- Pemerintah berencana mengubah status sebagian wilayah Pegunungan Meratus, bentang alam paling vital di Kalimantan Selatan, menjadi taman nasional. Masyarakat adat di Meratus was-was akses dan ruang hidup mereka terganggu.
- Kalangan organisasi masyarakat sipil pun mengingatkan, jangan sampai penetapan taman nasional malah mempersulit masyarakat adat maupun masyarakat lokal yang sudah hidup turun menurun dan menjadi penjaga hutan Meratus.
- Kekhawatiran masyarakat adat di Meratus, berkaca dari berbagai daerah di nusantara. Ketika wilayah atau kawasan jadi taman nasional, alih-alih menghormati hak, malah terjadi pembatasan bahkan penyingkiran masyarakat adat/lokal.
- Jefry Raharja, Manajer Kampanye Walhi Kalsel curiga, inisiasi ini hanya akan membuka jalan bagi ekspansi kapitalisme dengan kedok konservasi lingkungan. Bagi Walhi Kalsel, taman nasional tidaklah relevan kalau hanya menjadi alat untuk merampas ruang hidup masyarakat adat yang telah berabad-abad hidup selaras dengan alam.
- Advertisement -
Pemerintah berencana mengubah status sebagian wilayah Pegunungan Meratus, bentang alam paling vital di Kalimantan Selatan, menjadi taman nasional. Masyarakat adat di Meratus was-was akses dan ruang hidup mereka terganggu. Kalangan organisasi masyarakat sipil pun mengingatkan, jangan sampai penetapan taman nasional malah mempersulit masyarakat adat maupun masyarakat lokal yang sudah hidup turun menurun dan menjadi penjaga hutan Meratus.
Niatan penetapan Taman Nasional Meratus ini muncul ketika Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebelum ini menyurati Pemerintah Kalsel 17 September lalu. Isi surat meminta kerjasama dari Pemerintah Kalsel terkait kebijakan pengelolaan Pegunungan Meratus, yang dinilai layak sebagai taman nasional.
Menindaklanjuti surat itu, 23 Maret lalu di Kota Banjarbaru, ada rapat oleh Pemerintah Kalsel bersama KLHK, diwakili Hanif Faisol Nurofiq, saat itu sebagai Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (Dirjen PKTL)—saat ini Menteri Lingkungan Hidup–, serta Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Satyawan Pudyatmoko.
Hanif mengatakan, inisiatif perubahan fungsi ini mengingat Kalsel merupakan satu dari empat provinsi di Indonesia yang belum memiliki taman nasional.
Perubahan fungsi hutan lindung jadi taman nasional, katanya, untuk meningkatkan pengelolaan kawasan hutan sekaligus menjaga tutupan lahan di Pegunungan Meratus yang tidak banyak berubah selama 10 tahun terakhir.
“Pegunungan Meratus sudah memenuhi syarat jadi taman nasional. UNESCO telah mengakui Meratus sebagai Geopark, hingga secara teknis sudah layak untuk peningkatan status,” kata Hanif.
Dia meminta, Pemerintah Kalsel segera mengidentifikasi luas kawasan yang akan diajukan untuk perubahan status ini.
“Tim teknis kami akan menelaah dan menyempurnakannya. Kami juga akan melibatkan ahli ekonomi dan keuangan dalam penyusunan kajian akademis. Saat ini kami beralih dari pendekatan ekologisentris ke profit sentris.”
Satyawan menambahkan alasan rencana perubahan status Pegunungan Meratus jadi taman nasional karena kawasan ini memiliki keanekaragaman hayati unik, dan ekosistem mendukung kehidupan masyarakat adat yang hidup selaras dengan alam.
“Ini tentang melindungi ekosistem unik dan masyarakat adat yang telah hidup harmonis di dalamnya,” katanya.
Usulan ini, tidak hanya berfokus pada pelestarian lingkungan, katanya, pemberdayaan ekonomi masyarakat, pendidikan, dan penelitian juga jadi prioritas.
“Kami optimis tahun ini Pegunungan Meratus resmi menjadi taman nasional.”
Roy Rizali Anwar, Sekretaris Daerah Provinsi Kalsel berujar, perubahan status ini akan mendatangkan manfaat ekonomi bagi masyarakat.
“Pemprov mendukung penuh. Perlu kajian komprehensif yang mempertimbangkan keanekaragaman hayati hingga dampak sosial ekonomi, hingga masyarakat sekitar bisa merasakan manfaat secara langsung,” katanya.
Pemerintah Kalsel telah mengidentifikasi dan mengajukan kawasan di Pegunungan Meratus yang mereka nilai layak sebagai taman nasional, kepada KLHK.
Wilayah usulan meliputi hutan lindung seluas 119 hektar mencakup di lima kabupaten, antara lain, Banjar, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Balangan, dan Kotabaru.
Pemerintah provinsi, katanya, sudah berkoordinasi dengan perwakilan pemerintah kabupaten, dan sudah menyampaikan manfaat yang mereka sampaikan kalau Pegunungan Meratus jadi taman nasional.
Bentang alam Neteh di Hulu Sungai Tengah. Foto: Riyad DR/Mongabay Indonesia
Bagaimana masyarakat adat?
Rencana pemerintah menetapkan sebagian Pegunungan Meratus jadi taman nasional menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat adat dan komunitas lokal yang tinggal di sekitar dan dalam kawasan hutan itu.
Mereka khawatir taman nasional akan membatasi akses mereka sumber daya alam dan hutan yang selama ini jadi sumber kehidupan mereka, seperti pangan, obat-obatan, dan bahan bangunan.
Bagi masyarakat adat di Meratus, hutan tidak sekadar ruang hidup, juga makna spiritual mendalam, bagian penting dalam keyakinan dan ritus kepercayaan mereka.
Mereka cemas ketika akses ke hutan dibatasi akan mengancam keberlangsungan tradisi dan pondasi kehidupan yang mereka jalani selama ratusan tahun.
“Kami tidak ingin hutan yang selama ini kami jaga dan jadi sumber mata pencaharian tiba-tiba diambil alih pihak luar,” kata Junaidi, Kepala Adat Masyarakat Meratus di Kecamatan Batang Alai Timur, Hulu Sungai Tengah, pertengahan Oktober lalu.
Junaidi meminta, pemerintah mempertimbangkan hak-hak masyarakat adat sebelum memutuskan kebijakan terkait penetapan taman nasional ini.
“Hutan di Meratus, khusus di wilayah kami, merupakan hutan masyarakat adat yang harus diakui dan dipelihara.”
Dia ingatkan, segala bentuk intervensi dari luar, termasuk proyek-proyek pemerintah, dapat membahayakan keberlangsungan hidup masyarakat.
“Kami tidak ingin terjebak dalam aturan-aturan yang hanya menguntungkan pihak tertentu dan merugikan masyarakat kami,” katanya.
Dia menekankan pentingnya pengakuan dan perlindungan hak wilayah masyarakat adat dan hak pengelolaan sumber daya alam.
“Air dan bumi bukan milik satu pihak, seharusnya untuk mensejahterakan rakyat. Jangan main klaim tanpa memberikan keadilan yang jelas.”
Kalau rencana penetapan taman nasional ini tidak memberikan manfaat bagi masyarakat adat/lokal, kata Junaidi, banyak warga menolak.
Kekhawatiran Junaidi ini beralasan, mengingat pengalaman di daerah lain menunjukkan bagaimana kebijakan yang tak berpihak dapat menyingkirkan masyarakat adat dari tanah mereka.
“Kami tidak ingin nasib masyarakat adat di wilayah lain terjadi kepada kami.”Kekhawatiran serupa disampaikan Matnor, masyarakat adat dari Desa Hinas Kiri, Kecamatan Batang Alai Timur, Hulu Sungai Tengah.
Pegunungan Meratus, katanya, merupakan ruang hidup masyarakat yang menjunjung tinggi nilai budaya dan hukum adat turun-menurun.
“Bila kebijakan ini justru menyingkirkan masyarakat adat, tentu bisa menimbulkan konflik,” katanya.
Sebelum penetapan Pegunungan Meratus sebagai taman nasional, pemerintah harus mengakui keberadaan dan wilayah mereka melalui pengesahan peraturan daerah.
Apa kata pemerintah? “Nanti akan lihat dahulu. Justru dengan status sebagai taman nasional, akses dan fasilitas bagi masyarakat akan makin baik,” katanya sambil berlalu usai peresmian Penyemaian Liang Anggang di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, pertengahan Oktober lalu.
Fatimattuzahra, Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Kalsel meminta masyarakat tidak terlampau khawatir terkait rencana perubahan status Pegunungan Meratus menjadi taman nasional.
Meski status mengharuskan kawasan yang masuk dalam taman nasional bebas dari pemukiman penduduk, masyarakat yang hidup di sekitar tidak serta-merta tersisih.
“Kami pasti akan melakukan dialog terlebih dahulu dengan masyarakat.”
Satu sisi, wilayah yang mereka usulkan menjadi taman nasional ini yang sebelumnya berstatus hutan lindung.
“Di hutan lindung kan memang tidak boleh ada aktivitas penebangan, hingga bagus ketika grade-nya naik ke taman nasional.”
Usulan ini juga masih dalam tahap awal dan melalui proses panjang sebelum benar-benar jadi. Tim penelitian terpadu bentukan KLHK akan kajian lapangan.
“Tidak otomatis dari 119 hektar itu bakal disetujui seluruhnya sebagai taman nasional. Semua akan ditinjau terlebih dahulu,” katanya.
Selain mengevaluasi wilayah usulan Pemerintah Kalsel, tim juga bakal berinteraksi langsung dengan masyarakat dan para pemangku wilayah.
“Jika dalam proses nanti, ada satu titik wilayah yang berpotensi menimbulkan konflik dengan masyarakat, kawasan itu akan dikeluarkan dari usulan.”
Langkah ini supaya kehidupan masyarakat di sekitar Pegunungan Meratus tidak terganggu perubahan status.
Wacana Taman Nasional Meratus ini, katanya, akan dibagi dalam beberapa zona. Ada zona inti, zona rimba, dan zona tradisional. “Di zona tradisional inilah yang nantinya boleh ada kegiatan ekonomi masyarakat, berupa ekowisata.”
Ketika ditanya mengenai kemungkinan tumpang tindih antara taman nasional dan Geopark Meratus, kata Fatimattuzahra, pengelolaan kedua kawasan akan berbeda.
” Taman nasional akan berada langsung di bawah KLHK, sementara Geopark Meratus pemprov, tidak akan ada konflik regulasi,” katanya.
Bentangan Pegunungan Meratus. Foto: Riyad DR/Mongabay Indonesia
Kalau status Pegunungan Meratus sebagai taman nasional jadi, akan ada lembaga setingkat eselon 3 yang mengkoordinir pengelolaannya.
Dia yakin, status taman nasional akan membawa manfaat besar, baik bagi pelestarian lingkungan maupun pengembangan masyarakat.
“Kami percaya, penetapan Pegunungan Meratus sebagai taman nasional akan memberikan dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat.”
Pelantikan Hanif Faisol sebagai Menteri Lingkungan Hidup dalam Kabinet Merah Putih di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka 21 Oktober lalu memicu kegelisahan di kalangan aktivis lingkungan, khusus di Kalsel.
Saat menjabat sebagai Kepala Dishut Kalsel, dia sempat menyangkal keberadaan masyarakat adat di Pegunungan Meratus. Selain itu, kebijakannya untuk mendorong Pegunungan Meratus menjadi taman nasional saat dia sebagai Dirjen PKTL dinilai tidak berpihak kepada masyarakat adat.
Redy Rosyadi, Direktur Eksekutif Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia (YCHI), menyatakan, Hanif selama ini tidak menunjukkan keberpihakan pada masyarakat adat.
“Kebijakan taman nasional akan menggusur masyarakat adat di Pegunungan Meratus, yang telah diperjuangkan oleh koalisi masyarakat sipil, AMAN, dan Walhi Kalsel selama lebih dari satu dekade,” katanya dalam siaran pers 23 Oktober lalu.
Meskipun kelembagaan masyarakat adat diakui, tanpa wilayah adat, mereka akan kehilangan sumber penghidupan dan menghadapi ketidakpastian.Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Hulu Sungai Tengah sangsi terhadap rencana penetapan Taman Nasional Meratus ini. Kebijakan ini mereka nilai berisiko merugikan masyarakat adat jika tidak ada regulasi yang jelas memayungi masyarakat adat beserta wilayahnya.
“Selama belum ada regulasi masyarakat adat dan wilayahnya, kebijakan semacam ini hanya akan merugikan kami,” kata Yulius Tanang, Ketua AMAN Hulu Sungai Tengah, 20 Oktober lalu.
AMAN Hulu Sungai Tengah menilai, penetapan taman nasional bukanlah solusi tepat dalam upaya konservasi lingkungan.
Pengalaman dengan konsep Geopark Meratus yang sebelumnya pemerintah terapkan pun, tidak memberikan dampak signifikan terhadap pelestarian lingkungan ataupun manfaat bagi masyarakat lokal.
Tata kelola lingkungan paling efektif adalah praktik yang masyarakat adat selama ratusan tahun.
Kalau pemerintah tetap ingin menerapkan konsep taman nasional, kata Yulius, agar dialog terbuka dengan melibatkan masyarakat adat.
“Selama proses penyusunan aturan tidak transparan, kami akan menolak tegas.”
Kekhawatiran Yulius bukan tanpa alasan. Dia merujuk pada pengalaman masyarakat adat di daerah lain yang sering terusir setelah wilayah mereka jadi taman nasional.
“Kami tidak ingin mengalami nasib buruk seperti yang dialami saudara-saudara kami di daerah lain.”
Manugal, menanam padi Masyarakat Adat Dayak Pitap di Desa Kambiayin, Kecamatan Tebing-Tinggi, Kabupaten Balangan.Foto: Riyad DR/Mongabay Indonesia October 31, 2024
Jangan jadi alat kapitalisme berkedok konservasi
Walhi Kalsel pun soroti soal ini. Jefry Raharja, Manajer Kampanye Walhi Kalsel curiga, inisiasi ini hanya akan membuka jalan bagi ekspansi kapitalisme dengan kedok konservasi lingkungan.Dia khawatir, penetapan Meratus sebagai taman nasional bakal menyimpang dan hanya menguntungkan ekonomi kapitalis.“Contoh kasus, seperti di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat menjadi korban kriminalisasi, sementara investasi merajalela dengan dalih konservasi.”
Dia juga sangsi konsep pengelolaan wilayah gagasan lembaga-lembaga internasional, yang dianggap tidak berakar pada tradisi lokal.
Sebaliknya, dia lebih mendukung konsep wilayah kelola rakyat yang mengedepankan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam berdasarkan empat prinsip utama, yakni, tata kuasa, tata kelola, tata produksi, dan tata konsumsi.
“Masyarakat adat di Meratus sudah memiliki pengetahuan lokal yang kaya terkait pelestarian jauh sebelum konsep-konsep asing masuk.”
Masyarakat Meratus, katanya, sudah menerapkan zonasi lahan secara tradisional melalui sistem hutan keramat dan pertanian gilir balik. “Ini bentuk konservasi yang sebenarnya.”
Walhi Kalsel juga mengkritik proyek Geopark Meratus, yang dianggap tidak memberikan jawaban atas upaya perlindungan terhadap wilayah itu.
Jefry pun khawatir, penetapan Taman Nasional Meratus dapat menjadi pintu bagi masuknya konsesi pariwisata yang justru merusak ekosistem dan kehidupan masyarakat lokal.
“Embel-embel narasi ‘hijau’ atau ‘ramah lingkungan’ yang digunakan hanya menjadi alat pelintiran untuk kepentingan kapital,” katanya.
Bagi Walhi Kalsel, taman nasional tidaklah relevan kalau hanya menjadi alat untuk merampas ruang hidup masyarakat adat yang telah berabad-abad hidup selaras dengan alam.
Keberatan mereka bukan tanpa dasar, berkaca dari pengalaman pahit masyarakat adat atau lokal di daerah lain yang jadi korban proyek-proyek konservasi kapitalistik.
Setia Budhi, Antropolog Universitas Lambung Mangkurat (ULM) mewanti-wanti pemerintah agar jangan sampai menafikan kehidupan masyarakat adat demi memuluskan ambisi proyek Taman Nasional Meratus.
Dia menekankan, wilayah Meratus dihuni masyarakat adat selama ratusan tahun, yang memiliki budaya dan cara hidup yang diakui banyak pihak.
Masyarakat adat di Meratus memiliki kawasan tinggal, sumber mata pencaharian, dan wilayah jelajah yang mereka gunakan untuk menjaga keberlangsungan hidupnya.
“Jika taman nasional dipaksakan di Meratus, pertanyaan pertama yang muncul adalah, apakah masyarakat adat dilibatkan dalam proses itu?”
Dia lantas mengingatkan, masyarakat adat yang tersebar di hampir setiap kabupaten pada bentangan Meratus memiliki aturan hukum adat yang mengatur cara mereka hidup dan berinteraksi dengan alam.
Dia khawatir, taman nasional bisa bertabrakan dengan aturan-aturan adat ini.
“Sangat berisiko jika taman nasional justru mengesampingkan atau bahkan menggerus hukum adat yang sudah ada. Saya khawatir ini bisa menimbulkan konflik antara aturan taman nasional dan hukum adat yang sudah dijalankan masyarakat selama ini.”
Setia juga mempertanyakan kebijakan pemerintah seolah-olah tidak konsisten dengan keberadaan Geopark Meratus yang lebih dulu ada.
“Kenapa pemerintah tidak fokus dulu saja pada pengembangan Geopark Meratus? Apa kontribusinya terhadap masyarakat adat? Geopark yang katanya sudah diuji akademisi dan praktisi, tapi kontribusi bagi masyarakat adat belum jelas.”
Jangan sampai, katanya, pemerintah malah membuat kebijakan baru yang justru menambah kebingungan, seperti rencana taman nasional ini.
Pemerintah, katanya, perlu memastikan dahulu manfaat Geopark Meratus benar-benar masyarakat adat rasakan sebelum berpikir membuat kebijakan baru.
“Yang paling penting lagi, transparansi dan sosialisasi. Pemerintah wajib mendahului kebijakan semacam ini dengan dialog publik yang melibatkan masyarakat adat, pegiat LSM, serta para ahli. Jika tidak, kebijakan taman nasional justru berpotensi memicu konflik baru di Meratus.”
Pegunungan Meratus tampak dari Peniti Ranggang, Hulu Sungai Tengah. Foto: Riyad DR/Mongabay Indonesia
*********
Masyarakat Dayak Pitap, Perawat Rimba Meratus
Sumber: Mongabay.co.id