- Presiden RI Joko Widodo harus menyerahkan tongkat estafetnya kepada Prabowo Subianto untuk masa kerja lima tahun ke depan. Sektor kelautan dan perikanan (KP) menjadi salah satu yang mendapat sorotan tajam dari publik
- Sektor KP dinilai tidak lagi memprioritaskan masyarakat pesisir dan nelayan tradisional yang sebenarnya menjadi aktor utama yang sudah lama mendiami kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di seluruh Indonesia
- Perjuangan untuk menyuarakan hak-hak yang seharusnya didapatkan masyarakat pesisir dan nelayan kemudian dilakukan para pemerhati sektor KP yang peduli akan perbaikan dan kesejahteraan hidup. Upaya itu diharapkan bisa mendorong pemerintah untuk memperbaiki kekurangan yang ada
- Akan tetapi, masyarakat kecil dan nelayan dinilai lemah untuk menyuarakan itu. Jalan keluarnya, adalah dukungan dari banyak pihak yang peduli dan memahami akan arti pentingnya regulasi yang tepat untuk bisa memperjuangkan hak hidup bagi nelayan dan masyarakat pesisir
Tiga hari penuh bermakna, kesan, dan pesan. Demikian dirasakan para nelayan, masyarakat nelayan, dan para pihak terkait pada sektor kelautan dan perikanan saat menghadiri kegiatan Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024 di Jakarta pada 8-10 Oktober.
Kegiatan tersebut membawa misi untuk menyuarakan masyarakat pesisir tentang keadilan dan kelestarian. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) sebagai inisiator kegiatan, ingin mewujudkan misi untuk memperkuat advokasi dan solidaritas masyarakat pesisir Indonesia.
Selain itu, sorotan juga mengerucut pada keberlanjutan kelestarian ekosistem pesisir utama Indonesia dari segala kebijakan yang sewenang-wenang yang belakangan ini makin merajalela dari peraturan yang dikeluarkan pemerintahan Joko Widodo, Presiden Indonesia.
Bersama Humanis, Trend Asia, Bina Desa, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (PIKUL), Working Group ICCAs Indonesia (WGII), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Indonesia for Global Justice (IGJ), dan Greenpeace Indonesia, KIARA memperjuangkan hak-hak kebaharian yang menjadi milik masyarakat pesisir.
Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati menjelaskan bahwa pertemuan tersebut menyoroti sejumlah isu kritis pesisir, termasuk eksploitasi wilayah pesisir oleh industri ekstraktif, kriminalisasi nelayan kecil, dan ancaman perubahan iklim yang semakin nyata.
“Hal-hal tersebut erat kaitannya dalam memperjuangkan penegakan kedaulatan pangan, kedaulatan ruang, dan keadilan iklim,” ungkapnya.
- Advertisement -
Menurutnya, selama ini masyarakat pesisir telah berjuang sendirian menghadapi ketidakpastian di wilayahnya. Untuk itu, sudah saatnya mereka mendapatkan dukungan lebih kuat lagi dari publik dengan membangun kekuatan kolektif yang lebih, serta mendesak pemerintah untuk lebih memikirkan keberlanjutan kelestarian ekosistem pesisir, dan juga keadilan bagi masyarakat pesisir.
Baca : 10 Tahun Kebijakan Perikanan: Realita Perikanan Berkelanjutan Indonesia
Nelayan menangkap ikan di perairan laut Tangerang, Banten. Tak hanya dipengaruhi faktor cuaca yang tidak menentu, nelayan mengaku sulit menangkap ikan karena kondisi perairan tercemar. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Kampanye tersebut digaungkan, karena dia menilai kalau pemerintah dalam sepuluh tahun ini lebih fokus untuk mengutamakan kepentingan investor melalui sejumlah keputusan/kebijakan. Sementara, hak-hak konstitusional masyarakat pesisir yang telah dijamin oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010 justru diabaikan.
Putusan tersebut menganulir konsep Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP–3) yang ditetapkan dalam Undang-Undang No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Putusan ini memunculkan konsep baru yaitu izin pemanfaatan pulau-pulau kecil.
Susan mengatakan, putusan MK menegaskan bahwa masyarakat pesisir memiliki hak konstitusional dalam mengakses laut secara bebas; berhak mengelola wilayah pesisir berdasarkan pengetahuan lokal dan kearifan komunitasnya; berhak mendapatkan manfaat dari sumber daya laut dan pesisir; serta bisa menikmati perairan yang bersih dan sehat.
Tentang ekonomi biru, dia menilai bahwa itu lebih menekankan pada transaksi jual beli karbon biru. Namun, pada realita yang terjadi di lapangan adalah adalah banyak nelayan mengalami hal yang tragis dengan menjual ikan untuk membeli mi instan.
“Kita dipersulit dengan skema-skema. Biru, hijau, apalah itu, terpenting adalah ekonomi kerakyatan yang harus didorong,” pungkasnya.
Juru kampanye Advokasi Trend Asia Martha Kumala Dewi menambahkan kalau kerusakan di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil di Indonesia terus terjadi karena pendekatan pengelolaan negara yang mengabaikan prinsip ekologi dan keberlanjutan.
Katanya, negara lebih mementingkan keuntungan bagi korporasi, bukan kesejahteraan rakyat, apalagi keadilan ekologis. Pola pikir ekstraktif ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengakibatkan kerugian besar bagi negara.
Menjelang lengser, Joko Widodo juga mengesahkan sejumlah kebijakan yang semakin memperburuk situasi, mempersempit ruang hidup masyarakat pesisir, dan sekaligus merampas sumber ekonomi mereka. Kebijakan itu, di antaranya adalah hilirisasi energi dan ekspor pasir laut.
Dampak buruk itu, bahkan sudah diderita oleh sejumlah daerah, seperti pulau Rempang, Wawonii, pesisir Bantaeng, dan Kepulauan Halmahera. Jika ternyata kebijakan warisan tersebut dilanjutkan oleh kepemimpinan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI, maka bersiap saja dampaknya akan jauh lebih buruk.
Baca juga : Marak Pencurian Ikan dan Reklamasi Ilegal di Lautan Indonesia
Selain ikan teri (Engraulidae), ikan seperti kembung (Rastrelliger), layur (Trichiurus lepturus) juga diangkut ke darat untuk dikeringkan di Cilincing, Jakarta Utara. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Keadilan Perikanan
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Sihar Silalahi juga menyoroti buruknya tata kelola perikanan yang berkeadilan bagi nelayan pesisir. Menurutnya, penetapan wilayah perikanan yang adil berperan sangat penting untuk menghindari kebijakan yang kontraproduktif.
Melalui penetapan wilayah perikanan yang adil, perikanan skala kecil bisa lebih kuat lagi untuk bergerak melalui penetapan prioritas untuk pemberdayaan nelayan yang terbatas, kebijakan mengenai peruntukan dan zonasi, perencanaan pembangunan, dan yang lainnya.
Dia yakin, kesejahteraan pada nelayan kecil bisa tercapai jika hak-hak dasar dalam pemenuhan kebutuhan hidup tidak diganggu oleh kapal-kapal ikan skala industri dengan ukuran raksasa beroperasi di wilayah laut tanpa dikontrol dengan ketat.
Buruknya tata kelola perikanan di Nusantara, juga disorot Greenpeace Indonesia karena sistem perlindungan pekerja pada sektor tersebut masih sangat lemah. Kondisi itu membuat nelayan pesisir Indonesia kesulitan untuk mengejar kesejahteraan hidup.
“Mulai dari jam kerja dan upah yang tidak pasti, hingga potensi menghadapi kerja paksa dan menjadi korban perdagangan orang,” ucapnya.
Agar kesejahteraan hidup bisa dinikmati para nelayan dan masyarakat pesisir, Greenpeace Indonesia mendorong Pemerintah Indonesia untuk melakukan percepatan ratifikasi Konvensi ILO 188 (K-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.
Konvensi yang diterbitkan Organisasi Buruh Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa (ILO) tersebut secara khusus mengatur standar pelindungan bagi para pekerja di sektor kelautan. ILO mengesahkan konvensi tersebut pada 14 Juni 2007 di Jenewa, Swiss.
Menurut Sihar, ILO K-188 akan menjadi landasan hukum untuk perlindungan pekerja di sektor perikanan, termasuk di Indonesia. Di saat yang sama, Pemerintah juga punya mandat untuk menyusun kebijakan yang menempatkan keadilan bagi nelayan dan mengutamakan pembentukan peraturan yang melindungi martabat dan hidup mereka.
“Bukan sekedar mengeluarkan kebijakan yang ternyata hanyalah metamorfosis kapitalisme global. Segera ratifikasi ILO C-188!” pungkasnya.
Baca juga : Kontroversi Ekspor Pasir Laut: Ancaman Lingkungan atau Peluang Ekonomi?
Seorang perempuan mengikuti aksi menolak penambangan pasir laut di depan Gedung Mina Bahari 1, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Foto: KIARA
Perlindungan Hak Nelayan
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rahmat Maulana Sidik menyoroti semakin banyaknya tekanan terhadap hak-hak nelayan, termasuk di lingkup global. Kondisi itu membuat perlindungan hak-hak nelayan kecil di Indonesia juga semakin terancam.
Situasi semakin memburuk, karena muncul desakan dari negara-negara maju yang menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Kelompok tersebut ingin membatasi, bahkan menghapus subsidi perikanan bagi nelayan kecil di negara-negara berkembang, salah satunya Indonesia.
Untuk itu, dia meyakini kalau nelayan memerlukan dukungan semua pihak untuk bisa terus menguatkan dirinya. Dukungan itu, salah satunya melalui Temu Akbar yang menjadi momen penting untuk semakin memperkuat konsolidasi dan memperteguh perjuangan hak-hak nelayan kecil dan tradisional agar tetap mendapatkan hak-haknya dan kesejahteraannya.
Hari kedua Temu Akbar, Peneliti Senior Agrarian Resources Center Dianto Bachriadi yang berbicara di hadapan perwakilan masyarakat pesisir dari seluruh Indonesia pada hari kedua, menyoroti terus memburuknya kondisi pesisir di seluruh pulau.
Dia menyebut bahwa pemerintah menjadi pihak paling bertanggung jawab karena semakin menjauh dan tidak mau melindungi ruang hidup masyarakat pesisir. Sementara, program-program kebaharian yang dijanjikan oleh pemerintah juga tidak konsisten dan lebih mengutamakan kepentingan investor.
“Akibatnya, ekosistem pesisir rusak dan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada laut justru semakin terpinggirkan dan dimiskinkan,” terangnya.
Menurutnya, pemerintah merasa memiliki hak berkuasa penuh dalam mengatur pengelolaan laut dan pesisir. Mereka menganggap laut itu tidak bertuan dan menerapkan rezim izin, karena semua hal harus dilakukan melalui perizinan.
“Memiliki sertifikat tidak menjamin warga tidak digusur. Negara hadir untuk merampas dan memberikan izin pada pemilik modal demi kepentingan kapitalis,” tambahnya.
Baca juga : Perdagangan Orang di Kapal Perikanan Indonesia Terus Terjadi?
Tak hanya membawa beragam poster dan alat tangkap berupa jala dan bubu, massa aksi juga membawa pesan lewat spanduk yang dibentangkan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Haru Biru Ekonomi
Salah satu contoh program yang kini sedang berjalan, adalah ekonomi biru di bawah kendali penuh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Program tersebut hanya menjadikan laut sebagai komoditas, dan tidak terdampak menyejahterakan masyarakat pesisir.
Dianto Bachriadi melanjutkan bahwa sampai sekarang Indonesia belum pernah merasakan era kepemimpinan yang berpihak pada rakyat. Bahkan, Negara pun kalah kuat dari pemilik modal dengan membiarkan mereka mengelola laut yang sebenarnya adalah menghancurkan ekosistem pesisir.
“Sebenarnya omong kosong jika masyarakat tidak bisa mengelola lautnya. Pada praktiknya, mereka mampu mengelola bahkan yang bersifat berkelanjutan. Seperti pembagian wilayah kelola laut oleh masyarakat dengan peraturan lokal yang ada berjalan di wilayah mereka,” tandas Dianto.
Asisten Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Publikasi Program Penangkapan Ikan Terukur M Abdi Suhufan mengatakan bahwa penerapan ekonomi biru jangan sampai menyulitkan nelayan dan itu hanya menjadi bagian dari agenda internasional.
“Mengangkat taraf kehidupan masyarakat pesisir jauh agar lebih sejahtera menjadi penting,” terangnya.
Upaya mendorong nelayan bisa naik kelas harus terus dilakukan, karena itu bisa menempatkan nelayan tidak lagi mencari ikan di wilayah perairan yang sudah ditempati oleh pelaku usaha bermodal besar. Nelayan harus bisa menaikkan kemampuan agar bisa melaut ke wilayah yang luas dengan potensi ikan yang melimpah.
Amir, seorang nelayan dari pulau Wawoni, Sulawesi Tenggara menjelaskan, pulau tempatnya tinggal baru saja merasakan “kemenangan” kecil saat perjuangan panjang mereka melawan perusahaan nikel dimenangkan oleh MK. Namun, dia dan masyarakat di pulau tersebut masih tetap merasa was-was karena mereka harus terus berjuang menjaga laut dan pulau mereka jangan sampai terampas lagi.
Eko Prasetyo, nelayan lain yang berasal dari Jepara, Jawa Tengah, menyebut kalau wilayahnya masih berjuang melawan penambangan pasir laut yang dilakukan PT Alam Lestari. Di sisi lain, mereka juga masih dihadapi penambakan udang, yang membuat beberapa warganya dikriminalisasi.
Kemudian, Rosidah Surabaya, perempuan nelayan dari Surabaya, Jawa Timur, memimpin gerakan para ibu untuk menolak menolak reklamasi tanpa kompensasi. Pertambangan pasir di kawasan Suramadu membuat kehilangan mata pencahariannya.
Baca juga : Datangi KKP, Nelayan Tolak Penambangan Pasir Laut
Ezra Dwi Lestari (40) saat mengikuti aksi menolak penambangan pasir laut di depan Gedung Mina Bahari 1, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Hari ketiga Temu Akbar, semua yang hadir melakukan aksi demo di depan kantor KKP di Jakarta. Mereka menyerukan agar Pemerintah tidak melanggar hak-hak konstitusional mereka seperti yang diamanatkan pada putusan MK 3/2010.
Seruan juga dilakukan untuk mengingatkan Pemerintah agar tidak lagi memporakporandakan pesisir dengan peraturan yang serampangan dan tidak konsisten. Program-program berskema, atau pun konservasi, semuanya bertentangan dengan prinsip keberlanjutan ekosistem pesisir.
Aksi tersebut diwarnai teatrikal oleh nelayan perempuan yang menaburkan pasir kuarsa dari dalam botol sebagai simbol penolakan Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Aturan tersebut mengesahkan pengiriman pasir laut ke luar negeri yang selama 20 tahun dilarang.
Pada kesempatan tersebut, perwakilan masyarakat pesisir bertemu dengan perwakilan KKP, yaitu Kepala Pokja Tata Kelola Alat Penangkapan Ikan Lingga Prawitaningrum, dan Kepala Bidang Konsumsi Dan Keamanan Pangan Eko Ferry Setiawan.
Ketua Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Masnuah menyoroti kebijakan pengelolaan hasil sedimentasi di laut yang mempercepat tenggelamnya beberapa desa-desa pesisir di sekitar Demak, seperti Desa Timbulsloko dan Desa Bedono.
Tanpa ada kebijakan ekspor pasir laut, pesisir di kedua desa tersebut sudah sangat parah dan itu memicu memburuknya kehidupan masyarakat di sana. Lebih jauh, warga ada yang harus kehilangan pekerjaan, atau akses transportasi yang semakin mahal.
“Beban kesulitan ekonomi ini karena perampasan ruang menyebabkan banyak perempuan pesisir mengalami kekerasan dalam rumah tangga atau melakukan peran ganda. Jadi kami serukan untuk mencabut Kebijakan Pengelolaan Sedimentasi ini. Kalian telah merusak ruang hidup kami,” tambahnya. (***)
2023, Tahun Puncak Perampasan Ruang Laut di Indonesia
Sumber: Mongabay.co.id