- Para nelayan di pesisir pantai timur Sumatera Kabupaten Langkat, Sumatera Utara mengalami penurunan drastis tangkapan rajungan
- Penurunan hasil tangkapan rajungan dikarenakan dampak dari perubahan iklim, cuaca ekstrim dan kerusakan habitat
- Pembudidayaan rajungan menjadi salah satu solusi bagi nelayan, akan tetapi terkendala modal dan perhatian dari pemerintah
- Pemerintah diharapkan mengatasi kerusakan ekosistem laut, seperti penggalian pasir laut, penebangan hutan mangrove dan pemindahan area tempat tinggal nelayan.
Petang telah tiba, kicau segerombolan burung camar melintas terbang rendah di bibir pantai Selat Malaka, persisnya di pesisir pantai timur Sumatera Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Samar terlihat dari kejauhan, perahu-perahu nelayan kecil perlahan mulai mendekati pantai. Sejak subuh, mereka sudah keluar dari bilik peristirahatannya untuk melaut. Ada yang mencari ikan, udang, kerang dan rajungan.
Satu perahu milik Sobri terlihat merapat. Terlihat hasil tangkapan berupa rajungan di perahunya. “Cuma dapat sedikit, paling 7 kg, tetapi alhamdulillah pulang bawa hasil meski tak banyak,” ungkapnya. Sebagian rajungannya dibawa pulang untuk dimakan sekeluarga dan sebagian lagi dibawa ke tengkulak untuk dijual.
Sobri satu dari sekitar 112 nelayan tangkap yang kesehariannya mencari rajungan di wilayah pesisir pantai timur Sumatera Kabupaten Langkat. Perubahan iklim, cuaca ekstrim dan kerusakan habitat menyebabkan hasil tangkapan rajungan semakin sedikit dan tak seindah cerita 10 hingga 15 tahun lalu. Saat itu sekali melaut bisa mendapatkan Rp1 juta.
“Cuaca tak menentu sekarang, kadang cerah tetapi tiba-tiba sudah hujan deras dan gelombang tinggi sehingga kami takut untuk melaut,” katanya saat ditemui akhir September lalu.
Nelayan lain bernama Abdul Rani (50), sudah 36 tahun menggeluti profesinya tersebut. Hari itu, nelayan warga Desa Kwala Langkat Kecamatan Tajung Pura Kabupaten Langkat, Sumut itu hanya mendapatkan 2 kg kepiting dan renjong. Padahal dulu bisa mendapat lebih banyak kepiting sekali melaut.
- Advertisement -
Hasil melaut dijual ke tengkulak. Untuk kepiting bintang dijual dengan harga Rp15.000/kilogram dan kepiting renjong harganya Rp20.000/kilogram. Uangnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sangat jauh dari kata cukup.
Bahkan seringkali dia harus berhutang kepada tengkulak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan baru akan dibayar pada saat hasil tangkapannya berlimpah. Tetapi kalau penghasilan kurang, dia meminta waktu kepada tengkulak untuk menunda pelunasan pinjamannya.
Pukat trawl atau hella menurut Rani merupakan faktor utama penyebab kerusakan habitat rajungan dan biota laut bernilai ekonomi tinggi lainnya menghilang dan tak lagi mudah didapat. Tempat bertelur sudah tak ada lagi, dan karang hancur akibat pengoperasian pukat perusak ini.
Ia sangat berharap pemerintah lebih memperhatikan kesejahteraan nelayan kecil. Nelayan menggunakan alat tangkap tak ramah lingkungan seperti pukat trawl atau hella harus ditangkap dan diproses hukum, agar penghasilan nelayan kecil bisa seperti dulu lagi.
Baca : Perubahan Iklim Memukul Nelayan Rajungan Lampung Timur
Abdul Rani, nelayan tangkap rajungan menebar jaring berharap tangkapan berlimpah. Foto : Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia
Sosialisasi dan Bantuan Nelayan
Ricardo Lumumba Simanulang, Kepala Bidang Perikanan Budidaya dan Bina Usaha Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Langkat mengatakan untuk meningkatkan perkembangbiakan rajungan, pihaknya meningkatkan sosialisasi aturan penangkapan kepiting dan rajungan yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.16/2022 tentang Perubahan atas Permen KP No.17/2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), dan Rajungan (Portunus Spp.) di wilayah Negara Republik Indonesia.
Namun mengenai berapa produksi rajungan dari kabupaten ini, mereka tak mempunyai datanya selain hanya mempertegas agar kepiting rajungan yang telah bertelur tidak ditangkap dan harus dikembalikan ke habitat aslinya untuk perkembangbiakan dan menjaga populasinya tetap stabil di alam.
Untuk nelayan menggunakan penangkapan tak ramah lingkungan serta mengancam biota laut seperti trawl, menurutnya itu dilarang karena berdampak negatif dan mengancam penuruna populasi kepiting rajungan serta biota laut lainnya.
Tetapi dia enggan berkomentar banyak mengenai desakan nelayan kecil agar pemerintah menindak tegas alat tangkap menggunakan pukat trawl atau hella
Sepengetahuannya, untuk penangkapan kepiting rajungan, nelayan di Kabupaten Langkat menggunakan alat tangkap ramah lingkungan seperti jaring dan belum ada ditemukan menggunakan alat tangkap perusak biota laut seperti pukat trawl. Kalaupun ada, dia memastikan itu dari luar kabupaten.
“Terkait pukat hela atau apapun itu untuk bidang pengawasan itu ditangani Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumut, bukan lagi di kabupaten kota untuk bidang pengawasan,” katanya saat ditemui akhir September lalu.
Mengenai upaya nelayan untuk membudidayakan kepiting di luar habitatnya untuk mencegah penurunan populasi, dia menyebutkan, pihaknya hanya menangani pengembangbiakan kepiting saja. Namun untuk aturan dan perizinan semua ada di tingkat provinsi.
“Kalau untuk bantuan tetap memperhatikan masyarakat nelayan, terutama kepada masyarakat penangkap kepiting, biasanya kita membantu pengadaan alat tangkapnya yaitu bubu kepiting dan pemberian jaring kepiting yang tiga inci,” kata Ricardo.
DKP Pemkab Langkat juga belum mencatat jumlah nelayan pembudidaya kepiting. Tetapi Ricardo mengatakan pembudidayaan kepiting penting untuk dilakukan meski sampai saat ini belum ada yang berhasil. Semua produksi kepiting masih berasal dari penangkapan di alam.
Disebutkannya, mengatasi terjadinya kepunahan kepiting, pihaknya sudah melakukan berbagai upaya salah satunya dengan membuat program restocking. Namun, anggarannya masih sangat terbatas.
Mereka masih optimis populasinya di alam bisa tetap terjaga karena penangkapan juga masih terbatas. Eksploitasi besar-besaran juga belum terjadi di kabupaten ini sehingga ada keyakinan stok kepiting masih lumayan tersedia.
Baca juga : Laut Tercemar, Nelayan Tangerang Sulit Mendapatkan Rajungan
Kepiting rajungan hasil tangkapan nelayan tangkap dijual ke tengkulak habitatnya telah hancur mempengaruhi hasil tangkapan. Foto : Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia
Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan KP, statistik.kkp.go.id, untuk Provinsi Sumatara Utara pada tahun 2022, volume produksi kepiting bakau sebanyak 3.562 ton sehingga nilai produksi Rp191.661.572. Di tahun sebelumnya yaitu 2021, volume produksi sebesar 3.633 ton dengan nilai produksi Rp190.300.923.
Di Kabupaten Langkat volume kepiting untuk 2019 sebesar 6.056 ton dengan nilai produksi Rp28.4.632.000. Selanjutnya tahun 2020, volume produksi 10.870 ton, lalu nilai produksi Rp49.9536.000. Untuk tahun 2021, volume produksi 11.087 ton kemudian nilai produksi Rp665.220.000. Tahun 2022, volume produksi 221.142 ton lalu nilai produksi Rp13.268.520.000.
Hilangnya Habitat Rajungan
Tajruddin Hasibuan, biasa dikenal dengan nama panggilan Sangkot, anggota Dewan Penasehat Dewan Pimpinan Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (DPP KNTI) Jumat (04/10/2024) mengatakan, salah satu penyebab terjadinya kehilangan populasi rajungan disebabkan oleh ketiadaan areal pemijahan dan pengembangbiakan.
Untuk spesifikasi rajungan di batu karang yang menjadi aktivitas induk bertelur, tetapi cuma beberapa saja yang bisa menetas sendiri. Sebenarnya kepiting bertelur mencari arus deras, secara alami juga mencari air pasang surut yang deras atau kencang. Kemudian setelah bertelur dan menetas baru anaknya mencari anemon dan terumbu karang. Nah, ini penyebab turunnya hasil tangkap nelayan jaring kepiting yang melakukan penangkapan, karena terumbu karang telah hancur padahal itu merupakan habitat dari rajungan.
Faktor lain penyebab terjadinya kehilangan populasi kepiting rajungan adalah karena kondisi laut yang tidak membaik. Pembuangan limbah dari atas permukaan ke dasar laut sudah tidak lagi terfilter dengan bagus. Ekosistem mangrove telah hilang padahal itu menjadi filter untuk menetralisasi secara alami limbah-limbah yang ada.
“Memang wilayah kita overfising, ini mengkawatirkan bagi nelayan kepiting. Biasanya sekarang mereka agak lebih cerdas dengan menambah alat tangkapnya, tidak hanya jaring kepiting. Biasanya mereka membawa bubu dan pancing,” jelas Sangkot.
Dampak dari kerusakan ekosistem untuk pengembangbiakan biota laut, menurutnya mempengaruhi ekonomi nelayan rajungan di pesisir pantai Timur Sumatera Kabupaten Langkat. Penurunan hasil tangkap terus terjadi bertahun-tahun. Belum lagi kompetisi penangkapan ikan yang terjadi selama ini semakin tinggi.
Baca juga : Kepiting dan Rajungan, Apa Perbedaannya?
Abdul Rani pulang melaut menjual hasil tangkapan rajungan Tampak dia tengah bertransaksi dengan tengkulak Ekosistem laut rusak tangkapan pun berkurang. Foto : Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia
Pertumbuhan penduduk, populasi biota laut bernilai ekonomis tinggi semakin sedikit menjadi beberapa kajian bagi mereka dan ditemukan bahwa dampak dari hal ini bisa berujung pada peningkatan angka kemiskinan.
Dia menyebutkan, dampak dari kerusakan ekosistem laut dan terus berkurangnya populasi kepiting rajungan, membuat nelayan beralih profesi. Pekerjaan menjadi nelayan tangkap perlahan mulai ditinggalkan.
“Nelayan itu beralih profesi, selama ini nelayan, kini tidak menggelutinya lagi. Mereka mencari aktivitas lain seperti pekerja bangunan, pekerja pabrik, penarik becak bermotor karena memang selain jarak lebih jauh untuk menangkap ikan, biaya besar dan pendapatan kecil, membuat nelayan banting setir menjadi pekerja lainnya,” katanya.
Menurutnya, inilah dampak yang paling buruk terhadap kehidupan nelayan akibat perubahan ekosistem, penurunan hasil biota laut dan besarnya biaya untuk mencari ikan.
Budi daya Jadi Solusi
Dari permasalahan ini ada beberapa solusi bisa mendorong nelayan untuk mampu mendapatkan nilai ekonomi bagus. Misalnya nelayan yang melaut, harus didorong untuk bisa melakukan budi daya ikan atau lobster.
Dalam konteks budi daya ini, sambungnya, keseriusan pemerintah belum terlihat secara signifikan, agar betul-betul menjadi solusi untuk peningkatan ekonomi nelayan. Sehingga nelayan yang melaut hanya berpindah menjadi nelayan budi daya.
“Membudidayakan biota laut memiliki nilai ekonomi tinggi untuk menopang kehidupan nelayan dan APBD,” paparnya.
Nelayan Indonesia menurut Sangkot masih digolongkan kaum yang miskin dan marginal.
Kemungkinan nelayan beralih profesi bisa mengurangi angka kemiskinan. Namun jika masyarakat tidak bisa lepas menjadi nelayan, peran pemerintah terutama Dinas Kelautan Dan Perikanan (DKP) haruslah menjadi sahabat nelayan, bukan menjadi musuh bagi nelayan. Yaitu meminimalisir atau meniadakan kegiatan yang merusak ekosistem laut, seperti penggalian pasir laut, penebangan hutan mangrove dan pemindahan area tempat tinggal nelayan. Juga melakukan pendampingan dan pembinaan untuk para nelayan buat pengembangan biota laut memiliki nilai ekonomi tinggi dan mempunyai produk yang baik. Agar nelayan di Indonesia khususnya di Kabupaten Langkat sejahtera. (***)
Rajungan: Populer di Luar Negeri, Terancam di Dalam Negeri
Sumber: Mongabay.co.id