Pada Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition (IIGCE) kesepuluh di Jakarta Convention Center, 18 September lalu, Presiden Joko Widodo menekankan perlu efisiensi pada proses perizinan wilayah kerja panas bumi (WKP), supaya tak memakan waktu bertahun-tahun. Indonesia sebagai pemilik potensi panas bumi terbesar, mencapai 40% dari potensi dunia, memiliki peluang mengembangkan energi panas bumi. Saat ini, dari potensi 24.000 MW yang dikerjakan hanya 11%.
Sebagai negara penyumbang emisi besar dari penggunaan energi fosil, pemerintah menjanjikan emisi di sektor ini akan berkurang signifikan pada 2040, pasca kontrak pembangkit energi fosil selesai.
Menurut European Commission dalam laporan status gas rumah kaca dunia 2023, volume emisi gas rumah kaca Indonesia pada 2022 mencapai 1,24 gigaton karbon dioksida. Ini 2,3% dari total emisi gas rumah kaca global. Penyumbang emisi terbesar dari sektor energi adalah industri pembangkitan listrik, pembakaran – pemrosesan industri dan eksploitasi minyak. Jumlahnya 530 juta ton karbon dioksida, separuh dari total emisi Indonesia.
Atas dasar itulah, sejak 2009 Indonesia berkomitmen menurunkan emisi hingga jadi 43,2% pada 2030 apabila mendapatkan bantuan internasional. Nol emisi karbon hendak dicapai sebelum 2060. Salah satu pilihan memenuhi target itu adalah mengoptimalkan geothermal atau energi panas bumi.
- Advertisement -
Geothermal merupakan usaha mengubah energi panas bumi jadi listrik, disebut pembangkit listrik tenaga panas bumi atau PLTP. Namun usaha mengubah panas bumi jadi listrik tidak tanpa risiko.
Perairan di Halmahera kala ada kawasan industri nikel. Foto: dari video CRI
Disinformasi industri geothermal
Pada Februari 2024, saya berkunjung ke Dieng dan mendapati kabar buruk operasi geothermal di wilayah itu. Muncul kasus kanker pada lima warga yang tinggal di satu kawasan dekat dengan wellpad di Karangtengah. Kasus seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Pada pagi hari, kita bisa mencium aroma yang menusuk hidung. Saya menggunakan Gastec, perangkat pemeriksa kualitas udara. Saat di Bekel, alat ini menunjukkan kandungan H2S di udara yang melampaui ambang batas sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 50/1996 tentang Baku Tingkat Kebauan. Kandungan H2S yang terdeteksi mencapai 0,5 ppm. Ambang batas 0,02 ppm.
Gastec juga mendeteksi kandungan Polycyclic Aromatic Hidrocarbon (PAH) mencapai 2 ppm. Meskipun belum diatur secara khusus tentang ambang batas PAH di udara, Permen LH No 14/2020 menyatakan, senyawa ini masuk dalam kategori pencemar udara. PAH dapat menimbulkan dampak negatif pada kesehatan manusia, antara lain kanker, gangguan pernapasan, masalah kulit, dan gangguan sistem saraf.
Selain risiko kesehatan manusia, saya juga menerima informasi dari warga di Pocoleok, Flores, terkait penurunan produktivitas pertanian di kawasan sekitar PLTP Ulumbu.
Inisiatif mencari sumber panas bumi di Pocoleok ini mulai 2009. Setelah resmi pada November 2011, PLTPb berdaya 10 MW di Ulumbu mulai beroperasi Januari 2012.
Pada 2017, cengkih sudah tidak berbunga hingga kini. Kopi masih berbuah, meski terus menurun setiap tahun. Hingga 2017, warga Gendang Lungar harus beli bubuk kopi untuk bisa meminumnya. Perempuan yang terlibat mengelola kebun kehilangan pekerjaan dan pendapatan ekonomi keluarga. Pada kunjungan ke Pocoleok pada April 2024, saya hanya lihat satu dua pohon kopi berbuah. Lainnya hanya berdaun lebat.
Pemerintah berencana bangun PLTPb lagi di Pocoleok. Warga di Pocoleok aksi penghadangan kepada pegawai perusahaan hingga lebih dari 20 kali. Warga berupaya membendung inisiatif perluasan geothermal Ulumbu oleh PT PLN. Kehidupan warga tidak lagi utuh harmonis. Beberapa warga menerima tawaran untuk menjual lahan untuk pengeboran.
“Kalau dulu aman-aman saja tidak ada bentrok sama sekali. Sekarang sudah kacau, sudah pecah belah. Kami biasa selalu bersatu, ada pesta, ada pertemuan apa saja yang menyangkut sekolah anak, kami buat pesta. Tapi dengan ada proyek geothermal ini sudah pecah belah jadinya,” kata Maria, warga Pocoleok.
Dia bertekad menghentikan upaya PLN masuk area mereka.
Proyek PLTP massif di banyak wilayah karena pemerintah mengundang investasi dari berbagai pihak. Di Pocoleok, misal, ada investasi dari KfW, perusahaan perbankan Jerman. Agar proyek itu dapat diterima warga sekitar, PLN menyebarkan brosur berisi informasi tentang semburan liar yang terjadi di Mataloko, tempat yang berjarak sekitar 140 kilometer dari PLTP. Brosur ini juga berisi informasi mengapa terjadi kebocoran gas di Dieng dan Sorik Merapi.
Salah satu bagian brosur juga berisi mengenai informasi mengapa tanaman warga tak produktif. Brosur menyebut, ada studi dari ITB dan UNIKA. UNIKA, merupakan Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng. Penelusuran Floresa, media setempat, menyebutkan, Rektor UNIKA tidak mengetahui tentang studi itu.
Belakangan peneliti yang dikutip PLN dalam brosur itu menyurati Floresa dan menolak afiliasinya dengan UNIKA.
Penggunaan nama universitas ini menunjukkan bagaimana perusahaan memanipulasi informasi dengan mencatut nama kampus tertentu demi mendapatkan dukungan dari warga untuk pengembangan geothermal di Pocoleok.
Korban keracunan di dalam posko di rumah sakit. Terpaksa dibangun tenda karena korban lebih 80 orang. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia
Perpanjangan izin fosil
Sejak 2009, pemerintah berkomitmen menangani krisis iklim dengan menurunkan emisi. Sebagai warga Sidoarjo, saya belum melihat upaya penuh pemerintah untuk itu. Misal, dalam kelola dampak lumpur Lapindo yang belum komprehensif. Bahkan saat Lumpur Lapindo masih menyembur, izin pengeboran kepada Lapindo rilis untuk 20 tahun ke depan. .Perpanjangan ini pada tahun akhir periode pertama pemerintahan Jokowi.
Selain saling bertentangan dengan komitmen pengurangan emisi, izin ini tentu makin menciderai rasa keadilan korban Lapindo yang hingga saat ini masih kesulitan memulihkan diri.
Studi kolaborasi Walhi Jatim dengan LPPM UINSA dan beberapa lembaga lain pada 2016 menunjukkan, dampak sosial ekonomi warga korban masih berlanjut. Survei kepada 174 warga, menunjukkan 37 orang yang semula pedagang, turun jadi 24 orang.
Beberapa profesi lain juga mengalami perubahan. Buruh pabrik menurun lebih 50%. Jumlah perempuan yang menjadi ibu rumah tangga naik hingga 32 orang dari semula 17 orang. Warga tidak bekerja dari lima responden jadi 23 orang. Perubahan-perubahan ini bak luput dari perhitungan dampak lumpur Lapindo.
Demikian pula dampak lingkungan. Hampir setiap sore, bisa terlihat air lumpur mengalir ke Sungai Porong melalui outlet di Desa Kedungcangkring dan Besuki. Lumpur-lumpur buangan ini yang membentuk endapan Pulau Lusi di muara sungai. Padahal, lumpur Lapindo mengandung timbal (Pb), kadmium (Cd) dan logam berat lain. Logam berat ini terakumulasi dalam produk budidaya dan biota sungai.
Pemeriksaan Walhi Jawa Timur pada 2016 menunjukkan, sampel budidaya tilapia, rumput laut, bandeng, kerang, dan udang mengandung logam berat. Kandungan ini bersifat karsinogenik.
Studi UNEP pada 2006 menyimpulkan, pelepasan langsung lumpur pada lingkungan air akan membunuh ekosistem air dan menyebabkan persoalan kemanusiaan serius.
Pada Mei 2024, pemeriksaan air pada empat lokasi sumur warga desa Gedang, Mindi, Gempolsari, dan Glagaharum juga menunjukkan kondisi masih tercemar. Air sumur hanya untuk mandi dan cuci. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih bahan minum dan masak, warga harus membeli.
Warga sekitar semburan yang setiap hari masih merasakan udara busuk dan air tercemar. Kalau berada di sekitar area lumpur Lapindo, bau menyengat ini sangat tajam saat udara dari area lumpur menuju ke arah kita. Bau menyengat ini terdeteksi Hidrogen Sulfida (H2S) dan Polycyclic Aromatik Hidrokarbon (PAH).
Pada 2008, ada temuan dari Tim Kajian Kelayakan Permukiman (TKKP) bentukan Gubernur Jawa Timur yang menunjukkan, ada gas berbahaya di area lumpur Lapindo. Misal, gas metan, mencapai 441 rb, hampir bisa membuat manusia kesulitan bernapas. Hasil pantauan Eco checker pada 2021, menemukan gas H2S, Sulfur, dan Klorin menkorosi logam Eco checker.
Pemeriksaan menggunakan gastec pada Mei 2024 masih menemukan PAH sejumlah dua ppm pada satu titik di Jatirejo, masing-masing empat ppm di Siring dan Mindi. Di Glagaharum tercatat lima ppm.
Tak mengherankan, ISPA selalu jadi masalah kesehatan tertinggi di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin. Pada 2023, Puskesmas Porong mencatat penderita ISPA ada 6.701 orang. Meski tak setinggi 2010 mencapai lebih 63.000 penderita, namun selalu tertinggi.
Dalam beberapa literatur kesehatan, ISPA dan diare dapat memicu inflamasi yang mempengaruhi tubuh dalam penyerapan nutrisi. Pada ibu hamil dan anak-anak tentu ini sangat berisiko pada pemenuhan kebutuhan janin maupun tumbuh kembang tubuh balita. Kasus stunting di Sidoarjo pernah menjadi tertinggi di Jawa Timur pada 2020, mencapai 24.400 balita. Kecamatan Jabon, paling banyak kasus stunting.
Sedang PAH dalam waktu lama dapat memicu tumor dan kanker karena bersifat karsinogenik. Saya belum mencatat penyakit terkait tumor dan kanker ini. Namun, RSUD Notohadinegoro di Sidoarjo, saat ini menjadi rumah sakit pemerintah tingkat kabupaten yang memiliki instalasi khusus perawatan kanker terpadu.
Masyarakat sekitar Dieng, bertani dan dekat dengan PLTP. Foto: A. Asnawi/Mongabay Indonesia
Disinformasi transisi energi
Pada akhir periode kedua menjabat presiden, Jokowi mempromosikan transisi energi dengan mendorong hilirisasi nikel dan investasi pada sumber energi panas bumi di berbagai lokasi. Kampanye kendaraan listrik masif dan penuh fasilitas yang mempermudah serapan oleh konsumen. Nikel sebagai bahan baku dalam pengembangan kendaraan jenis ini diakselerasi melalui hilirisasi. Investasi di industri ini mendapat fasilitas bebas pajak hingga puluhan tahun.
Industri nikel ternyata membongkar hutan, merusak sungai, dan mencemari lingkungan. Saat menuju Sagea, Halmahera Tengah, Maluku Utara, akhir April lalu, saya terhenyak melintasi Desa Lelief, penuh berdebu. Air sungai keruh kecoklatan. Asap keabuan gelap mengepul dari cerobong-cerobong tinggi. Asap ini tampak begitu besar menjadi seperti awan bergerak kearah daratan.
Hasil uji laboratorium kadar nikel pada sampel air Sungai Sagea–Bokimaruru dan Sungai Kobe berturut–turut yaitu 0,0474 mg/L dan <0,0302 mg/L. Hasil uji ini menunjukkan kadar nikel pada kedua sampel air sungai masih memenuhi standar PP. No. 22/2021 yaitu maksimum 0,05 mg/L. Tetapi pada sampel air Sungai Sagea–Bokimaruru kadar nikel berada diambang batas maksimum.
Penelitian Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) juga menunjukkan izin obral nikel kepada perusahaan asing ternyata hanya untuk memenuhi 5% kebutuhan pembuatan beterai kendaraan listrik. Sekitar 70% untuk kebutuhan indutri stainless steel, sisanya mencukupi kebutuhan industri pelapisan dan pencampuran logam.
Saya mencari tahu catatan tren penyakit di Kawasan Lelilef ini. Dalam laporan terakhir Jatam mengenai Nikel IWIP, mengungkapkan, catatan tren penyakit di puskesmas Lelilef meningkat terus sejak 2020. Kalau pada pada 2018 terdapat 351 kasus, tahun 2022 sudah ada 1.100 kasus ISPA. Selain ISPA ada dua penyakit lain menempati tujuh urutan tertinggi penyakit di Lelilef:flu dan bronchitis. Myalgia (nyeri otot) dan diare juga tinggi.
Lebih ironi, sumber listrik untuk memproses nikel di kawasan industri Weda, ini seluruhnya dari PLTU batubara baru. Ada 14 PLTU batubara berdiri untuk menghidupi Industrial Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera Tengah ini. Sumber batubara terbesar tentu dari Kalimantan.
Mencari tahu daya rusak pertambangan batubara di Kalimantan Timur, saya mengunjungi beberapa lokasi di Samarinda, Tenggarong, dan Kutai Timur. Ada disinformasi terkait pemberian izin di desa Sumbersari, Tenggarong. Warga dan pemerintah desa bahkan tidak mengetahui adaizin usaha keluar di desa mereka. Padahal, wilayah ini sangat penting dalam ketahanan pangan. Mereka memproduksi ratusan ton sayur untuk mencukupi kebutuhan di Kabupaten Tenggarong.
Praktik sama dalam memperoleh lahan juga ada masalah seperti di Kutai Timur. Gagai, Kepala Adat Dayak Basap di Desa Keraitan menceritakan bagaimana perusahaan memanipulasi proses mendapatkan lahan di desa mereka dengan membuatkan desa baru yang berjarak puluhan kilometer untuk relokasi warga. Alasannya, demi keselamatan warga karena berdekatan pada areal pertambangan.
Meski sebagian warga menolak pindah dan bertahan di Keraitan, tetap saja terjadi penyerobotan lahan. Sebidang lahan milik Gagai menjadi kolam penampungan air. Tidak ada pembicaraan apapun sebelumnya. Tidak ada kesepakatan jual beli, tidak ada kompensasi atas penggunaan lahan.
Inisiatif pengembangan industri energi geothermal juga memiliki kemiripan dengan lumpur Lapindo. Bahkan, sejak pengadaan lahan, penuh disinformasi. Saya menjumpai praktik demikian di Pocoleok, Kabupaten Ruteng, Nusa Tenggara Timur.
Warga Pocoleok menyampaikan ketidaksetujuan perluasan PLTP Ulumbu di desa mereka. Mereka mengetahui tidak ada satupun warga lokal yang dipekerjakan pada perusahaan listrik di Ulumbu. Padahal saat membujuk warga untuk mendapat dukungan lahan, mereka menjanjikan perekrutan hingga 3.000 tenaga kerja lokal.
Para perempuan Pocoleok, protes rencana pembangunan pembangkit panas bumi yang akan terdampak bagi lahan adat mereka. Foto: Anno Susabun
Pengabaian dampak
Hingga kini, belum ada laporan periodik pemantauan ataupun pengolahan kandungan bahan kimia, logam berat, maupun biologi pada area lumpur Lapindo. Padahal hinggasampai 2023, penyakit yang berkaitan dengan kualitas air tercatat cukup tinggi di Puskesmas Porong. Kasus Diare mencapai 2,334.
Pada Puskesmas Tanggulangin, mencatat diare 1.081 kasus. Penyakit kulit tercatat ada 159 penderita. Di Puskesmas Jabon, yang melingkupi sebagian besar area bagian selatan dan tenggara tanggul lumpur, mencatat 684 diare dan 445 radang lambung.
Pada pemeriksaan kesehatan mandiri 20 korban Lapindo pada 31 Mei 2024, menunjukkan, kualitas kesehatan warga terganggu. Sekitar 75% warga terperiksa menunjukkan terjadi penurunan fungsi ginjal dan infeksi saluran kencing. Terdapat 65% warga dengan tekanan darah tinggi dan tiga dengan cardiomegali.
Kondisi demikian berhubungan dengan kualitas lingkungan. Kalau tidak berinsiatif memantau sendiri, warga tidak akan tahu situasi dan kondisi yang mereka alami. Mereka juga tidak akan tahu tindakan pencegahan dan pemulihan apa yang mesti dilakukan.
Merujuk publikasi Yohanes Tesfaye Endale dkk dan hasil penelitian lain, Husnul Khotimah pada Remedi Sidoarjo (2022) menjelaskan paparan Pb dapat mempengaruhi fungsi haematologi(darah), gastrointestinal (pencernaan), kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah), sistem ginjal, serta sistem syaraf yang dapat menurunkan IQ.
Sementara itu, logam berat Kadmium mempengaruhi kesehatan tulang, menyebabkan batuk, anemia, gangguan fungsi ginjal, dan hingga menyebabkan kematian. Pada paparan jumlah rendah bisa menjadi penyebab kerusakan hati, ginjal, sistem kerangka, sistem kardiovaskular, dan penurunan penglihatan pendengaran.
Sidoarjo pernah mencatat angka tertinggi stunting di Jawa Timur pada 2020. Jumlah terbanyak berasal dari Jabon.
Celakanya, penggantian kepada korban Lapindo juga berdasar nilai aset tanah dan bangunan yang terdampak. Ini tertuang dalam berbagai Peraturan Presiden yang keluar sejak 2007. Sedangkan dampak lingkungan, ekonomi, kesehatan, dan sosial lain jadi urusan masing-masing korban.
Untuk mendapatkan jaminan kesehatan, warga harus proaktif memastikan diri mereka terdata dalam sebagai peserta Kartu Indonesia Sehat (KIS) untuk jadi tanggungan pemerintah. Meskipun setelah mendapatkan KIS, ketika mereka pindah desa lain, harus bisa memastikan nama mereka dalam kepesertaan di desa baru. Korban Lapindo dianggap sebagai warga normal, tidak ada perlakuan khusus.
Kejadian-kejadian kebocoran gas yang merusak kebun warga di Dieng, meningkatnya ISPA, tanaman budidaya yang tidak lagi produktif di Pocoleok, belum dikaitkan dengan industri. Padahal, semua persoalan itu belum pernah warga rasakan sebelum ada geothermal di wilayah mereka. Untuk menghindari keterhubungan ini, brosur PLN di Ulumbu, memperlihatkan contoh kawasan lain tanpa geothermal yang juga tinggi ISPA.
Saya mencatat ada beberapa disinformasi dalam bencana Lumpur Lapindo mirip industri energi lainnya. Pertama, terkait pemerolehan lahan untuk pengeboran. Inisiatif Lapindo mengebor di Porong pernah warga Siring dan Jatirejo tolak. Sayangnya, Pemerintah Desa Renokenongo menerima. Warga Siring, Besuki, Glagaharum, dan desa lain hanya terinformasi lahan itu untuk peternakan. Disinformasi pemerolehan lahan ini juga terjadi di Pocoleok, Sumbersari, Keraitan, dan Sagea.
Kedua, mengenai risiko dan dampak. Beberapa pihak pada awal semburan menyatakan lumpur tidak berbahaya. Selain pegawai perusahaan ada juga petinggi militer. Padahal, sudah ada temuan awal yang menyatakan kandungan berbahaya lumpur Lapindo. Kemudian, kajian tim bentukan gubernur Jawa Timur juga menemukan hidrokarbon dalam jumlah sangat tinggi. Disinformasi seperti ini juga terjadi di Pocoleok, Dieng, dan Sagea.
Ketiga, terkait pertanggungjawaban, sebagaimana diatur pada Pasal 88 UU No 32/1999 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal ini mestinya mewajibkan penanggungjawab usaha untuk bertanggungjawab tanpa perlu membuktikan unsur kesalahan (strict liability).
Meski di masa awal semburan beberapa pejabat publik menyatakan Lapindo yang akan bertanggungjawab terhadap pembiayaan. Namun, Peraturan Presiden No 14/2007 mengatur tanggujawab Lapindo memberikan ganti rugi hanya pada lahan yang ditetapkan dalam Peta Area Terdampak 22 Maret 2007. Luas sekitar 600-an hektar. Lahan-lahan di luar itu menjadi tanggungjawab negara.
Peta ini menjadi landasan bagaimana negara harus mengongkosi perluasan dampak yang muncul semburan lumpur Lapindo hingga hari ini. Pertanggungjawaban mutlak tidak terjadi pada tidak produktifnya tanaman kebun warga Pocoleok, kerusakan kebun sayur di Dieng, ataupun pada kerusakan lingkungan di area tambang batubara yang membunuh puluhan anak.
Rumah warga yang tenggelam akibat semburan lumpur Lapindo. Foto: Wikimedia Commons/Arifhidayat/CC BY-SA 3.0 DEED
Ruang rusak baru
Dalam forum internasional, Indonesia sangat ambisius dalam pengurangan emisi. Sayangnya, upaya ini tak didukung langkah konkret pengurangan atas kebutuhan energi. Industri energi fosil masih terus meluas dan merusak. Kawasan-kawasan hutan dan ruang hidup warga terus terkapling untuk konsesi pendukung industri energi baru. Pun pada sumber energi yang diklaim lebih bersih, seperti geothermal, cara mengelola juga serupa.
Kecurigaan warga Pocoleok terkait proyek-proyek listrik di Flores bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka tentu beralasan.
Pemerintah menetapkan 10 proyek pariwisata setara Bali di Labuhan Bajo. Penetapan ini tentu membutuhkan pasokan listrik yang memadai. Data menunjukkan, kebutuhan listrik di flores pada 2024 mencapai 71 MW. Sementara sistem kelistrikan di Flores bisa memproduksi 96,5 MW, berarti ada surplus listrik 25,3 MW.
Praktik industri energi masih tetap dilakukan dengan cara merampas, mengusir, dan memberi dampak siginifikan pada lingkungan. Tidak ada penghormatan terhadap aspirasi warga yang menolak inisiatif perusahaan seperti di Tenggarong, Keraitan, Sagea, dan Pocoleok. Ada disinformasi yang dibuat untuk justifikasi pemberian izin-izin baru demi mendapatkan investasi dan dukungan masyarakat.
Kampanye transisi energi justru mengakselerasi kegiatan-kegiatan industri energi ekstraktif di berbagai wilayah. Alih-alih berkontribusi pada pengurangan emisi, perbaikan lingkungan, dan perlindungan-penyejahteraan warga. Justru atas nama energi baru dan bersih inilah, industri ekstraktif mendapat ruang baru untuk merampas lahan, merusak ekologi, dan memiskinkan warga.
* Penulis: Bambang Catur Nusantara adalah Bertha Fellow dan Badan Pengurus Jaringan Advokasi Tambang. Tulisan ini merupakan opini penulis.
******
batubara, bencana ekologis, Deforestasi, emisi karbon, Energi, energi dan batubara, featured, feaured, kerusakan lingkungan, Konflik Sosial, Masyarakat Adat, pencemaran, Pertambangan, Perubahan Iklim
Sumber: Mongabay.co.id