Setelah 10 tahun memimpin, Presiden Joko Widodo resmi menyerahkan estafet kepemimpinan pada Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2024. Meski Presiden Jokowi berhasil memajukan infrastruktur, konflik agraria menjadi isu yang menyisakan ketidakpuasan.
Reforma agraria menjadi salah satu janji Nawacita pada awal pemerintahan Jokowi. Luasnya mencapai 12,7 juta hektar perhutanan sosial dan distribusi lahan 9 juta hektar. Bahkan, pemerintah juga menerbitkan Perpres Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria untuk mempercepat implementasi.
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria menyebutkan reforma agraria Jokowi hanya janji manis. “Kementerian Agraria Tata Ruang (ATR/BPN), hanya membagikan sertifikat tanah, tidak menyasar wilayah-wilayah konflik agraria, tidak koreksi terhadap ketimpangan penguasaan tanah dan tidak juga redistribusi tanah,” ujarnya.
KPA mencatat ada 2.939 letusan konflik sejak 2015-2023. Bukan selesai, konflik agraria malah bertambah, termasuk pada perkebunan sawit dan proyek infrastruktur. Ini menjadi warisan pada era Jokowi. Tentu saja, akan menjadi pekerjaan rumah bagi Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka terkait reforma agraria.
Berikut catatan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk sejumlah fakta terkait konflik agraria yang meletus di sepanjang 10 tahun pemerintahan Presiden Jokowi.
1. Angka kriminalisasi korban pejuang agraria meningkat
Aksi Hari Tani. Petani meminta, pemerintah serius jalankan reforma agraria. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia
Sepanjang 2023, catatan KPA menyebutkan ada 608 korban kekerasan dan kriminalisasi di wilayah konflik. Tiga korban diantaranya tewas saat terjadi konflik sektor perkebunan di Kalimantan Tengah, Riau dan Sumatera Utara.
- Advertisement -
Sedangkan, total kekerasan dan kriminalisasi dalam 10 tahun terakhir mencapai 3.503 korban pejuang hak atas tanah. Angkanya meningkat 50% sejak 2014. Peningkatan signifikan hingga dua kali lipat pada korban kriminalisasi mencapai 2.363 korban, 905 penganiayaan, 78 penembakan, dan 72 kematian.
Dibandingkan dengan rapor konflik agraria era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jelas terjadi eskalasi angka kriminalisasi pejuang agraria. Namun, jumlah korban yang tertembak dan tewas lebih tinggi, yakni 155 korban.
2. Sektor perkebunan penyumbang kasus paling tinggi
Ilham Mahmudi, pecinta lingkungan yang berjuang menjaga hutan lindung mangrove di Langkat agar tak jadi kebun sawit, malah kena jerat hukum. Kini dia dalam tahanan Polres Langkat. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia
Sektor perkebunan merupakan penyumbang terbesar konflik agraria tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Khususnya, perkebunan sawit. Hal ini seiring dengan perluasan perkebunan sawit yang terus meningkat sejak 2014. Luasan perkebunan yang mengalami letusan konflik hingga 2023 mencapai 2,7 juta hektar. Secara total tambahan luasannya sudah mencapai 17.76 juta hektar.
Dalam satu dekade terakhir, jumlah konflik mencapai 1.131 kasus dengan korban hingga 404.225 KK. Adapun, PTPN (BUMN) menjadi aktor penyebab konflik. Sedangkan, aparat kepolisian menjadi pihak paling banyak terlibat pada kasus kekerasan di wilayah konflik agraria.
Lahan sudah dibersihkan untuk cetak sawah food estate di Merauke, Papua. Foto: Yayasan Pusaka
Kasus infrastruktur menempati urutan ketiga dengan jumlah laju letusan agraria dalam 10 tahun terakhir. Totalnya mencapai 507 konflik dengan luas mencapai 553.166 hektar. Namun sejak 2020-2023, konflik sektor PSN meningkat signifikan hingga 115 letusan konflik.
Dari total tersebut, beberapa diantaranya merupakan akibat dari upaya percepatan PSN, diantaranya kasus tol Padang-Pekanbaru, food estate di Kalimantan Tengah, Papua, Sumatera Utara dan lainnya, penambangan Bendungan Bener, movieland MNC di Lido Sukabumi, dan waduk Lambo di Nusa Tenggara Timur.
Foto aerial jalan Tol Cisumdawu yang kembali menggusur pertanian dari proyek Jatigede di Desa Cacaban, Kecamatan Conggeang, Kabupaten Majalengka. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
Luas area sawah di Indonesia terus menyusut sejak 2014 hingga 2022. Pada 2014, luas sawah mencapai 9,97 juta hektar dan 9,88 juta ha pada 2022. Adapun meningkatnya alih fungsi lahan pertanian seiring dengan meningkatnya kasus konflik agraria karena menyasar tanah pertanian produktif.
Pembangunan jalan tol Trans-Sumatera, misalnya yang melintasi provinsi Lampung dan Sumatera Selatan. PSN tersebut menghilangkan produksi 2,7 juta ton beras. Sedangkan, pembangunan tol di DIY-Jawa Tengah menghilangkan 250 ha lahan pertanian; tol Jogja-Solo, Jogja-Kulonprogo, dan Jogja-Bawen diperkirakan akan melahap 561 lahan pertanian di Desa Tirtoadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Provinsi DIY.
Di Sulawesi, megaproyek PLTA Poso menghancurkan 266 hektar lahan sawah dan kebun di 16 desa sekeliling Danau Poso.
Konflik lahan di Sumatera Utara terus terjadi. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia
Data hasil Sensus Pertanian Badan Pusat Statistik (BPS) dalam 10 terakhir menyebutkan peningkatan petani gurem yang pesat per 2023. Jumlahnya mencapai 2,62 juta rumah tangga petani. Kenaikan ini terjadi di 10 provinsi penyumbang konflik terbanyak dalam satu dekade, diantaranya Jawa Barat, Riau, Sumatera Utara, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Lampung, Aceh, Jawa Tengah dan Jambi.
Data tersebut juga menyebutkan adanya peningkatan kemiskinan struktural di wilayah konflik agraria. Angka kemiskinan pada Maret 2022 (BPS) mencapai 26,16 juta jiwa, 54,81% dari total berada di wilayah kemiskinan. (***)
Mengenang Setahun Tragedi Konflik Agraria Rempang
*Sidney Alvionita Saputra adalah jurnalis yang saat ini menempuh pendidikan sarjana Teknik Infrastruktur Lingkungan di Universitas Gadjah Mada. Ia menulis tentang isu-isu lingkungan dan perempuan, fokusnya pada dampak lingkungan dan keadilan gender.
Sumber: Mongabay.co.id