- Pemerintah menjadikan reklamasi pesisir timur Surabaya atau Surabaya Waterfront Land, sebagai proyek strategis nasional [PSN].
- Reklamasi ini, akan menguruk laut timur Surabaya seluas 1.085 hektar, untuk dijadikan empat pulau baru. Penggarapannya, ditargetken bertahap hingga 20 tahun ke depan.
- Reklamasi seharusnya memperhatikan kelestarian dan kemampuan daya dukung lingkungan pesisir. Sementara, dokumen rencana tata ruang wilayah Kota Surabaya, sulit diakses publik. Proyek ini akan menyingkirkan ruang hidup nelayan, yang termasuk kelompok masyarakat ekonomi bawah.
- Data Walhi Nasional menyebutkan, luasan proyek reklamasi di Indonesia dan pertambangan pasir laut angkanya lebih tinggi dibandingkan wilayah hidup nelayan. Untuk Jawa Timur, terdapat 28 proyek reklamasi seluas 213.562 hektar.
Pemerintah menjadikan reklamasi pesisir timur Surabaya atau Surabaya Waterfront Land, sebagai proyek strategis nasional [PSN].
Reklamasi ini akan menguruk laut timur Surabaya seluas 1.085 hektar, untuk dijadikan empat pulau baru. Penggarapannya, ditargetken bertahap hingga 20 tahun mendatang.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan, mengatakan reklamasi seharusnya memperhatikan kelestarian dan kemampuan daya dukung lingkungan pesisir. Sementara, dokumen rencana tata ruang wilayah Kota Surabaya, sulit diakses publik.
“Semakin berkurang ruang hijau,” terangnya, akhir September 2024.
Wahyu mengatakan, pada 1978 terdapat sekitar 3.300 hektar mangrove di Surabaya. Angka ini menyusut menjadi 2.504 hektar dan saat ini diperkirakan tersisa 1.500 hingga 2.000 hektar. Selebihnya, berubah menjadi permukiman, area perdagangan, dan industri.
- Advertisement -
Proyek ini akan menyingkirkan ruang hidup nelayan, yang termasuk kelompok masyarakat ekonomi bawah.
“Kampung nelayan perlahan hilang, karena PSN tidak menerima kawasan yang dianggap kumuh,” ujarnya.
Baca: 10 Tahun Jokowi: 8 Potret Buram Proyek Strategis Nasional
Nelayan menebar jala di kawasan Mangrove Wonorejo, area yang dekat PSN Surabaya Waterfront Land. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut, Walhi Nasional, Parid Ridwanuddin, menyebut masa depan pangan laut dunia terletak pada perikanan skala kecil, yang pelakunya adalah nelayan tradisional. Untuk itu, penting dirumuskan konsep wilayah kelola rakyat yang berpijak pada wilayah tangkap nelayan.
Data Walhi Nasional menyebutkan, luasan proyek reklamasi di Indonesia dan pertambangan pasir laut angkanya lebih tinggi dibandingkan wilayah hidup nelayan.
Dari 28 provinsi, terdapat 3.590.000 hektar luasan proyek reklamasi dan pertambangan pasir laut. Sementara luas permukiman nelayan secara nasional hanya 21.000 hektar dan 52.000 hektar untuk kawasan mangrove.
“Padahal, mangrove sering digadang-gadang pemerintah di forum internasional.”
Untuk Jawa Timur, terdapat 28 proyek reklamasi seluas 213.562 hektar.
“Sangat mengerikan, karena akan banyak wilayah tangkap nelayan dirampas, dilebel PSN yang dikemas untuk kepentingan publik, namun tidak tahu untuk siapa,” ucap Parid.
Pengajar Departemen Hukum Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, I Gusti Agung Made Wardana, mengungkapkan bahwa PSN merupakan proyek istimewa di pemerintahan Joko Widodo. Tidak hanya perizinan yang mendapat kemudahan, tapi juga jaminan politik proyek itu berlanjut pada pemerintahan selanjutnya.
“Terdapat kuasa paksaan yang digunakan untuk membuat orang memberikan persetujuan, seakan mendapat dukungan warga yang aktif maupun pasif,” paparnya.
Baca: Wajah Horor Proyek Strategis Nasional, Bagaimana di Era Prabowo-Gibran?
Misbahul Munir menunjukkan perkampungan nelayan di Nambangan, yang terancam akibat reklamasi proyek. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia
Peraturan pengelolaan sedimentasi
Investasi Surabaya Waterfront Land yang diperkirakan sekitar Rp70 Triliun, tidak dapat dilepaskan dari keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 mengenai pengelolaan sedimentasi. Hal ini dikuatkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2024 mengenai kebutuhan pasir laut dan reklamasi di seluruh wilayah Indonesia.
Sekretaris Jenderal KIARA [Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan], Susan Herawati, mengatakan melalui peraturan tersebut memungkinkan sekitar 133 juta meter kubik pasir akan diambil dari perairan di Surabaya. Padahal, kebutuhan untuk reklamasi di seluruh Jawa Timur menurut Kepmen 17/2024 ini hanya 17 juta meter kubik.
“Artinya, ada banyak potensi pasir itu diekspor,” terangnya, Rabu [23/10/2024].
Kementerian Kelautan dan Perikanan [KKP], kata Susan, telah mengeluarkan jumlah potensi sedimentasi secara nasional sebanyak 17 miliar meter kubuk. Padahal, kebutuhan reklamasi di 13 wilayah seluruh Indonesia, termasuk Jawa Timur, hanya 421 juta meter kubik pasir laut.
“Masyarakat pesisir makin terancam hidupnya dan nelayan semakin jauh menangkap ikan.”
Jargon pemerintahan Joko Widodo yang tidak akan memunggungi laut, justru mengeruk sumber daya kelautan untuk kepentingan oligarki atau pemilik modal.
“Tidak ada lagi nenek moyangku seorang pelaut, seorang penambang iya, karena sudah beralih profesi,” ucapnya.
Terkait pemerintahan Prabowo Subianto yang mengedepankan ekonomi biru dan keberlanjutan, menurut Susan, tidak akan ada dampak signifikan. Faktanya, pada masa kampanye, Prabowo sempat menyatakan tetap melanjutkan reklamasi Teluk Jakarta.
Artinya, konsep ekonomi keberlanjutan untuk masyarakat pesisir diwujudkan melalui pembangunan infrastruktur, diawali reklamasi. Bahkan, perihal energi terbarukan yang mendorong pemakaian dan produksi kendaraan listrik, telah mengorbankan lingkungan hidup.
“Ada satu pulau yang dihancurkan karena kebutuhan baterai kendaraan listrik itu,” imbuhnya.
Baca: Masyarakat Tolak Reklamasi untuk Proyek Surabaya Waterfront Land
Kawasan perkampungan nelayan di Kenjeran, terancam hilang dengan adanya proyek strategis nasional Surabaya Waterfront Land. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia
Nelayan menolak, reklamasi tetap lanjut
Ahmad Sukron, nelayan Nambangan, Surabaya, menganggap PSN sebagai rencana tidak baik pemerintah dan pemodal.
Penetapan PSN di kawasan Kenjeran, tidak transparan dan mengabaikan suara maupun kepentingan warga. Reklamasi ini akan membunuh kehidupan nelayan di Surabaya dan sekitar secara perlahan.
“Juga, menggeser perkampungan nelayan yang dijadikan kawasan wisata yang dihuni kaum elite,” jelasnya, akhir Agustus 2024.
Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia [KNTI] Jawa Timur, Misbahul Munir, menyebut akan ada 12 kampung nelayan terdampak reklamasi.
“Kampung nelayan pesisir, mulai Tambakrejo, Tambakwedi, Nambangan, Cumpat, Kejawan, kemudian Kenjeran, Sukolilo, Kalisari, Wonorejo, dan sekitar bakal terdampak. Sektor lain seperti UMKM dan yang berkaitan dengan pengolahan produk perikanan, akan kena imbas pembangunan pulau baru di timur Kenjeran ini,” paparnya.
Baca juga: Walhi Nilai Proyek Strategis Nasional Rawan Konflik dan Kerusakan Lingkungan Hidup
Masyarakat dan nelayan menolak rencana reklamasi laut Surabaya untuk proyek strategis nasional. Foto: Forum Masyarakat Madani Maritim dan warga Kota Surabaya
Pimpinan PT Granting Jaya, Soetiadji Yudo, pelaksana reklamasi, saat ditemui di gedung DPRD Kota Surabaya, Juli 2024, mengatakan proyek bertujuan untuk memajukan Kota Surabaya, khususnya di kawasan timur. Berbagai fasilitas akan dibangun di pulau baru, dengan tetap memperhatikan kebutuhan masyarakat, termasuk nelayan tradisional.
“Kita tampung semua, sebagai pelaksana kami pasti memperhatikan semua aspirasi masyarakat, terutama nelayan,” ujarnya.
Eri Cahyadi, saat menjabat Wali Kota Surabaya, awal Agustus 2024 mengatakan, tidak dapat berbuat banyak setelah penetapan PSN oleh pemerintah pusat. Dia hanya berpesan, kehidupan nelayan tidak terganggu dengan kehadiran proyek.
“PSN ini negara ya, rekomendasinya dari kementerian, dan yang mengusulkan investor. Kami selalu memberi masukkan, perhatikan kehidupan nelayan,” paparnya.
Nasib Pulau Batam, Pasir Dikeruk, Hutan Mangrove Dirusak
Sumber: Mongabay.co.id