- Gustina Salim Rambe, warga Rantauprapat, Sumatera Utara, kena vonis hukum lima bulan 21 hari karena aksi damai tak mau lingkungan hidupnya tercemar pabrik perusahaan sawit PT Pulo Padang Sawit Permai (PPSP). Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Labuhanbatu ini hanya lebih ringan sembilan hari dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
- Sahrul Siregar, suami Tina mengatakan, pabrik pengolahan sawit sebelumnya tutup karena warga menolak, tetapi tiba-tiba beroperasi lagi dan sudah berjalan dua tahun. Pabrik berada dekat pemukiman warga, asap berwarna pekat terlihat membumbung keluar dari cerobong panjang.
- M Yani Rambe, kuasa hukum Tina mengatakan, Tina ditangkap petugas Polres Labuhanbatu, 20 Mei 2024. Tina ditangkap saat unjuk rasa di sekitar Lingkungan Bandar Selamat I, Rantau Utara karena menolak pembukaan kembali pabrik pengolahan sawit PPSP. Dia dituduh mengganggu mobilitas kendaraan pabrik.
- Delima Silalahi, Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), mengatakan, Tina, seharusnya dilindungi sebagai aktivis lingkungan bukan malah kena pidana. Demonstrasi mereka tidak melanggar konstitusi karena menolak pembangunan pabrik dekat pemukiman. Tuntutan itu, tidak melawan hukum. Sebaliknya, perusahaan tidak melakukan free prior informed consent (FPIC) atau padiatapa (persetujuan berdasarkan informasi di awal tanpa paksaan) ketika akan membangun pabrik.
- Advertisement -
Gustina Salim Rambe, warga Rantauprapat, Sumatera Utara, kena vonis hukum lima bulan 21 hari karena aksi damai tak mau lingkungan hidupnya tercemar pabrik perusahaan sawit PT Pulo Padang Sawit Permai (PPSP). Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Labuhanbatu ini hanya lebih ringan sembilan hari dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Perempuan 26 tahun ini bersama warga lain di Pulo Padang, Rantau Utara, Labuhanbatu menolak kehadiran pabrik sawit dengan aksi damai. Mereka khawatir, ketika pabrik beroperasi bakal mencemari udara dan air pun bisa terkontaminasi limbah pembuangan.
Sahrul Siregar, suami Tina mengatakan, pabrik pengolahan sawit sebelumnya tutup karena warga menolak, tetapi tiba-tiba beroperasi lagi dan sudah berjalan dua tahun.
Pabrik berada dekat pemukiman warga, asap berwarna pekat terlihat membumbung keluar dari cerobong panjang.
“Kami memikirkan waktu jangka panjang ke depan mengenai limbah yang pasti akan berdampak untuk masyarakat, seperti bau, penyakit dan sebagainya,” katanya.
Sejak pabrik beroperasi, katanya, anak-anak seperti siswa Madrasah Ibtidaiyah Sawasta (MIS) Harisma setiap hari menghirup asap yang keluar dari cerobong pabrik, yang hanya berbatasan tembok dengan gedung sekolah mereka.
“Pabrik PPS tidak membuat jarak dengan pemukiman warga. Paling dekat sekolah MIS Harisma hanya berjarak tembok,” katanya.
Pihak pabrik, katanya, pernah dialog dengan warga, namun mereka tetap beroperasi walau terjadi pertentangan.
“Kalo berdialog sudah, namun tidak ada titik temu karna warga ada yang pro dan kontra. Kami maunya pabrik ditutup dan tidak beroperasi selamanya.”
M Yani Rambe, kuasa hukum Tina mengatakan, Tina ditangkap petugas Polres Labuhanbatu, 20 Mei 2024. Tina ditangkap saat unjuk rasa di sekitar Lingkungan Bandar Selamat I, Rantau Utara karena menolak pembukaan kembali pabrik pengolahan sawit PPSP. Dia dituduh mengganggu mobilitas kendaraan pabrik.
“Ada alasan Tina bersama warga menolak, karena khawatir pencemaran lingkungan. Pabriknya ada di permukiman penduduk,” katanya.
Kapolres Labuhan Batu, Bernhard L Malau yang membawahi wilayah hukum Rantauprapat saat dihubungi lewat panggilan telepon dan pesan Whatsapp tidak memberikan jawaban.
Konfirmasi kepada Kasi Humas Polres Labuhanbatu, Syafruddin Amir hingga berita ini terbit tidak ada respon.
Mongabay juga menghubungi Hermanto Maman, dari PT PPSP tetapi tidak ada membalas pesan singkat maupun telepon.
Mongabay kembali menghubungi nomor personalia PPSP, dari ujung telepon, seorang perempuan mengaku bernama Eva hanya menjawab “Akan dikabari lagi ya bu, saya akan tanyakan dahulu,” ucapnya menutup sambungan telepon, tanpa ada kelanjutan.
Pemukiman warga yang berada dekat pabrik sawit di Labuhanbatu. Foto: warga
Pelanggaran jaminan hukum
Rianda Purba, Direktur Eksekutif Walhi Sumut, mengatakan, pemidanaan Tina masuk dalam strategic lawsuit against public participation (SLAPP) atau pelanggaran jaminan hukum masyarakat.
Dalam Pasal 66 Undang-undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata.
UUPLH menyiratkan hak imunitas bagi masyarakat dan aktivis lingkungan hidup yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup terlepas dari tuntutan pidana maupun perdata.
“Sebab tuntutan pidana atau perdata rawan mengandung SLAPP,” katanya.
Rianda bilang, kasus Tina masuk SLAPP, karena berdasarkan informasi dari sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) Pengadilan Negeri, dia ditangkap Polres Labuhanbatu saat menolak pembukaan kembali pabrik PPSP.
Warga protes pabrik sawit di Kelurahan Pulo Padang, Kecamatan Rantau Utara, yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya.
“Apa yang dilakukan Tina Rambe bersama warga lain bentuk upaya menjaga lingkungan mereka,” katanya.
Walhi Sumut mengatakan, pabrik sawit perusahaan itu tidak sesuai peruntukan tata ruang Labuhanbatu karena berada kawasan padat penduduk.
“Jelas itu tidak sesuai peruntukan kawasan industri,” katanya.
Rianda bilang, berdasarkan Perda No. 3/2016 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Labuhanbatu 2015-2035, pengelolaan hasil perkebunan atau industri seharusnya terpusat di Rantau Selatan.
Pabrik sawit di Bandar Selamat I diduga melanggar ketentuan karena berada di pemukiman penduduk.
Sesuai Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 29/2016 tentang perubahan atas Permentan No. 98/2013 mengenai pedoman perizinan usaha perkebunan, pabrik seharusnya beroperasi dalam kawasan perkebunan.
“Kalau ada protes warga, pemerintah, aparat penegak hukum dan perusahaan seharusnya menghormati hak dan kepentingan pihak lain termasuk warga sekitar.”
Kasus pemidanaan Tina, katanya, bentuk kriminalisasi yang melanggar hak-hak dasar warga negara memperjuangkan hak lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Kasus Tina maupun kasus lain serupa harus menjadi perhatian serius Presiden, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pemerintah daerah dan pemerintah provinsi, termasuk penegak hukum.
“Ini juga menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan audit lingkungan oleh pemerintah hingga mengorbankan masyarakat dan lingkungan hidup.”
Gustina Salim Rambe, warga Rantauprapat, Sumatera Utara.
Korban kriminalisasi di Sumut
Rianda bilang, korban kriminalisasi seperti warga, aktivis biasa kena tuduhan tidak relevan dengan tujuan melemahkan perjuangan melawan pencemaran atau kerusakan lingkungan.
“Mereka yang memperjuangkan lingkungan hidup justru mendapat ancaman, intimidasi, dan upaya pelemahan dengan pidana.”
KLHK sudah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) No. 10/2024 tentang perlindungan hukum bagi orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Berdasarkan peraturan yang Siti Nurbaya, Menteri LHK bikin pada 30 Agustus 2024 diterangkan, menteri siap memberi perlindungan ke orang atau kelompok yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dari tindakan pembalasan pihak yang diduga atau berpotensi melakukan kerusakan lingkungan.
Walhi Sumut pun mendorong penghentian segera proses hukum terhadap Tina lalu pemulihan nama baiknya, termasuk warga lain yang alami serupa.
“Kami mendesak agar proses pidana yang saat ini menjeratnya segera dihentikan. Penangkapan dan penuntutan terhadap Tina bentuk kriminalisasi yang tidak berdasar dan mencederai keadilan.”
Rianda meminta, pemerintah audit lingkungan dan penegakan hukum terhadap PPSP secara menyeluruh, termasuk mengevaluasi izin lokasi dan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), serta menindak pelanggaran hukum yang terjadi.
“Pabrik diduga melanggar tata ruang dengan beroperasi di kawasan padat penduduk yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan warga dan lingkungan,” katanya.
Walhi mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum menghormati hak-hak masyarakat dalam memperjuangkan lingkungan hidup.
“Hentikan penggunaan kekerasan, ancaman, dan intimidasi terhadap warga yang protes damai.”
Delima Silalahi, Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), mengatakan, Tina, seharusnya dilindungi sebagai aktivis lingkungan bukan malah kena pidana.
Demonstrasi mereka tidak melanggar konstitusi karena menolak pembangunan pabrik dekat pemukiman. Tuntutan itu, katanya, tidak melawan hukum. Sebaliknya, perusahaan tidak melakukan free prior informed consent (FPIC) atau padiatapa (persetujuan berdasarkan informasi di awal tanpa paksaan) ketika akan membangun pabrik.
“Malah kesannya seperti ada tindakan manipulatif, dari pemberitahuan media, peruntukan lahan awalnya bukan untuk membangun pabrik sawit.”
Warga yang berunjuk rasa terjerat hukum, katanya, memperlihatkan aparat hanya berpihak pada kepentingan pemodal.
Delima mendesak, aparat malah memproses kasus dugaan pelanggaran aturan lingkungan oleh perusahaan. Kalau tidak, negara sedang melakukan pembiaran atas pelanggaran ketentuan lingkungan.
“Harusnya perusahaan yang melakukan pelanggaran lingkungan dievaluasi dan dicabut izinnya.”
******
Sumber: Mongabay.co.id