- Bumi diperkirakan mendekati titik kritis yang berbahaya dan dapat menimbulkan ancaman besar bagi umat manusia.
- Titik kritis adalah batas suatu ekosistem berubah secara substansial dan berpotensi tidak bisa dipulihkan lagi.
- Berdasarkan laporan Living Planet Report [LPR] 2024 yang dikeluarkan WWF, telah terjadi penurunan populasi satwa liar sebesar 73 persen, dari 1970 hingga 2020.
- Penurunan populasi satwa liar ini menjadi peringatan dini akan kepunahan massal dan kerusakan ekosistem, yang berpotensi menghilangkan manfaat penting seperti udara bersih, air, dan pangan.
Bumi diperkirakan mendekati titik kritis yang berbahaya dan dapat menimbulkan ancaman besar bagi umat manusia. Ancaman itu berupa runtuhnya ketahanan pangan, hilangnya sumber mata pencaharian, merebaknya penyakit invasif, alam yang tidak mendukung kehidupan berkelanjutan, dan perubahan iklim.
Titik kritis adalah batas suatu ekosistem berubah secara substansial dan berpotensi tidak bisa dipulihkan lagi. Diperlukan upaya kolektif yang sangat besar selama lima tahun ke depan untuk mengatasi krisis iklim dan alam.
“Alam sedang mengeluarkan panggilan darurat,” kata Kirsten Schuijt, Direktur Jenderal WWF-Internasional, mengutip pernyataannya di situs WWF Indonesia, Kamis [10/10/2024].
Menurutnya, konsekuensi bencana katastropik dari hilangnya beberapa ekosistem yang paling berharga, seperti hutan hujan Amazon dan terumbu karang, akan dirasakan oleh manusia dan alam di seluruh dunia.
“Meskipun situasinya sangat memprihatinkan, kita belum melewati titik tanpa harapan. Kita memiliki kesepakatan dan solusi global untuk mengatur alam menuju pemulihan tahun 2030. Tetapi sejauh ini, hanya ada sedikit kemajuan dalam pelaksanaannya dan kurangnya urgensi,” jelasnya.
- Advertisement -
Baca: 10 Satwa Paling Terancam Punah di Dunia Saat Ini
Penyu sisik yang menghadapi sejumlah ancaman dalam hidupnya. Foto: Martin Harvey/WWF
Berdasarkan laporan Living Planet Report [LPR] 2024 yang dikeluarkan WWF, telah terjadi penurunan populasi satwa liar sebesar 73 persen, dari 1970 hingga 2020. Living Planet Index [LPI], disusun oleh ZSL [Zoological Society of London], memantau hampir 35.000 tren populasi dari 5.495 spesies. Penurunan terbesar terjadi di ekosistem air tawar [-85 persen], diikuti ekosistem darat [-69 persen], dan laut [-56 persen].
Faktor utama penyebab penurunan ini adalah sistem pangan yang tidak berkelanjutan, eksploitasi berlebihan, dan spesies invasif. Perubahan iklim menjadi ancaman tambahan, terutama di Amerika Latin dan Karibia, yang mencatat penurunan satwa liar hingga 95 persen.
Penurunan populasi satwa liar ini menjadi peringatan dini akan kepunahan massal dan kerusakan ekosistem, yang berpotensi menghilangkan manfaat penting seperti udara bersih, air, dan pangan.
Beberapa populasi spesies yang diteliti LPI adalah, termasuk penurunan 57 persen penyu sisik di Australia sejak 1990 hingga 2018, serta penurunan 65 persen populasi lumba-lumba Pink River Amazon. Ada pula penurunan 75 persen tucuxi jenis lumba-lumba air tawar yang lebih kecil periode 1994-2016 di Cagar Alam Mamiraua, Amazonas, Brasil. Tahun lalu, bahkan lebih dari 330 lumba-lumba sungai mati hanya di dua danau pada musim panas dan kekeringan ekstrem, jelas laporan itu.
Meski begitu, ada juga keberhasilan konservasi seperti peningkatan populasi gorilla gunung sebesar 3 persen per tahun di Afrika Timur [2010-2016]. Juga, kembalinya bison Eropa di Eropa Tengah. Namun, kemajuan ini belum cukup untuk mengimbangi kerusakan di wilayah lain.
Aditya Bayunanda, CEO WWF-Indonesia mengatakan bahwa kita harus waspada terhadap dampak perubahan iklim pada keanekaragaman hayati. Terutama, hilangnya habitat yang memicu kepunahan spesies kunci di Indonesia.
“Penting bagi kita semua bersinergi menjaga habitat satwa, melindungi masyarakat adat dan lokal, serta menegakkan hukum atas kejahatan lingkungan,” paparnya.
Baca: Bioakustik, Melestarikan Keanekaragaman Hayati Melalui Suara Satwa
Gorilla pegunungan yang hidupnya juga terancam. Foto: Wikimedia Commons/Charles J. Sharp/CC BY-SA 4.0
Kondisi satwa di Indonesia
Turunnya populasi, bahkan punahnya spesies kunci juga menjadi ancaman nyata di Indonesia, yang telah memiliki strategi dan rencana aksi konservasi spesies terancam punah melalui KLHK. Ada 25 spesies prioritas yang ditargetkan untuk ditingkatkan populasinya hingga 10 persen.
Beberapa di antaranya adalah komodo, orangutan, gajah, harimau sumatera, juga badak. Meski terdapat sejumlah laporan populasinya ada yang membaik, namun secara keseluruhan ancaman kelestarian atas spesies kunci ini masih tinggi.
Komodo merupakan satwa liar dilindungi di Indonesia. Foto: Rhett Butler/Mongabay
Komodo
Populasi komodo [Varanus komodoensis] dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Namun pada 2022 jumlahnya turun dibanding tahun sebelumnya. Pada 2018, populasinya 2.897 ekor, 2019 [3.022 ekor], 2020 [3.163 ekor], dan 2021 [3.303 ekor]. Setahun kemudian berkurang menjadi 3.156 ekor.
Penurunan populasi disebabkan jumlah mangsa menurun akibat tingginya populasi pada tahun-tahun sebelumnya.
Komodo mendiami Pulau Komodo dan pulau-pulau sekitar. Seperti Pulai Rinca, Padar, Gili Motang, juga Nusa Kode. Terbanyak di Pulau Komodo dan Rinca.
Sebuah penelitian yang dipublikasikan pada September 2020 dalam jurnal Ecology and Evolution memprediksi keberadaan Komodo bisa punah pada 2050 akibat perubahan iklim. Pemanasan global dan kenaikan permukaan laut merusak habitat mereka seperti yang terjadi akhir-akhir ini.
Prediksi mereka dalam skenario terburuk adalah luas habitat Komodo akan berkurang hingga 87 persen pada 2050. Sementara dalam skenario paling ramah lingkungan, luas habitat komodo berkurang 15 persen. Peneliti juga menyebut, komodo sensitif terhadap perubahan penggunaan lahan, sehingga konversi lahan yang sedang berlangsung menjadi ancaman kelestarian satwa ini.
Pada 2021, IUCN mengumumkan komodo berstatus Genting [Endangered], yang sebelumnya Rentan [Vulnerable]. Status ini dipertanyakan oleh peneliti Indonesia, mengingat perubahan itu dianggap tidak melalui kajian mendalam dan diskusi dengan para ahli.
Orangutan sumatera yang hidup di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
Orangutan
Ada tiga spesies orangutan di Indonesia, yaitu orangutan sumatera [Pongo abelii], orangutan kalimantan [Pongo pygmaeus], dan orangutan tapanuli [Pongo tapanuliensis].
Kajian komprehensif yang dilaporkan 2018 menyebut orangutan kalimantan menyusut lebih dari seratus ribu sejak 1999. Ini sejalan dengan temuan IUCN yang pada 2016 menyatakan orangutan kalimantan sangat terancam. Populasinya menurut IUCN sekitar 105 ribu individu dan pada 2025 diperkirakan turun sampai 47 ribu individu.
Berdasarkan SRAK Orangutan 2019-2029, populasi orangutan sumatera diperkirakan berjumlah 13.710 individu. Orangutan tapanuli diperkirakan berjumlah 577 hingga 760 individu. Sementara populasi orangutan kalimantan diperkirakan berjumlah 57.350 individu.
Berdasarkan IUCN, status orangutan sumatera, kalimantan, dan tapanuli adalah Kritis [Critically Endangered].
Satu kelompok gajah liar terpantau di kantong Sugihan-Simpang Heran, Air Sugihan, Kabupaten OKI, Sumsel. Foto: Dok. PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa]
Gajah
Terdapat dua spesies gajah yang habitatnya ada di Indonesia, yaitu gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus] dan gajah kalimantan [Elephas maximus borneensis].
Forum Konservasi Gajah Indonesia [FKGI] memperkirakan populasi gajah sumatera tersisa sekitar 1.800 ekor yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan Utara. Penyusutan populasi disebabkan alih fungsi hutan dan tingginya konflik dengan manusia.
Dalam tulisan lainnya, FKGI menyatakan populasi gajah sumatera menurun hingga 70 persen dalam kurun waktu 20 sampai 30 tahun terakhir. Pada 2013 diperkirakan tinggal 1.970 ekor.
Mengutip sebuah berita yang dilansir Agustus 2024, KLHK dan WWF menyebut populasi gajah sumatera diperkirakan sekitar 1.300 sampai 1.500 individu. Sementara gajah kalimantan berkisar 80 sampai 100 individu.
Berdasarkan IUCN, gajah sumatera berstatus Kritis [Critically Endangered] dan gajah kalimantan berstatus genting [Endangered].
Harimau sumatera merupakan satwa liar dilindungi di Indonesia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
Harimau Sumatera
Harimau Sumatera [Panthera tigris sumatrae] populasinya diperkirakan sekitar 400 individu. Salah satu habitat terpentingnya berada di Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Pada 2017, jumlah harimau sumatera di sana diperkirakan sekitar 47 ekor, meningkat dari 35 ekor data 2013.
Sebuah artikel menyebut, harimau sumatera jumahnya diperkirakan sebanyak 393 individu dewasa, menurun 10 persen dibanding 2008 yang berjumlah 439 ekor. Kerusakan habitat, fragmentasi, perdagangan bagian tubuh harimau, perburuan satwa mangsa, konflik harimau-manusia menjadi ancaman utama kelestariannya.
Tulisan lain yang diterbitkan 2022 menyebut populasi harimau sumatera sekitar 600 individu dan terbanyak ada di Riau. Namun, konflik harimau dengan manusia juga tinggi yang kerap menyebabkan harimau mati karena jerat.
Harimau sumatera berstatus Kritis [Critically Endangered] berdasarkan kategori IUCN.
10 Fakta Penting Badak, Satwa Pemalu yang Terancam Punah di Bumi
Sumber: Mongabay.co.id