pinggiran pantai sepanjang Gunungkidul adalah bisnis kuliner.
“Lalu dapat ide untuk mengelola jadi lilin, kemudian kami bikin paket wisatanya juga,” katanya.
Greenhouse Taman Agung yang mewadahi wisata edukasi pembuatan lilin ini Agung padupadankan dengan gaya hidup wellbeing seperti yoga sampai meditasi di pinggir pantai.
“Peminatnya lumayan juga, banyak warga juga terlibat dalam pengelolaan, lumayan jadi tambahan ekonomi masyarakat di sini.”
Dua greenhouse kelolaan Agung itu jadi jalan untuk mempromosikan ekowisata di Gunungkidul hingga dia jadi salah satu percontohan dan lokasi Summer Course Institut Pertanian Stiper (Instiper) bersama CIRAD dengan mahasiswa dari berbagai negara ASEAN.
Kegiatan ini memperdalam pengetahuan, keterampilan dan kompetensi dalam pengelolaan lanskap lahan karst berkelanjutan. Pemerintah Gunungkidul juga menjadikan Kalurahan Ngestiharjo sebagai percontohan ekowisata.
Kelompok Wanita Tani Sari Indah menunjukkan buah Srikaya (Annona squamosa) hasil dari Taman Kehati Gunungkidul, Yogyakarta. Foto : Agustinus Wijayanto
Ekowisata mandiri
Kesuksesan pengelolaan pariwisata Gunungkidul yang berkelanjutan dan ramah lingkungan tak hanya di Ngestiharjo, di Kalurahan Nglanggeran, Patuk, juga ada dengan pengelola kelompok sadar wisata (pokdarwis). Mereka menolak investor dengan tawaran modal miliaran rupiah.
Tawaran modal besar itu mereka tolak bukan hanya sekali karena para investor ini hendak membangun di kawasan ini Gunung Api Purba Nglanggeran.
Mursidi, Ketua Pokdarwis Nglanggeran, mengatakan, komitmen pada pelestarian lingkungan itu sejak 2014 setelah pembatasan wisatawan masuk.
Sejak awal pengelolaan pariwisata Nglanggeran, katanya, sudah bercorak ekowisata ditandai penanaman pohon dan upaya konservasi lain sejak 1999.
Pada 2008, mulai wisata gunung api purba ini melonjak hingga puncak pada 2014, ada lebih 340.000 wisatawan berkunjung.
Setelah pemberlakuan batas wisatawan pada 2015, Pokdarwis Nglanggeran menekan harga tiket masuk. Penguatan pemberdayaan warga juga dengan membuat peningkatan budidaya kakao sampai pembangunan kandang kambing etawa.
“Meskipun sekarang wisatawan hanya 80.000 pertahun tapi ekonomi kami meningkat, karena penghasilan makin beragam.”
Upaya pengelolaan lahan dengan agroforestri ini menunjukkan kabar menggembirakan. Selain ekonomi menguat, kondisi lingkungan juga makin baik. Terbukti dengan kembalinya sejumlah burung yang dulu tinggal di Gunung Api Purba Nglanggeran seperti elang sampai perkutut lokal. Sejumlah tanaman endemik yang sempat rusak dan terancam punah juga kembali berkembang, misal, anggrek lokal hingga pohon cendana.
Kini, perputaran uang belanja wisatawan di Nglanggeran dengan luas sekitar 762 hektar ini sampai Rp5 miliar pertahun. Warga tak hanya bergantung pada pariwisata juga pengelolaan kakao dengan produk beragam seperti kue, makanan ringan, hingga minuman.
Pekerjaan utama warga juga masih petani, peternak, hingga tukang, sambil mendapat tambahan pemasukan dari pariwisata.
Ekowisata Nglanggeran juga makin berkembang dengan tidak bertumpu pada gunung api purba. Ada kawasan lain yang tak kalah menarik bagi wisatawan terus dikembangkan seperti Air Terjun Kedung Kandang dan Embung Nglanggeran.
“Dua titik baru ini juga kami kembangkan berbasis ekowisata,” kata Mursidi.
Penggagas agroforestri di Ngestiharjo, Gunungkidul, Agung Nugroho saan memantau kolam ikan dan kandang unggasnya sebagai daya tarik paket wisata yang dikelolanya secara ramah lingkungan. Foto: T Handoko/Mongabay Indonesia
Jaga karst dengan agroforestri
Masyarakat berupaya mengelola karst secara berkelanjutan. Sisi lain, investasi marak di pesisir selatan Gunungkidul jadi ancaman.
Chay Asdak, Guru besar Ilmu Manajemen Daerah Aliran Sungai Universitas Padjajaran, dalam Summer Course di Ngestiharjo menyebut, perlu kehati-hatian dalam mengambil kebijakan terutama pembangunan pada lahan karst di Gunungkidul. Tanpa mitigasi memadai, kerusakan karst karena pembangunan dapat berupa bencana bagi warga Gunungkidul.
Dalam penelitian UGM menyebutkan, kerusakan karst Gunungkidul, kata Chay, dapat menyebabkan kerusakan air sebesar 21-35% di kabupaten terluas di Yogyakarta itu.
Karst memiliki lanskap khas dan warga, katanya, sudah mengelola dengan baik, seperti pemilihan pembangunan rumah di lokasi datar, biasa di lembah perbukitan karst.
“Ini pilihan tepat karena risiko minim, lalu warga sudah memitigasi dengan menanam berbagai pohon di area puncak bukit karst seperti di Gunungkidul, itu berfungsi untuk menabung air.”
Pola produksi warga Gunungkidul sudah berkelanjutan selama ratusan tahun, menurut Chay, dengan memanfaatkan lahan karst melalui cara minim risiko dengan berkebun. “Agroforestri di Gunungkidul bukan hal baru, sejak dulu sudah warga lakukan. Contoh, banyak tanam jambu mete, srikaya, sampai pohon melinjo yang semua produktif memenuhi kebutuhan ekonomi,” katanya.
Chay menilai, pengetahuan lokal dalam mengelola karst yang terbukti manjur ini perlu terus lanjut. Pola pemanfaatan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi dengan karst oleh warga Gunungkidul ini, katanya, sudah terbukti menguntungkan dan berkelanjutan.
“Jangan sampai ini malah hilang tergantikan pola ekstraktif dari investasi yang dalam praktik di daerah lain berbuntut bencana seperti hilangnya sumber air,” katanya.
Keterangan Chay itu dikuatkan dosen Instiper Yogyakarta, Agus Setyarso. Dia bilang, lahan karst di Gunungkidul adalah kekayaan dengan cadangan air dan keanekaragaman hayati. “Kekayaan karst ini harus dijaga secara komprehensif lintas sektor.”
Agus yang juga mantan Direktur Program Kehutanan, WWF Indonesia ini mengatakan, agroforestri bisa jadi pilihan dan sudah terbukti menguntungkan serta tak merusak lingkungan.
“Agroforestri ramah lahan karst, juga terbukti bisa seiring dengan pembangunan pariwisata seperti contoh di Ngestiharjo ini.”
********
Jaga Hutan Batutegi dengan Agroforestri dan Pertanian Organik
Sumber: Mongabay.co.id