- Warga pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, sebagian besar hidup sebagai nelayan, ada juga yang jadi petani. Kini, sumber mata pencarian mereka terancam hilang, menyusul area pesisir, laut, maupun perkebunan, dan lahan pertanian (sawah) masuk proyek pemukiman mewah, Pantai Indah Kapuk II.
- Para nelayan di desa-desa terdampak bingung dan khawatir kalau sampai mereka kehilangan ruang untuk melaut. Ketika pemukiman mewah jadi, bagaimana akses mereka ke laut? Saat ini saja, nelayan mulai merasa kesulitan, melaut makin jauh. Bagi nelayan kecil yang mencari ikan di tepian laut, sudah makin sulit, apalagi sudah ada patok-patok pembatas.
- Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekusi Nasional Walhi mengatakan, PSN menimbulkan berbagai persoalan. Seharusnya, masalah yang muncul jadi pintu masuk untuk evaluasi PSN di Indonesia termasuk PIK II. Apalagi, kriteria masuk PSN makin tak jelas, seperti PIK II, proyek pemukiman mewah murni swasta tetapi masuk PSN.
- Ombudsman Banten sudah turun ke lapangan dan menjalin komunikasi dengan masyarakat dan meminta masyarakat melapor kalau ada persoalan. Fadli Afriadi, Kepala Ombudsman Banten menyatakan, pembangunan semestinya tidak merugikan masyarakat. Sebaliknya, justru harus memastikan masyarakat tetap bisa meningkatkan taraf hidup, bukan malah sengsara.
- Advertisement -
Warga pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, sebagian besar hidup sebagai nelayan, ada juga yang jadi petani. Kini, sumber mata pencarian mereka terancam hilang, menyusul area pesisir, laut, maupun perkebunan, dan lahan pertanian (sawah) masuk proyek pemukiman mewah, Pantai Indah Kapuk II
oleh pengembang, PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI).
Siang itu, Joy, nelayan Desa Ketapang, Kecamatan Mauk, Tangerang, Banten tengah memperbaiki jaring. Satu persatu dia menjahit jaring yang rusak di beberapa sisinya. Nelayan lain tengah siap melaut. Di bagian lain, para perempuan sedang mengupas kulit kerang hijau.
“Nanti ini jam 4 (16.00) ke laut,” katanya kepada Mongabay.
Dia mengeluhkan melaut makin sulit. Tangkapan ikan menurun apalagi laut sudah ada pembatas. Dia was-was kalau nanti tak bisa melaut lagi.
“Takutnya gak boleh masuk lagi (untuk melaut), saya pernah liat di TV, [ada yang ] diusir sama penjaganya, gak boleh ke wilayah, katanya itu wilayah dia,” katanya.
Pantauan Mongabay di pesisir Desa Ketapang, lautan sudah ada pembatas dengan bambu. Joy bilang, pengembang yang memasang batas di laut itu.
“Pelabuhan ini, ngedenger mah, cuma rehabnya kapan ga tau, kan nanti digusur, belum tau kapan (digusur).”
Para nelayan sempat mencabut bambu-bambu di lautan itu karena mengganggu aktivitas perahu mereka. Namun, katanya, pengembang atas dalih izin pemerintah desa memasang pembatas lagi.
“Kalau malam kan gak keliatan kena perahu, namanya ombak susah perahu belokin nyasar kesini kena bambu akhirnya bocor, pernah dicabut itu.”
Sejak ada pembatas, jadi menyulitkan nelayan melaut. Joy khawatir, apabila pembangunan PIK 2 rampung, nelayan tak ada ‘izin’ akses melaut melalui area itu. “Sebulan pendapatan ga tentu, kalau rame lumayan.”
Dia punya bagan yang jadi andalan bagi keluarga mereka. Kalau tangkapan ikan sedang banyak, dia bisa dapat pemasukan Rp400.000-Rp500.000 sehari. “Kalau lagi rame, kalau sepi kadang gak dapat sama sekali.”
Patok bambu sebagai pembatas yang pengembang PIK II bikin menyulitkan nelayan. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia
Tak hanya laut yang ada patok, sebagian tanah warga Desa Ketapang, sudah dikuasai pengembang. Dari pantauan Mongabay, banyak papan bertuliskan “Tanah ini milik Jaya Land.”
Bahkan, papan itu juga ditemukan di sekitar kawasan pelestarian hutan mangrove Desa Ketapang. Jaya Land, salah satu pengembang PIK II.
“Dilarang memanfaatkan dan menggarap tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya Pasal 167 KUHP, Pasal 6 Perpu Nomor 51/1960,” tulis plang peringatan itu.
Joy tak tahu nasibnya ke depan. Sebagai rakyat kecil, katanya, tak bisa berbuat banyak, apalagi untuk melawan.
“Namanya rakyat kecil mau ngelawan perusahaan gede itu mah mana mampu. Kita berontak dikit aja masuk (penjara), terus kita berlindung sama siapa? Pemerintah mah ke pengembang, mana mungkin mereka ngelindungin rakyat.”
Penggusuran lahan pun mengintai warga. Joy bilang, cepat atau lambat rumah-rumah warga akan tergusur untuk pengembangan PIK II. Mereka pun tak tahu harus ke mana.
“Udah nyaman di laut, bingung mau di daratan juga, kita juga punya kapal, gimana? Alat tangkapnya mau dikemanakan. Kita ngandelin laut, kalau digusur bingung lagi, kerja apa?”
Pemandangan serupa juga terjadi di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang. Bambu-bambu pembatas terlihat terpasang di laut.
Joni, bukan nama sebenarnya nelayan Desa Kohod mengatakan, pembatas bambu itu mulai terpasang sejak 2022. Serupa yang nelayan Desa Ketapang rasakan. Makin sulit melaut setelah ada batas-batas laut.
“Iya susah, udah dua tahun ini, maka saya beralih ke bagan pancing, terus sekarang pada pakai bubu (perangkap) bukan jaring lagi, jaring udah jangan pake , karena sering nyangkut di bambu, kalau nebar kejauhan gak ada ikan dan rajungan mainnya ke pinggir,”katanya.
Joni tak tahu luasan laut yang dikuasai pengembang di Desa Kohod ini.
“Sebenarnya dikasih jalan (akses melaut) memang, tapi nebar jaringnya yang susah, sebelum dipatok kita bebas, mau dimana aja bisa (melaut),” katanya.
Nelayan kecil sulit menangkap ikan, pendapatan pun makin berkurang. Bahkan sebagian nelayan sudah tak melaut lagi.
“Kalau dulu sih, dari rajungan aja, perhari itu Rp100.000 ketemulah, sampai Rp200.000 bisa, rajungan saja, belum ikan yang lain. Sekarang cari uang Rp50.000 aja susah. Itu juga udah abis sama biaya operasional.”
Dia pun pasrah, sembari berharap akses nelayan melaut tidak terganggu.
“Mau dijadiin silakan, tapi tolong kasih akses nelayan, lebih jelas, tata ruangnya kasih ini untuk nelayan gitu,” katanya berharap.
Pembatas dari bambu yang dibikin di perairan pesisir Tangerang oleh pengembang PIK II. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia
Di Desa Muara, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, para nelayan sudah tak bisa melaut dekat pesisir.
Pembangunan perumahan mewah yang mendapat status proyek strategis nasional di era Presiden Joko Widodo, awal 2024 ini sudah menguasai pesisir Teluknaga dan Kosambi.
“Kita masuk udah dipriwitin (sekuriti meniup pluit) saja. Di PIK larangannya banyak, udah banyak sekuriti yang jaga,” kata Toto, bukan nama sebenarnya, Juni lalu.
Sebelum ada pengembangan PIK II, katanya, para nelayan bebas melaut. Biasa mereka melaut hingga Kosambi. Kini, pesisir Kosambi sudah jadi kawasan mewah. Nelayan sudah tak bisa mendekati laut dengan pesisir masuk area pengembang.
“Ada yang bandel motornya dibawa ke pos di pemasaran (di Dadap PIK II). ‘Besok-besok bapak gak boleh masuk sini lagi,” katanya, mengulang ucapan penjaga.
Kini nelayan yang mengandalkan tangkapan ikan di pinggir laut mulai tergerus. Nelayan yang punya kapal tetap melaut namun jarak kian jauh. Akses nelayan melaut pun terbatas, mereka hanya mengandalkan jalur di kawasan wisata mangrove Desa Muara.
“Nelayan tengah, nelayan pinggir, total penghasilan ilang. Kalau dulu sebelum ada PIK di pinggiran banyak (ikan), asal mau turun ke laut, kerang segala apa. Sekarang, kalau dari sini jauh, kudu bawa perahu,” kata Joni.
Sawah petani pun terdampak. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia
Tak hanya di laut, di daratan pun PIK II juga kuasai lahan-lahan warga seperti kebun dan sawah. Banyak petani menganggur atau beralih kerjaan.
Rina, warga Desa Tanjung Burung ini puluhan tahun sebagai petani padi. Dahulu, dia mengurusi lahan tani orang, hasil padi dia bagi dua dengan pemilik.
“Saya dulu kan ngurusin tanah 4 hektar, 39 tahun saya jaga. Dulu kamar isinya padi. Dapat 6 ton dibagi dua.”
Begitu pula Samid, warga Desa Tanjung Burung . Dulu dia punya sekitar 200 tanaman kelapa. Hasil panen kelapa itu dia jual untuk memenuhi kebutuhan hidup.
“Sekarang udah gak ada, kelapa 200 pohon gak dibayar ganti rugi,” katanya.
Lahan-lahan itu kini sudah dijual dan akan jadi kawasan mewah. Mata pencarian mereka pun hilang. Rina menganggur dan Samid bekerja serabutan.
Ujang Sudiartono, Kepala Badan Perencanan dan Pembangunan Kabupaten Tangerang, mengatakan, PSN PIK II merupakan kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah, hanya memberikan rekomendasi.
“Jadi, ada daerah mengajukan usulan dan kemudian ditetapkan pemerintah pusat dengan beberapa kriteria. Kalau di tanya PSN ke depan kayak apa? Kita gak tau, kita hanya mengikuti program yang dicanangkan pusat, ke depan ada apa saja? Kita juga masih menunggu,” katanya, Juni lalu.
Dia bilang, Pemerintah Kabupaten Tangerang hanya sebatas dimintai rekomendasi terkait PSN PIK II. Dalam rekomendasi itu, Pemerintah Kabupaten Tangerang menyetujui pembangunan PIK II karena lokasi sesuai RTRW.
“Kita sudah menyetujui karena sudah sesuai RTRW, itu kawasan perusahaan yang ditetapkan sebagai PSN, misal, di PIK II. PIK II secara RTRW membuka kawasan permukiman kepadatan tinggi, jadi apa saja yang ada disana sudah sesuai RTRW.”
Suyus Windayana, Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), mengaku belum mendapatkan informasi soal lokasi pengembangan PIK II yang jadi PSN. Terutama soal status lahan yang dibebaskan karena PSN PIK II oleh swasta.
“Lokasi PIK dimana, yang lokasi PSN kita belum tau juga, sedang kita cek. Saya akan cek boundary-nya dimana, yang dibebaskan mana, apakah yang dimaksud itu kawasan hutan atau bukan , nanti saya cek dulu,” katanya kepada Mongabay, Juli lalu.
Suyus bilang, penetapan PSN untuk PIK ini sebenarnya belum beres. Masih ada beberapa persyaratan harus mohon ulang ke KATR/BPN termasuk kesesuaian tata ruang.
“Jadi saya mungkin belum bicara sampai ke pembebasan, karena permohonan izin-izin yang terkait dengan tindak lanjut dari KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) sedang diproses.”
Namun, kata Suyus, pemerintah harus memastikan pengadaan tanah atau pembebasan lahan tidak merugikan masyarakat.
“Masyarakat harus mendapatkan nilai layak, baik itu dari harga tanah, pun harga-harga di atas tanahnya itu, misal, tanaman, rumah dan lain-lain,” katanya.
Dia mengatakan, masyarakat bisa melapor ke KATR/BPN apabila mendapat ketidakadilan atas pembebasan lahan. KATR/BPN, katanya, akan menindaklanjuti.
“Nanti kita cek atas kepemilikan tanahnya, sesuai ketentuan, masyarakat mendapatkan hak yang layak, jangan dirugikan begitu, harus.”
Mongabay berupaya menghubungi pengembang PIK 2 untuk meminta konfirmasi, namun belum merespon. Antara lain, Mongabay menghubungi Christy Grassela, Corporate Secretary & Shareholder Relations PT Pantai Indah Dua Tbk (PANI) dan Fionna Chrysanti, Head of Public Relations Department Agung Sedayu Group, namun belum ada respon.
Nelayan Tangerang mulai kesulitan melaut. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia
Warga bisa lapor
Masyarakat pesisir Kabupaten Tangerang yang terdampak pembangunan PIK II takut lapor. Mereka mendapat berbagai ancaman, mulai dari tak akan ada tempat relokasi, harga tanah akan turun bila tak jual ke pengembang, sampai dipanggil polisi.
Fadli Afriadi, Kepala Ombudsman Banten menyatakan, sampai saat ini belum ada warga lapor. Apabila melapor Ombudsman, Fadli menjamin akan langsung menindaklanjuti.
“Kita mendorong juga nih siapa yang mau cerita, karena di Ombudsman laporan itu bisa dilindungi, sampaikan dan kita sudah dorong lewat tokoh masyarakat, pemuda, cuma sampai sekarang belum ada laporan yang masuk,” katanya, belum lama ini.
Ombudsman Banten sudah turun ke lapangan dan menjalin komunikasi dengan masyarakat. Dalam kunjungan, Fadli meminta masyarakat melapor.
“Kita akan lindungi identitas pelapor dan akan jaga mereka tidak dirugikan atas laporan yang mereka sampaikan ke Ombudsman.”
Dia menyatakan, pembangunan semestinya tidak merugikan masyarakat. Sebaliknya, justru harus memastikan masyarakat tetap bisa meningkatkan taraf hidup, bukan malah sengsara.
“Artinya kalau dia petani dengan lahan umpama 500 meter ya kan gak mungkin tiba-tiba kerja bangunan, bukan itu bidang usaha dia dan keahliannya,” katanya.
Bagi mereka yang terdampak, mestinya bisa dapat tempat di daerah lain dengan luasan sama, atau lebih besar. “Artinya yang terdampak jangan jadi korban, dan jangan dirugikan.”
Fadli bilang, meski belum ada laporan warga, Ombudsman berencana investigasi atas dasar inisiatif. Mereka masih mengumpulkan bukti-bukti sebelum masuk ke tahap investigasi.
PSN PIK II di pesisir Tangerang. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia
Evaluasi penetapan PSN
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekusi Nasional Walhi mengatakan, yang dialami masyarakat Pesisir Kabupaten Tangerang, menambah catatan kelam PSN.
“Belakangan kita tau wilayah pesisir mengalami perampasan, ocean grabbing, masyarakat kehilangan akses pantai dan laut secara drastis,” katanya.
Miris, katanya, di Jakarta orang sudah sulit akses pada pantai yang bersih dan gratis, kini bergeser ke Tangerang.
Berbagai dampak yang menimpa masyarakat, katanya, merupakan dinamika dalam PSN dan proyek pemerintah lain. Banjir, konflik, perampasan lahan, memunculkan kemiskinan, menghilang ruang hidup masyarakat, pembebasan lahan yang tak sesuai hingga masyarakat kehilangan mata pencarian.
“Problem lain ada the dark side, ada sisi hitam dari proyek PSN, PIK II termasuk juga.”
Berbagai persoalan itu, seharusnya jadi pintu masuk untuk evaluasi PSN di Indonesia termasuk PIK II. Apalagi, dia merasa kriteria masuk PSN makin tak jelas, seperti PIK II, proyek pemukiman mewah murni swasta tetapi masuk PSN.
Lahan di Tanjung Burung ini dulu sebagian merupakan hutan mangrove…Foto: Irfan Maulana/ Mongabay Indonesia
*****
Kala Hutan Mangrove Pesisir Tangerang Terbabat jadi Pemukiman Mewah
Sumber: Mongabay.co.id