- Syafi’i (51) merupakan warga dari Desa Kwala Langkat, Kabupaten Langkat, Sumut yang telah 35 tahun menjadi nelayan penangkap rajungan yang sejahtera karena dahulu melimpah
- Sayangnya saat ini rajungan menghilang karena kondisi laut yang tercemar, terdampak perubahan iklim dan penggunaan alat tangkap tak ramah lingkungan menyulitkan kehidupan sekitar 300 nelayan di Selat Malaka, Langkat hingga ke perbatasan Aceh.
- Para nelayan itu berganti menangkap kepiting, udang dan ikan yang jumlahnya juga semakin sedikit karena habitatnya yaitu hutan mangrove menghilang beralih fungsi jadi perkebunan sawit. Bahkan Syafii pernah dipenjara karena mempertahankan hutan mangrove
- Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Langkat mengklaim memperhatikan nasib para nelayan dengan membantu pengadaan alat tangkapnya yaitu bubu dan jaring
Namanya Syafi’i, kakek berusia 51 tahun ini tinggal di Desa Kwala Langkat, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut).
Pria ini berprofesi sebagai nelayan tangkap. Setidaknya sudah lebih dari 35 tahun dia beraktivitas mencari biota laut seperti rajungan. Di masa lampau, spesies ini menjadi idola bagi nelayan kecil karena populasinya berlimpah di wilayah Selat Malaka dan pesisir pantai timur Sumatera.
Harga jualnya juga cukup menggiurkan. Nelayan tangkap pada masa itu sangat sejahtera. Bahkan dari pekerjaannya sebagai nelayan bisa membangun rumah hingga menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke SMA.
Namun itu merupakan kisah klasik di masa lalu. Perubahan iklim, pencemaran laut serta penggunaan alat tangkap tak ramah lingkungan menghancurkan harapan nelayan kecil penangkap rajungan di Selat Malaka, Langkat hingga ke perbatasan Aceh.
Setidaknya ada 300 nelayan tangkap rajungan yang beraktivitas di Selat Malaka Langkat mengeluhkan nasib mereka. Hasil tangkapan jauh berkurang disebabkan kerusakan habitat berdampak pada populasi spesies rajungan yang turun tajam.
“Pemerintah tak pernah peduli terhadap nasib nelayan kecil di Selat Malaka ini. Perhatian baru akan datang bantuan diberikan, kata janji-janji dikumandangkan ketika mereka ingin maju sebagai kepala daerah baik gubernur maupun bupati. Setelah itu, semuanya terbiarkan tanpa ada perhatian sedikitpun,” ungkap Syafi’i ketika ditemui akhir bulan September 2024 lalu.
- Advertisement -
Syafi’i harus memutar otak agar bisa memberi makan anak dan cucu-cucunya. Karena rajungan tak bisa lagi diandalkan menjadi penopang hidup, dia akhirnya memilih untuk beralih tangkapan dari rajungan ke ikan dan udang. Pun demikian, hasil tangkapan kedu spesies itu juga tidak bisa diandalkan sehingga dirinya lebih terfokus untuk mencari kerang. Sedangkan untuk ikan dan udang hanya sebagai selingan saja.
“Sudah 15 tahun saya mencari kerang. Rajungan tak bisa diandalkan lagi. Alat tangkap yang kami gunakan juga ramah lingkungan tidak seperti kapal-kapal besar itu yang menggunakan pukat troll atau alat tangkap hela,” katanya.
Baca : Tangkapan Menurun Drastis, Nelayan Rajungan Pantai Timur Sumatera Terancam
Kerang hasil tangkapan Syafi’i. Rajungan tak lagi bisa diandalkan sehingga dia beralih mencari kerang di perairan Selat Malaka, Langkat, Sumut. Foto : Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia
Kerang yang Makin Menghilang
Seperti hari itu di akhir September, Syafi’i sudah bangun saat suara adzan dari surau yang tak jauh dari rumahnya terdengar. Dia sibuk mempersiapkan semua kebutuhan untuk pergi melaut mencari kerang di perairan Selat Malaka, Langkat.
Sebelum berangkat, dia menyempatkan diri bergurau dengan cucunya yang cantik dan menyeruput secangkir kopi pahit hasil seduhan anak perempuannya di teras rumah yang sederhana.
Sambil membawa peralatan tangkap kerang, ikan dan udang, serta minyak solar seberat tiga liter untuk mesin boat tuanya, dia berangkat menuju perahunya berjarak satu km. Bersemangat penuh harap, dia berangkat melewati hutan mangrove yang sebagiannya sudah ditanami pohon sawit.
Begitu menemukan tempat pencarian kerang, Syafii mengikat sampannya, menceburkan diri sambil membawa peralatan tangkap tradisional dengan satu tangan, sementara tangan lainnya merayapi, meraba dasar laut untuk menangkap kerang. Satu persatu kerang itu berhasil ditangkap dan dikumpulkan dalam wadah jaring.
Begitu tangguhnya, Syafi’i bahkan mampu berjam-jam berendam di pesisir demi mencari kerang, untuk bisa menghidupi keluarga. Rutinitas ini sudah ditekuninya selama 15 tahun lebih.
Sembari mengambil kerang, Syafi’i bercerita tentang hasil kerjanya. Jika cuaca bagus dan alam bersahabat, dia bisa mendapatkan kerang seberat 10 kg per hari. Hasil tangkapannya tidak menentu. Pernah hanya mendapatkan lima kg, bahkan pernah cuma satu kg kerang.
Dari penjualan ke tengkulak, dia hanya membawa uang Rp50 ribu hingga Rp100 ribu. Tentu saja Ini tidak bisa diandalkan untuk biaya kehidupan sehari-hari keluarganya dan biaya operasional serta bekal melaut.
“Ya terpaksa gali lobang tutup lobang. Terkadang harus menghutang dengan tengkulak dan akan dibayar ketika hasil tangkapan berlimpah. Dulu bisa dapat Rp1.000.000 sekali melaut dan sekarang itu tak pernah lagi dirasakan,” ungkapnya sedih.
Menurutnya, nasib nelayan kecil di perairan Selat Malaka, Langkat begitu memilukan. Anak-anak mereka hanya bisa sekolah sampai SD. Apabila uang didapatnya sedikit, keluarganya hanya makan ikan asin.
Bagi mereka tak ada pilihan selain harus tetap bertahan. Untuk mencari pekerjaan lain, menurutnya sangat beresiko dan tidak ada modal. “Kami kaum marjinal hanya bisa bertahan. Di laut ketika rajungan sudah tidak lagi bisa diandalkan maka harus banting setir mencari ikan atau udang dan kerang. Tak ada Rajungan kerang pun jadilah,” ujar Syafi’i.
Baca juga : Kepiting Bakau, Sumber Ekonomi Nelayan Langkat yang Tak Lagi Memukau
Syafi’i, seorang nelayan yang biasa mencari kerang di perairan Selat Malaka, Langkat, Sumut. Foto : Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia
Pernah Ditangkap Polisi
Di sela-sela mencari kerang, Syafi’i juga bercerita tentang nasib populasi kepiting bakau yang menghilang karena habitatnya berupa hutan mangrove hilang beralih fungsi menjadi perkebunan sawit, tambak dan dapur arang.
Ternyata, Syafi’i adalah anggota masyarakat pelindung mangrove yang mendapatkan kartu resmi dari pemerintah untuk menjaga ekosistem mangrove di Kabupaten Langkat termasuk ekosistem mangrove di desanya.
Sambil berperahu pulang, dia memperlihatkan hutan mangrove yang rusak beralih jadi kebun sawit. Padahal selain sebagai habitat biota laut termasuk kepiting, hutan mangrove berfungsi sebagai penjaga pesisir pantai.
“Hutan mangrove ini harus dijaga, apabila tak dijaga maka air laut masuk ke pemukiman warga, karena anak paluh sudah ditutup menjadi benteng kebun sawit,” jelasnya.
Rasa cinta terhadap alam yang menjadi sumber penghidupan keluarga, membuatnya merasa terpanggil untuk menjaga kelestarian hutan mangrove agar tidak terjadi erosi laut dan membahayakan pemukiman warga di pesisir laut. Namun sayangnya Syafi’i masih merasa kurang dukungan.
Buktinya, sebagai nelayan sekaligus penjaga hutan mangrove, dirinya pernah ditangkap oleh aparat kepolisian dari jajaran Polres Langkat dengan tuduhan secara sengaja merusak satu rumah milik salah seorang jaringan mafia alih fungsi mangrove jadi kebun sawit yang ada di Kabupaten Langkat.
Dia ditangkap polisi saat mencari kerang di laut. Sebelum dipindahkan ke tahanan sementara Polres Langkat, Syafi’i sempat diproses oleh aparat kepolisian dari Polsek Tanjungpura.
Setelah mendekam di penjara selama hampir dua bulan, Syafi’i akhirnya dibebaskan karena dari bukti kamera pengintai yang ada di lokasi kejadian, dia tidak terlibat dan malah melerai masyarakat untuk tidak melakukan pengerusakan meski mereka marah karena hutan mangrove telah dirusak.
“Saya yang melindungi hutan mangrove, masa saya ditangkap? Saya tidak ada melakukan perusakan rumah siapapun, saya hanya melerai warga agar tidak melakukan perusakan. Sebenarnya yang melapor itulah orang yang merusak hutan,” jelasnya dengan kesal.
Dia berharap, pemerintah melindungi ekosistem mangrove dan memberikan perhatian kepada nelayan tradisional agar ekonominya lebih baik di masa yang akan datang. Penegakan hukum juga harus adil jangan tajam ke bawah tumpul ke atas.
Baca juga : Jaga Hutan Mangrove Tak jadi Sawit, Ilham Ditangkap Polisi
Kepeduliannya terhadap ekosistem mangrove begitu tinggi, Syafi’i pernah ditangkap karena menolak perusakan mangrove jadi kebun sawit. Foto : Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia
Hilangnya Habitat Rajungan
Tajruddin Hasibuan, anggota Dewan Penasehat Dewan Pimpinan Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (DPP KNTI) Jumat (04/10/2024) mengatakan, salah satu penyebab penurunan populasi rajungan karena ketiadaan areal pemijahan dan pengembangbiakan. Hal itu karena terumbu karang sebagai habitat rajungan telah rusak
Faktor lainnya adalah karena kondisi laut yang tercemar limbah dan hilangnya ekosistem mangrove.
Dampak dari kerusakan ekosistem untuk pengembangbiakan biota laut, menurutnya mempengaruhi ekonomi nelayan rajungan di pesisir pantai Timur Sumatera Kabupaten Langkat. Penurunan hasil tangkap terus terjadi bertahun-tahun. Belum lagi kompetisi penangkapan ikan yang terjadi selama ini semakin tinggi.
Dia menyebutkan, dampak dari kerusakan ekosistem laut dan terus berkurangnya populasi kepiting rajungan, membuat nelayan beralih profesi menjadi pekerja bangunan, pekerja pabrik, penarik becak bermotor.
Sosialisasi dan Bantuan Nelayan
Ricardo Lumumba Simanulang, Kepala Bidang Perikanan Budidaya dan Bina Usaha Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Langkat mengatakan untuk meningkatkan perkembangbiakan rajungan, pihaknya meningkatkan sosialisasi aturan penangkapan kepiting dan rajungan yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.16/2022 tentang Perubahan atas Permen KP No.17/2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), dan Rajungan (Portunus Spp.) di wilayah Negara Republik Indonesia.
Namun mengenai berapa produksi rajungan dari kabupaten ini, mereka tak mempunyai datanya selain hanya mempertegas agar kepiting rajungan yang telah bertelur tidak ditangkap dan harus dikembalikan ke habitat aslinya untuk perkembangbiakan dan menjaga populasinya tetap stabil di alam.
“Kalau untuk bantuan tetap memperhatikan masyarakat nelayan, terutama kepada masyarakat penangkap kepiting, biasanya kita membantu pengadaan alat tangkapnya yaitu bubu kepiting dan pemberian jaring kepiting yang tiga inci,” kata Ricardo.
Disebutkannya, mengatasi terjadinya kepunahan kepiting, pihaknya sudah melakukan berbagai upaya salah satunya dengan membuat program restocking. Namun, anggarannya masih sangat terbatas.
Mereka masih optimis populasinya di alam bisa tetap terjaga karena penangkapan juga masih terbatas. Eksploitasi besar-besaran juga belum terjadi di kabupaten ini sehingga ada keyakinan stok kepiting masih lumayan tersedia.
Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan KP, statistik.kkp.go.id, untuk Provinsi Sumatara Utara pada tahun 2022, volume produksi kepiting bakau sebanyak 3.562 ton sehingga nilai produksi Rp191.661.572. Di tahun sebelumnya yaitu 2021, volume produksi sebesar 3.633 ton dengan nilai produksi Rp190.300.923.
Di Kabupaten Langkat volume kepiting untuk 2019 sebesar 6.056 ton dengan nilai produksi Rp28.4.632.000. Selanjutnya tahun 2020, volume produksi 10.870 ton, lalu nilai produksi Rp49.9536.000. Untuk tahun 2021, volume produksi 11.087 ton kemudian nilai produksi Rp665.220.000. Tahun 2022, volume produksi 221.142 ton lalu nilai produksi Rp13.268.520.000. (***)
Kepiting dan Rajungan, Apa Perbedaannya?
Sumber: Mongabay.co.id