- Mentilin [Cephalopachus bancanus bancanus], adalah satwa identitas Kepulauan Bangka Belitung yang potensial dijadikan partner untuk merawat kebun, karena perannya sebagai pestisida alami di lahan pertanian.
- Sebagai imbalan karena telah menjaga kebun, para petani disarankan untuk mempertahankan jenis pohon tidur dan berlindung mentilin, seperti pohon ara, bambu, dan jenis lain yang memiliki tajuk rapat.
- Habitat mentilin berada di hutan sekunder atau kebun campuran dengan jenis-jenis pohon pancang beragam. Konservasi mentilin berpotensi diintegrasikan dengan kearifan hutan kelekak masyarakat Bangka Belitung.
- Meskipun sudah cukup mudah ditemui di alam liar, mentilin masih terancam oleh alih fungsi lahan akibat pertambangan, perkebunan skala besar sawit, hingga perburuan dan perdagangan ilegal.
Mentilin [Cephalopachus bancanus bancanus] adalah satwa yang harus dipertimbangkan para petani untuk dijadikan sebagai partner merawat kebun. Tubuhnya mungil, bermata besar, lincah, pandai melompat, dan spesies primata karnivora yang menyukai beragam jenis serangga.
“Mentilin adalah pestisida alami yang potensial bagi pertanian,” kata Randi Syafutra, peneliti satwa dan dosen di Program Studi Konservasi Sumber Daya Alam [KSDA], Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung, pada Bincang Alam Mongabay Indonesia, Kamis [17/10/2024].
Satwa identitas Kepulauan Bangka Belitung ini juga berkontribusi dalam menjayakan lada, komoditas pertanian yang penting di Kepulauan Bangka Belitung.
“Tanpa kita sadari, mereka berkerja keras menjaga keseimbangan ekosistem lahan pertanian saat malam hari. Tanpa mentilin, mungkin Bangka Belitung tidak akan dikenal sebagai daerah produsen lada terbesar di Indonesia, atau bahkan dunia,” lanjutnya.
Dalam penelitan Randi Syafutra dan kolega [2019], sejumlah jenis serangga yang menjadi favorit mentilin berasal dari ordo Lepidoptera [kupu-kupu dan ngengat], Orthoptera [belalang dan jangkrik], Hemiptera [kepik], Hyminoptera [semut, lebah, tawon dan lalat gergaji], hingga Araneae [laba-laba]. Termasuk vertebrata, misalnya burung, kelelawar buah kecil, laba-laba, katak, kadal, tikus, dan ular.
- Advertisement -
Baca: Mentilin, Fauna Identitas Bangka Belitung yang Terancam Punah
Mentilin, satwa identitas Bangka Belitung yang berpotensi menjadi partner dalam merawat kebun warga. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Penelitian Farida dan kolega [2008] yang mengamati pola makan mentilin betina di penangkaran, menyatakan dari 25 ekor jangkrik yang diberikan, sekitar 20 ekor habis dilahap oleh satu individu mentilin. Sementara dari enam ekor belalang yang diberikan, hanya 2-3 ekor yang dimakan.
“Jangkrik lebih disukai tarsius walaupun memiliki kandungan protein lebih rendah [60,47%] ketimbang belalang [70,26%],” tulis penelitian tersebut.
Alasan lainnya, belalang memiliki komposisi protein kasar yang mengandung nitrogen dalam bentuk senyawa khitin dan kandungan serat kasar belalang [20,72%] juga jauh lebih tinggi dari jangkrik [7,30%].
Zikri Alamsyah dari Tim Wildlife Alobi Foundation, mengatakan dari pengalamannya melakukan perawatan mentilin hasil serahan warga di penangkaran Alobi, mentilin memiliki tiga fase waktu makan. Yakni, antara jam 18:00-19:00, 21:00-22:00, serta 2:00-3:00 WIB.
“Setiap fasenya, menghabiskan 2-3 jangkrik ukuran normal yang dijual di toko burung, dan mungkin 3 ekor jangkrik tersebut setara satu ekor belalang ukuran besar di hutan,” katanya, Sabtu [19/10/2024].
Ide mengenai potensi mentilin sebagai pestisida alami di area pertanian, sejatinya telah muncul dalam penelitian Leksono dan kolega [1997] pada populasi mentilin [Tarsius spectrum] di Sulawesi.
“Kami melihat tidak ada alasan bagus kenapa tarsius tidak bisa coexist dengan perkebunan intensif di Sulawesi. Tarsier sama sekali tidak memakan tanaman pertanian, dan mereka memakan banyak serangga,” tulis penelitian tersebut.
Salah satu kasus menarik yang menyiratkan peran penting tarsius adalah, serangan penyakit yang melanda perkebunan kelapa di Pulau Karekelong [Sulawesi]. Dari cerita yang beredar, belalang berukuran besar memakan semua daun kelapa.
“Mungkin bukan suatu kebetulan bahwa ini adalah satu-satunya gugus pulau di kawasan ini yang tidak memiliki tarsius,” lanjut para peneliti.
Sebagai informasi, Tarsiidae terdiri dari tiga genus, yakni Western Tarsier Cephalopachus, Tarsier Filipina Carlito, dan Eastern Tarsier Tarsius. Cephalopachus terdiri dari satu spesies, yakni C. bancanus yang memiliki empat subspesies; Tarsier Horsfield [C. b. bancanus (Horsfield)], Tarsier Kalimantan[ C. b. borneanus (Elliot)], Tarsier Kepulauan Natuna [C. b. natunensis (Chasen)], dan Tarsius Belitung [C. b. saltator (Elliot)].
Baca: Kearifan Komunitas Adat Menjaga Hutan dan Perubahan Iklim
Areal hutan perkebunan di Taman Hutan Raya Bukit Mangkol yang menjadi salah satu habitat mentilin di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Pohon tidur
Untuk menunjang kehidupan mentilin, kebun harus memiliki tumbuhan yang beragam atau tidak monokultur. Habitat yang paling baik untuk mentilin adalah tingkat semai dan pancang, berguna untuk mencengkeram batang pohon pada saat berpindah.
“Mentilin banyak ditemui di hutan sekunder atau bekas kebun warga. Termasuk juga di kebun karet, lada, hingga durian. Namun, tidak di kebun sawit karena vegetasi yang tidak beragam dan jenis pohon sawit tidak berpancang,” terang Randi.
Selain itu, ketika membuka kebun, diharapkan masyarakat dapat mempertahankan sejumlah jenis pohon yang disukai mentilin sebagai lokasi tidur dan berjalan saat mencari makan. Misalnya, anakan pohon seru atau medang gatal [S. wallichii], mengkirai [T. orientalis], serta jenis ara-aran seperti bua bulu [F. annulata] dan bua tupai [F. aurata], bambu [Gigantochloa atter], serta simpur [Dillenia suffruticosa].
Alasan mentilin menyukai pohon tersebut, karena memiliki tajuk rapat, seperti rumpun bambu ataupun sela-sela akar kayu ara yang rapat. Selain sebagai tempat tidur, kondisi tajuk yang rapat, juga penting sebagai tempat bersembunyi dari predator, seperti ular dan burung hantu.
“Jika diterapkan, gerakan konservasi mentilin tidak hanya akan menguntungkan petani, tetapi juga mempertahankan keanekaragaman fauna penting di Kepulauan Bangka Belitung.”
Upaya konservasi ini juga dimudahkan dengan adanya kelelak, sebuah kearifan masyarakat Bangka Belitung dalam mengelola lahan kebun. Wilayah kelekak biasanya ditanami buah-buahan, umumnya durian, binjai, dan manggis. Pemiliknya pribadi maupun bersama [keluarga], yang diperuntukkan untuk anak cucu atau generasi mendatang.
“Saat melakukan survei mentilin, sebagian besar habitat yang kami temui adalah kelekak. Konservasi mentilin berpeluang besar diintegrasikan dengan kelekak atau kebun warga lainnya.”
Namun, mentilin yang terdapat di daerah kelekak juga rentan menjadi korban perburuan, ditangkap dan diperdagangkan.
“Oleh karena itu, diperlukan program penyadaran untuk menyoroti kebutuhan konservasi dan status perlindungan hukum [termasuk sanksi dan hukuman] terhadap spesies tersebut,” jelasnya.
Baca: Kubung, Satwa Misterius yang Berkomunikasi dengan Suara Ultrasonik
Jari-jari mentilin digunakan untuk berpegangan di antara pancang pohon-pohon di hutan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Terancam
Randi Syafutra menduga, populasi mentilin di Bangka Belitung mungkin mengalami peningkatan. Hal ini beranjak dari perbandingan hasil survei lapangannya antara tahun 2015 dan 2024.
“Saat melakukan survei 2015/2016, kami lebih banyak menemukan kukang bangka dibandingkan mentilin. Kalau sekarang justru kukang bangka yang sulit ditemukan, sedangkan mentilin cukup mudah,” katanya.
Dalam penelitian mentilin oleh Hasibuan dan kolega [2023] di Taman Keanekaragaman Hayati [Kehati] Hutan Pelawan, Kabupaten Bangka Tengah, dijelaskan jumlah mentilin yang mereka temui selama Maret-April adalah enam individu dari dua kelompok. Kepadatan mentilin di lokasi Hutan Pelawan sebesar 21.4 mentilin per km2, dengan sex ratio 1:2 yang didominasi tanaman Pelawan.
“Degradasi hutan di Pulau Bangka akibat penebangan liar, konversi lahan menjadi perkebunan, dan penambangan timah ilegal oleh masyarakat dan bisnis skala besar telah mengurangi habitat mentilin,” tulis penelitian tersebut.
Baca juga: Bukit Peramun, Hutan Digital Pertama Berbasis Masyarakat di Indonesia
Dilindungi
Berdasarkan dokumen IKPLHD Kepulauan Bangka Belitung 2019, sekitar 1.007.372 hektar lahan telah diberikan izin usaha pertambangan. Terdapat 25 jenis bahan galian, yang dikelola ratusan perusahaan.
Akibatnya, dari 1,6 juta hektar luas daratan Bangka Belitung, tersisa 204.974 hektar tutupan hutan [DIKPLHD Bangka Belitung, 2022]. Pada 2018, jumlah kolong yang tersebar di semua wilayah Bangka Belitung, mencapai 12.607 kolong dengan total luasan 15.579 hektar.
Sebagai informasi, Daftar Merah Spesies Terancam Punah IUCN telah menetapkan status konservasi C. bancanus sebagai Rentan [VU]. Bersama primata lain, spesies ini juga tercantum dalam Lampiran II Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Fauna dan Flora Liar yang Terancam Punah [CITES].
Spesies ini juga dilindungi oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Referensi:
Farida, W. R., Wardani, K. K., Tjakradidjaja, A. S., & Diapari, D. (2008). Konsumsi dan penggunaan pakan pada Tarsius (Tarsius bancanus) betina di penangkaran. Biodiversitas, 9(2), 148–151.
Hasibuan, R. S., Pracahyo, A. S., & Ihsan, M. (2023). Mentilin (Tarsius bancanus) The Smallest Primate at The Taman Kehati Pelawan, Central Bangka. Jurnal Sains Natural, 13(2), 99–106.
Leksono, S. M., Masala, Y., & Shekelle, M. (1997). Tarsiers and agriculture: thoughts on an integrated management plan. Sulawesi Primate Newsletter, 4(January), 11–13. https://www.researchgate.net/publication/267156478_Tarsiers_and_Agriculture_Thoughts_on_an_Integrated_Management_Plan
Syafutra, R., Alikodra, H. S., & Iskandar, E. (2019). MENTILIN Cephalopachus bancanus bancanus (HORSFIELD, 1821) HABITAT IN BANGKA REGENCY, INDONESIA. Asian Primates Journal, 8(1).
Lanskap Adat, Berpotensi Menjadi Wilayah Konservasi di Pulau Bangka
Sumber: Mongabay.co.id