- Seperti di belahan duni lain, di Kepuluan Bangka Belitung, bertahannya sejumlah tutupan hutan tidak terlepas dari kontribusi masyarakat adat dan komunitas lokal.
- Saat ini wilayah adat yang telah terpetakan di Indonesia sudah mencapai 30,1 juta hektar. Namun, baru 16 persen dari wilayah tersebut yang telah diakui secara hukum.
- Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia yang hadir di COP16 CBD di Cali, Colombia, menyerukan kepada delegasi Pemerintah Indonesia yang sedang berunding serta komunitas global untuk mendukung hak-hak Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal.
- Upaya ini menjadi penting, karena jutaan hektar izin-izin aktivitas industri ekstraktif berada di wilayah adat, konservasi, koridor satwa, taman kehati, dan area biodiversitas penting di Indonesia.
Terjaganya wilayah tutupan hutan yang tersisa di Kepulauan Bangka Belitung, tidak terlepas dari kontribusi masyarakat adat dan komunitas lokal dalam mempertahanakan beragam pengetahuan mereka. Saat ini, tersisa 204.974 hektar tutupan hutan [DIKPLHD Bangka Belitung, 2022] di Kepulauan Bangka Belitung.
“Sebagian besar kawasan hutan tersebut, yang berwujud bukit-bukit sakral, merupakan spot keanekaragaman hayati lokal, sumber air, nutris dan pangan, serta benteng dari ancaman bencana antropogenik,” kata Jessix Amundian, dari Tumberk for Earth, kepada Mongabay Indonesia, Kamis [24/20/2024].
Ironinya, hingga saat ini belum ada hutan adat di Kepulauan Bangka Belitung yang diakui negara. Namun, di tingkat desa, sejumlah hutan larangan sudah mendapat legalitas melalui peraturan desa [perdes] setempat.
Misalnya, Hutan Adat Tukak di Desa Pangkal Niur, Kabupaten Bangka yang luasnya sekitar 250 hektar. Ratno [44], pengurus hutan adat menjelaskan, hadirnya peraturan daerah [perda] hingga keputusan menteri sangat diharapkan.
“Ini akan lebih menjamin keberadaan hutan adat kami yang luasnya kisaran 250-an hektar. Hutan itu menyimpan banyak pengetahuan leluhur, serta sumber kehidupan masyarakat, mulai dari obat-obatan, madu, dan lainnya,” katanya.
- Advertisement -
Hal serupa juga terjadi pada Suku Mapur yang tersebar di lanskap hutan di bagian utara Pulau Bangka. Lanskap tersisa dijaga melalui peraturan adat itu terus menjadi target eksploitasi sumber daya alam.
Pada 2023, Suku Mapur telah diakui sebagai Masyarakat Hukum Adat melalui SK Bupati Bangka No. 100.3.3.2/1321/DLH/2023 tentang Penetapan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Mapor di Kabupaten Bangka.
Tapi, di dalam SK tersebut disebutkan, luas wilayah adat dan hutan adat akan diverifikasi kembali, sesuai aturan yang berlaku dan selanjutnya ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bangka.
“Dengan kata lain, posisi kami masih sama. Kami masih menunggu wilayah adat kami yang belum diakui sejak ratusan tahun lalu. Sementara, sejumlah kawasan hutan yang menjadi milik negara, saat ini banyak di tebang secara liar oleh masyarakat luar,” kata Asih Harmoko, Ketua Lembaga Adat Suku Mapur di Dusun Air Abik, Kabupaten Bangka.
Baca: Kisah Masyarakat Adat Pulau Bangka: Gerilya di Hutan Melawan Penjajah
Sebagian wilayah darat dan laut di muka bumi dikelola masyarakat adat secara berkelanjutan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Langka Sani, founder Alobi Foundation, sebuah organisasi konservasi satwa liar di Bangka Belitung menyatakan, banyak satwa teranacam punah berada di sejumlah hutan adat atau hutan larangan, yang dimiliki masyarakat adat dan komunitas lokal.
“Kami berharap, pemerintah sadar akan peran dan fungsi masyarakat adat dalam menjaga keanekaragaman hayati. Yang kemudian dapat bermuara pada diakuinya wilayah adat mereka dan status sebagai pengelola di tanah adat mereka sendiri.”
Dikutip dari penelitian komprehensif O’Bryan dan kolega [2021], dari 4.460 spesies mamalia yang dinilai oleh International Union for Conservation of Nature [IUCN], sekitar 60 persen berada pada peta lahan masyarakat adat saat ini.
Untuk spesies yang terancam, 473 [47 persen] berada di tanah adat dengan 26 peren memiliki > 50 persen habitat di tanah tersebut. Para peneliti juga menemukan bahwa 935 spesies mamalia [131 dikategorikan sebagai terancam] memiliki ≥ 10 persen wilayah jelajah di tanah masyarakat adat yang memiliki tekanan manusia rendah.
“Hasil kami menunjukkan betapa pentingnya tanah masyarakat adat bagi keberhasilan implementasi agenda konservasi dan pembangunan berkelanjutan di seluruh dunia.”
Sebagai informasi, menurut penelitian Garnett dan kolega [2018], masyarakat adat diperkirakan mengelola atau memiliki hak penguasaan wilayah sekitar 38 juta km2 di 87 negara atau daerah yang secara politik berbeda di semua benua yang berpenghuni.
Ini mewakili lebih dari seperempat permukaan tanah dunia, dan memotong sekitar 40 persen dari semua kawasan lindung daratan dan lanskap yang utuh secara ekologis, misalnya, hutan primer dan tropis, sabana, dan rawa].
“Hasil kami menambah bukti yang berkembang bahwa mengakui hak masyarakat adat atas tanah, pembagian manfaat, dan lembaga sangat penting untuk memenuhi tujuan konservasi lokal dan global,” tulis penelitian tersebut.
Baca: Tergerusnya Hutan Adat Suku Melayu Tua di Pulau Bangka
Wilayah adat Suku Mapur di Dusun Abik terdampak pertambangan dan perkebunan sawit. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Di Indonesia, wilayah adat yang terpetakan sudah mencapai 30,1 juta hektar. Namun, baru 16 persen dari wilayah tersebut yang telah diakui secara hukum.
“Menjamin hak penguasaan tanah masyarakat adat adalah hal yang terpenting jika kita ingin melindungi keanekaragaman hayati tersisa,” kata Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat [BRWA].
Menjamin dan melindungi wilayah masyarakat adat dan kawasan konservasi akan membantu Indonesia mencapai target 30×30 [perlindungan 30 persen area keanekaragaman hayati di daratan dan lautan tahun 2030].
Menurut data terbaru Working Group on Indigenous and Local Communities-Conserved Areas and Territories Indonesia [WGII], terdapat lebih 22 juta hektar lahan yang masyarakat Indonesia kelola dan lindungi dengan pengetahuan tradisional. Kondisi ini, dapat mendukung tujuan konservasi Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global atau Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework [KM GBF].
Baca juga: Masyarakat Adat, Penjaga Bumi yang Terabaikan
Kawasan Gunung Cundong, hutan larangan Suku Mapur yang masuk dalam konsesi HTI. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Agenda Masyarakat Adat di COP 16
Sekitar 200 negara berkumpul di Cali, Kolombia, untuk menghadiri United Nations Biodiversity Conference [COP 16 CBD] yang berlangsung dari 21 Oktober-1 November 2024. Pertemuan tersebut untuk merundingkan upaya menghentikan dan membalikkan kerusakan alam dan punahnya keanekaragaman hayati.
Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia yang hadir di Cali, menyerukan kepada delegasi Pemerintah Indonesia yang berunding serta komunitas global untuk mendukung agenda terkait hak-hak Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal [Indigenous Pepole & Local Community].
Penghormatan terhadap hak Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal, menempati peran penting dalam Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global atau Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework [KM-GBF], yang disepakati dua tahun lalu.
Pada COP 16 CBD, Masyarakat Adat mendorong negara-negara yang hadir untuk memastikan pengakuan penuh atas kontribusi Masyarakat Adat dalam perlindungan keanekaragaman hayati dunia, serta mendorong ditetapkannya pembentukan badan permanen [Subsidiary Body] yang mengikat khusus Article 8j terkait pengetahuan lokal, inovasi, dan praktik-praktik tradisional dalam perlindungan keanekaragaman hayati.
Namun, perwakilan delegasi Indonesia menolak pendirian Subsidiary Body tersebut.
“Penolakan delegasi Indonesia terhadap pembentukan Subsidiary Body pada Article 8j tentang Pengetahuan, Inovasi, dan Praktik-Praktik Tradisional adalah sebuah kemunduran,” ujar Cindy Julianty dari WGII, Kamis [24/10/2024].
Pembicaraan terkait upaya mempermanenkan Working Group on Article 8j sudah dilakukan 20 tahun lalu untuk memastikan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional.
“Pasca-komitmen KM-GBF, adanya kerangka kerja dan pembentukan Subsidiary Body, dapat memastikan terukur dan terjaminnya dimensi keadilan dan sosial implementasi KM-GBF,” lanjutnya.
Baca: Mangrove, Bahan Obat Tradisional, dan Masyarakat Adat Bajo
Hutan di Dusun Aik Abik, Bangka, yang merupakan wilayah adat Suku Mapur, perlahan habis oleh perkebunan sawit dan tambang timah ilegal. Foto drone: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia
Selain itu, delegasi pemerintah Indonesia dalam COP 16 CBD tidak menghendaki adanya pendanaan langsung yang dapat diakses Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal.
Delegasi pemerintah Indonesia juga bersepakat dengan pernyataan pemerintah Brazil, bahwa dukungan pendanaan langsung tersebut harus bisa masuk melalui otoritas nasional [pemerintah], sehingga perlu disesuaikan dengan kebutuhan [kepentingan] nasional.
“Kami atas nama Masyarakat Adat, menyesalkan sikap dan pernyataan delegasi pemerintah Indonesia yang telah mengabaikan hak-hak konstitusional kami sebagai penyandang hak utama yang telah menjaga ekosistem dan keanekaragaman hayati turun temurun, jauh sebelum adanya negara,” kata Eustobio Rero Renggi, juru bicara dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang juga hadir pada COP 16 CBD.
Eustobio menyarankan delegasi Indonesia, untuk menyepakati usulan dari mayoritas negara-negara yang menghendaki adanya pendanaan langsung tersebut.
“Negara-negara seperti Meksiko, Namibia, Swiss, bahkan Uni Eropa, telah berkomitmen mendukung pendanaan langsung. Apalagi, 60 persen populasi Masyarakat Adat terbesar ada di Asia, dan salah satunya Indonesia,” terangnya.
Masyarakat Suku Mapur di Pulau Bangka mengadakan ritual nujuh jerami sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen beras merah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Urgensi
Saat ini, keanekaragaman hayati Indonesia terancam aktivitas industri ekstraktif seperti pertambangan, penebangan hutan, pertanian skala besar, dan berbagai proyek strategis nasional.
Izin-izin ekstraktif itu telah menguasai lebih 100 juta hektar daratan dan lautan Indonesia [55,5 juta hektar di daratan dan 45,4 juta hektar di lautan].
Ogy Dwi Aulia dari Forest Watch Indonesia menyatakan, komitmen terhadap perlindungan keanekaragaman hayati harus ditunjukkan dengan aksi nyata.
“Ada satu juta hektar industri ekstraktif di kawasan konservasi. Selain itu, ada 20,5 juta hektar industri ekstraktif di area ekosistem penting seperti koridor satwa, taman kehati, dan area biodiversitas penting.”
Keanekaragaman hayati laut Indonesia juga perlu segera dilindungi. Saat ini, jutaan hektar wilayah laut Indonesia dikelola secara berkelanjutan oleh masyarakat pesisir. Tentunya, berkontribusi terhadap ketahanan pangan dan pencapaian Indonesia Biodiversity Strategic Action Plan [IBSAP], khususnya dalam upaya melindungi 30 persen area laut Indonesia.
“Indonesia perlu mendukung teks yang memastikan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, akses terhadap keadilan dan informasi, serta perlindungan bagi pembela hak asasi manusia dan lingkungan, masyarakat adat, dan komunitas lokal, dengan pendekatan berbasis hak asasi manusia,” jelas Rayhan Dudayev dari Greenpeace.
Referensi:
Garnett, S. T., Burgess, N. D., Fa, J. E., Fernández-Llamazares, Á., Molnár, Z., Robinson, C. J., Watson, J. E. M., Zander, K. K., Austin, B., Brondizio, E. S., Collier, N. F., Duncan, T., Ellis, E., Geyle, H., Jackson, M. V., Jonas, H., Malmer, P., McGowan, B., Sivongxay, A., & Leiper, I. (2018). A spatial overview of the global importance of Indigenous lands for conservation. Nature Sustainability, 1(7), 369–374. https://doi.org/10.1038/s41893-018-0100-6
O’Bryan, C. J., Garnett, S. T., Fa, J. E., Leiper, I., Rehbein, J. A., Fernández‐Llamazares, Á., Jackson, M. V, Jonas, H. D., Brondizio, E. S., & Burgess, N. D. (2021). The importance of Indigenous Peoples’ lands for the conservation of terrestrial mammals. Conservation Biology, 35(3), 1002–1008.
Menjaga Hutan Melancarkan Orang Mapur Menuju Surga
Sumber: Mongabay.co.id