- Perubahan iklim yang ekstrem, seperti peningkatan suhu dan perubahan pola curah hujan berdampak signifikan pada produktivitas kopi di Enrekang, Sulawesi Selatan. Banyak petani mulai merasa kesulitan menjaga hasil panen yang optimal, bahkan mempertimbangkan untuk beralih ke tanaman lain.
- Agus dan Nursam, petani kopi Enrekang mengandalkan perkebunan kopi untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan pendidikan anak-anak mereka. Penurunan hasil panen yang terus-menerus membuat mereka merasa gelisah dan terancam kehilangan mata pencaharian utama.
- Tak hanya berdampak pada petani, tapi juga berdampak pada pemilik kedai kopi. Agil Valentino, salah satu pemilik kopi yang berasal dari petani lokal menginginkan agar kopi Enrekang tetap menjadi identitas dan aroma khas Sulawesi yang lestari di masa mendatang.
- Baharuddin, dosen bidang Hasil Hutan Bukan Kayu Universitas Hasanuddin mendorong petani untuk beralih ke sistem agroforestri guna membantu menstabilkan iklim mikro di area perkebunan.
Tangan Agus terampil menyibak dedaunan kopi. Memetik buah kopi yang merah, sesekali memetik pucuk daun kopi yang muda. Letak kebunnya berada di 1.500 mdpl di kaki Gunung Latimojong, Desa Karangan, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.
Dia memetik buah yang merah satu persatu, dikumpulkan ke dalam ember kecil, berakhir di karung hingga penuh separuhnya. Luas kebunnya mencapai 5 hektar dengan tegakan pohon jati, durian dan rambutan di sela tanaman kopi.
Tiap pagi dia berjalan sejauh tiga kilometer menuju kebunnya. Kira-kira hanya membutuhkan waktu 40 menit saja. Tanpa alas kaki, dia gesit menapaki serasah dedaunan dan tanah.
Agus, petani kopi Desa Karangan, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Kebunnya berada di 1.500 mdpl di kaki Gunung Lantimojong. Foto: Muhammad Fachry/ Mongabay Indonesia
Baca juga: Ancaman Tambang Emas Menghantui Petani Kopi Arabika Gayo
“Ini kebun dari warisan orang tua ji dek, termasuk juga semua ini pohon kopi robusta yang ada di ini kebun,” kata Agus sambil memandangi hamparan kebun kopi saat beristirahat.
Bulan ini, katanya menjadi musim panen kedua. Panen raya atau pertama, jumlah panennya lebih banyak dari panen kedua. “Dulu, satu hektar bisa menghasilkan satu ton kopi,” ujarnya sambil menghela nafas panjang. “Sekarang, jangankan satu ton, setengahnya pun sulit.”
- Advertisement -
Cuaca yang kian tak menentu membuat Agus khawatir akan hasil panennya tiap tahun. Selama ini, biaya sehari-hari dan menyekolahkan anak berasal dari kebun kopi.
Varietas kopi Nating menjadi favorit kopi yang paling dicari oleh konsumen. Foto: Muhammad Fachry/ Mongabay Indonesia
Baca juga: Asal-usul Kopi Luwak Punya Cita Rasa Tinggi
Nursam Arifuddin (45) juga mengalami kegelisahan yang sama dengan Agus. Sebagai petani kopi robusta, dia mulai kewalahan dengan penurunan hasil panen. Dampaknya, penghasilannya kian tak menentu.
“Banyak yang mulai berpikir beralih ke tanaman lain, seperti bawang merah. Mulai kewalahan, karena untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi tidak mudah. Ini memakan waktu yang lama,” ujarnya.
Dia mengatakan perkebunan kopi ini sangat rentan terdampak dari krisis iklim.”Baru kita disini cuma berandalkan pengalaman ji, jadi dapat perubahan cuaca kek begini itu pasti terasa sekali dek dampaknya. Makin sulit kita untuk berusaha, cuma bisa ki berharap yang terbaik selalu.”
Dari kebun hingga ke kedai kopi
Agil Valentino (35), pemilik kedai kopi Majao kian khawatir akan pasokan biji kopi dari para petani lokal Enrekang. Dalam beberapa tahun terakhir, stok kopi Enrekang habis sebelum musim panen tiba. Foto: Muhammad Fachry/ Mongabay Indonesia.
Krisis iklim tak hanya berdampak pada para petani, tapi juga pada para pemilik kedai. Agil Valentino (35), pemilik kedai kopi Majao khawatir akan pasokan biji kopi dari para petani lokal. Namun seringkali stok habis sebelum musim panen tiba. Hal ini membuatnya menolak permintaan dari konsumen.
Agil bercerita dia biasa membeli kopi lokal karena kualitasnya yang baik dan stabil. Varietas kopi Nating menjadi favorit kopi yang paling dicari oleh konsumen.
“Supply kopi dari petani tergantung dari bagaimana musim. Jika musim kemarau dan hujan seimbang, maka produksi kopi juga baik. Kalau tahun lalu, kemarau panjang, produksi kopi juga turun,” ujarnya.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Enrekang menunjukkan tren produksi kopi yang mengkhawatirkan. Luas areal perkebunan kopi meningkat 6,7% dalam 3 tahun terakhir. Yakni, 17.891 hektar (2021) menjadi 19.087 hektar 2023. Meski begitu, produksi justru menurun 8,8% dari 9.560 ton menjadi 8.714 ton dalam periode yang sama.
Baca juga: Cerita Petani Kopi Kudus Meminimalisir Kerugian
Luas lahan meningkat, tapi produktivitas menurun
Petani kopi di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan mulai kewalahan dengan penurunan hasil panen kopi. Dampaknya, penghasilannya kian tak menentu. Foto: Muhammad Fachry/ Mongabay Indonesia
Baharuddin, dosen bidang Hasil Hutan Bukan Kayu Universitas Hasanuddin khawatir kita akan kehilangan kopi dengan varietas yang baik karena krisis iklim. “Kopi adalah tanaman yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Perubahan suhu, kelembaban, atau ketersediaan air tanah bisa berdampak besar pada produktivitasnya.”
Pernyataan ini didukung oleh data curah hujan Kabupaten Enrekang. Rata-rata curah hujan menurun drastis dari 2.138,5 mm pada 2021 menjadi hanya 1.332,67 mm pada 2023, penurunan sebesar 37,7%. “Penurunan curah hujan ini berdampak langsung pada fase pembungaan dan pembuahan kopi,” tambahnya.
Penelitian terbaru, Braken et al. (2023), menunjukkan bahwa perubahan iklim berdampak negatif pada produksi kopi, khususnya kopi arabika. Ini terlihat dari meningkatnya intensitas dan frekuensi kejadian cuaca ekstrim akan menyebabkan meningkatnya kejadian hama dan penyakit. Akibatnya banyak area yang tidak cocok untuk produksi dan hasil panen yang kian rendah.
Kopi merupakan tanaman yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Perubahan suhu, kelembaban, atau ketersediaan air tanah bisa berdampak besar pada produktivitasnya. Foto: Muhammad Fachry/ Mongabay Indonesia
Schtoth dkk juga membuat pemodelan yang terbit di jurnal ilmiah Regional Environmental Change (2015) menyebutkan luas area yang secara iklim dan topografi cocok untuk menanam kopi arabika berkurang sepertiga dari area produksi saat ini pada 2050.
Skenario terburuknya, saintis menyebutkan kopi arabika liar dapat punah pada tahun 2080. Bahkan tidak hanya robusta dan arabika, setidaknya 60% spesies kopi di dunia terancam punah.
Baca juga: Upaya Lestarikan Kopi Bacan dari Induk Tanaman Usia Lebih dari 100 Tahun
Pertumbuhan kopi arabika, kata saintis akan sulit karena perubahan iklim. Dampaknya terjadi pengurangan produktivitas hingga gagal panen. Sehingga volume kopi berkualitas untuk bisa dinikmati akan makin berkurang.
Melihat kondisi iklim ini, kata Baharuddin, penting bagi petani untuk beradaptasi. “Kita perlu beralih dari sistem monokultur ke agroforestri. Ini bisa membantu menstabilkan iklim mikro di kebun kopi.”
Agil menegaskan bahwa nasib “emas hitam” Enrekang dan ribuan keluarga petani sangat bergantung pada cuaca. Harapannya, ada aksi nyata dari semua pihak untuk mengatasinya. “Kita perlu menjaga aroma kopi Enrekang tetap bisa mengharumkan bumi Sulawesi untuk generasi mendatang.” (***)
*Muhammad Fachry, mahasiswa Program Studi Kehutanan Universitas Hasanuddin. Tergabung dalam UKM Belantara Kreatif, dengan minat pada bidang seni dan jurnalistik. Gemar membaca novel dan juga menjelajahi alam.
Krisis Iklim dalam Secangkir Kopi
Sumber: Mongabay.co.id