- Kedaulatan pangan di Indonesia selama satu dekade pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) makin tak menentu. Salah satu penyebabnya, alih fungsi terus terjadi, dari hutan dan tanah-tanah pertanian yang menjadi sumber pangan masyarakat malah beralih untuk kepentingan lain seperti perkebunan sawit, tambang, dan industri ekstraktif lain termasuk food estate. Kondisi ini, justru memperparah krisis pangan dan membuat petani makin melarat.
- Sawit Watch, mencatat, alih fungsi lahan pangan ke perkebunan sawit di era Jokowi mencapai 698.566 hektar atau 69.856 hektar per tahun. Penyusutan lahan pangan menjadi perkebunan sawit ini didukung permintaan pasar global dan kebijakan rezim.
- Luas perkebunan sawit itu sangat timpang dengan luas lahan baku sawah yang hanya 7.463.948 hektar di 34 provinsi berdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Dari jumlah itu, KATR/BPN berencana menetapkan 5 juta hektar sebagai lahan sawah abadi atau lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) pada 2024.
- Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional Perkumpulan Indonesia Berseru (PIB) mengatakan, lahan pertanian terus menyempit tetapi program swasembada pangan era Jokowi justru membuat petani nelangsa. Kebijakan food estate, misal, pemerintah lebih memberdayakan perusahaan swasta ketimbang petani lokal.
- Advertisement -
Kedaulatan pangan di Indonesia selama satu dekade pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) makin tak menentu. Salah satu penyebabnya, alih fungsi terus terjadi, dari hutan dan tanah-tanah pertanian yang menjadi sumber pangan masyarakat malah beralih untuk kepentingan lain seperti perkebunan sawit, tambang, dan industri ekstraktif lain termasuk food estate. Kondisi ini, justru memperparah krisis pangan dan membuat petani makin melarat.
Sawit Watch, mencatat, alih fungsi lahan pangan ke perkebunan sawit di era Jokowi mencapai 698.566 hektar atau 69.856 hektar per tahun. Penyusutan lahan pangan menjadi perkebunan sawit ini didukung permintaan pasar global dan kebijakan rezim.
Ahmad Surambo, Direktur Sawit Watch mengatakan, lahan yang beralihfungsi didominasi persawahan. Jadi, katanya, tak heran pemerintah terus melakukan impor beras, lantaran luas persawahan yang kian menyusut.
“Menurut saya, kebijakan ini enggak efektif. Lahan strategis untuk persawahan kok pemerintah bisa-bisa mengkonversi menjadi perkebunan sawit,” katanya dalam diskusi Hari Pangan Sedunia di Jakarta, Selasa, (15/10/24).
Rambo mencontohkan di Kalimantan Tengah (Kalteng), Kalimantan Tenggara (Kaltara) dan Jawa Timur (Jatim) yang mengalami alih fungsi lahan pertanian menjadi perkebunan sawit secara signifikan dalam kurun waktu 10 tahun, periode 2013-2023.
Laju pertumbuhan perkebunan sawit paling tinggi di desa Luwuklangkuas, Kalteng sebesar 35,28%, lalu Desa Mangkupadi, Kaltara 19,80% dan Desa Tumpakrejo, Jatim 5,39%.
“Konversi lahan pangan menjadi sawit itu akan terus terjadi dan mekanisme penanganan sampai sekarang itu tidak efektif. Pemerintah seharusnya dapat melindungi lahan pangan itu,” katanya.
Dia bilang, harus ada kebijakan yang mendukung supaya petani tidak tertarik mengubah lahan. “Yang terjadi tidak seperti itu.”
Ekspansi sawit ini juga menyebabkan konflik lantaran mendapat penolakan dari masyarakat karena proses alih fungsi lahan sarat perampasan. Hingga 2023, konflik mencapai 1.106 kelompok masyarakat dengan 365 perusahaan.
“Karena lahan sawit yang digunakan lahan pertanian. Terjadi perebutan dengan masyarakat dan terjadilah konflik itu,” kata Rambo.
Sawit Watch mencatat, perkebunan sawit di Indonesia mencapai 25,07 juta hektar dengan kepemilikan 50% perusahaan swasta, 15% pemerintah dan 35% petani. Satu sisi, luas perkebunan sawit tak lantas membuat pasokan minyak goreng melimpah.
Seperti tikus yang kelaparan di lumbung padi, Indonesia sempat mengalami krisis minyak goreng pada 2022. Sawit Watch pun pernah membawa masalah ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), namun hakim menolak dengan alasan bukan ranah PTUN.
Luas perkebunan sawit itu sangat timpang dengan luas lahan baku sawah yang hanya 7.463.948 hektar di 34 provinsi berdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Dari jumlah itu, KATR/BPN berencana menetapkan 5 juta hektar sebagai lahan sawah abadi atau lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) pada 2024.
LP2B merupakan program KATR/BPN yang dicanangkan sejak 2019. Tujuannya, mengendalikan alih fungsi lahan sawah dan memenuhi ketersediaan untuk mendukung ketahanan pangan nasional, terutama pasca pandemi COVID-19.
Hutan adat Kinipan ini bak supermarket, tempat masyarakat memenuhi pangan, papan, obat-obatan dan lain-lain. Kini, hutan adat berubah jadi kebun sawit perusahaan. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo
Untuk mendorong percepatan LP2B, KATR/BPM memerintahkan setiap kabupaten/kota menetapkan Perda LP2B Terintegrasi dengan Perda RTRW kabupaten/kota. Hal ini sebagai upaya perlindungan lahan pertanian pangan/lahan sawah dari kegiatan investasi.
Saat ini, sudah ada 263 kabupaten/kota di 34 provinsi yang menetapkan kebijakan ini dengan total luas lahan 6.950.185,19 hektar.
“Tapi laju pertumbuhan perkebunan sawit sangat tinggi dan akan terus terjadi. Tentunya ini tak sejalan dengan semangat LP2B.”
Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional Perkumpulan Indonesia Berseru (PIB) mengatakan, bila diperhatikan semangat pangan nasional yang digalakkan pemerintah hanya saat masa genting saja atau terjadi bencana, seperti pandemi COVID-19. Kemudian terlupakan setelah badai itu berlalu.
Dia bilang, pada era Jokowi kondisi ketahanan pangan nasional justru memprihatinkan sejak tongkat estafet kepemimpinan berpindah dari tangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Jumlah petani, nelayan dan lahan pertanian mengalami penurunan. Satu sisi, impor dan produksi pangan terus meningkat menyusul pertumbuhan jumlah penduduk.
“Warisan dari SBY yang dibahas oleh Jokowi itu, jumlah petani dan nelayan itu merosot drastis sekali. Satu contoh untuk petani tahun 2003-2013 itu hampir 5 juta orang menghilang. Artiinya dia (petani) dipaksa keluar dari sawahnya,” kata Tejo.
Dengan begitu, rata-rata per tahun 500.000 orang dan keluarga. “Kalau itu keluarga ya keluarga dipaksa untuk keluar gitu karena satu dan lain hal, ada yang karena sudah tidak dianggap ekonomis, bisnisnya, ada yang karena lahan tergusur dan banyak hal.”
Alih-alih memenuhi kebutuhan pangan nasional, pemerintah justru lebih memilih impor ketimbang memaksimalkan pangan petani lokal. Impor pangan ini layaknya tabiat yang selalu dilakukan setiap presiden. Pada 2024, pemerintah mengimpor 4,046 juta ton beras, 4,09 juta ton gula, 2,8 juta ton kedelai, 11,4 juta ton gandum dan 0,26 juta ton daging.
“Itu sudah mengingatkan kita itu sebenarnya darurat pangan dengan kondisi seperti ini. Memang pangan masih bisa diakses tapi ancamannya itu terlalu tinggi, karena kalau kita mengagungkan dari impor pangan, gejolak harga, gejolak geopolitik itu sangat cepat dipengaruhi.”
Lahan pertanian pun, katanya terus menyempit tetapi program swasembada pangan era Jokowi justru membuat petani nelangsa. Kebijakan food estate, misal, pemerintah lebih memberdayakan perusahaan swasta ketimbang petani lokal.
“Lahan-lahan pertanian juga terus tergerus.”
Sagu yang diolah secara tradisional oleh para petani. Kini, kebun dan hutan sagu banyak beralih jadi tambang ninkel Foto: M Ichi/ Mongabay Indonesia
Tejo bilang, food estate merupakan proyek gagal yang diterapkan presiden-presiden terdahulu. Mulai era presiden kedua, Soeharto tahun 1990-an dengan mega rice project di Kalimantan Tengah yang mengubah rawa gambut sebagai tempat produksi beras seluas sejuta hektar. Proyek ini gagal karena lahan gambut tak sesuai untuk pertumbuhan padi, alhasil pemerintah menelan kerugian besar.
Pada 2010, di masa kepemimpinan SBY sempat menjalankan program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Katanya, untuk menjamin swasembada Indonesia dalam hal pangan dan energi.
Lagi-lagi, proyek ini gagal karena komoditas tak sesuai dengan kultur masyarakat Papua. Saat itu, pemerintah menciptakan lahan pertanian penghasil beras, tebu dan minyak sawit yang justru dijalankan petani Jawa.
Pada akhirnya, proyek ini hanya menghabiskan anggaran negara saja. Dalam dua tahun terakhir, telah menghabiskan anggaran ratusan triliun. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, alokasi dana untuk ketahanan pangan sebesar Rp114,3 triliun atau naik Rp13,4 triliun rupiah dibanding 2023 yaitu Rp100,9 triliun, di dalamnya mencakup food estate. Pada 2025, pemerintah berencana mengalokasikan anggaran food estate Rp124,4 triliun.
“Food estate ini hanya untuk kepentingan investor,” kata Tejo.
Tejo mengatakan, kedaulatan pangan nasional masih menjadi pekerjaan rumah (PR) dari masa ke masa. Masa kepemimpinan Jokowi dan wakilnya, Ma’aruf Amin akan tergantikan oleh Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto – Gibran Raka Buming Raka.
Bila mengulik asta cita janji Prabowo-Gibran yang berkaitan dengan kedaulatan pangan, Tejo pun ragu. Dia memprediksi food estate akan terus berlanjut, petani dan nelayan pun kian terpinggirkan.
“Kedaulatan pangan itu artinya sama dengan yang dilakukan oleh Soeharto dan pengganti -penggantinya. Kemudian petani sebagai subjek lebih khusus lagi petani penghasil pengan skala kecil sebagai subjek itu tidak didorong, tidak menjadi pilihan. Karena mereka hanya menjadi obyek membiayai pembangunan, hasilnya adalah mereka makin terpinggirkan,” kata Tejo.
Perempuan petani Pulau Mendol sedang menuai padi dengan alat pemotong tradisional. Pulau Mendol, juga terancam jadi kebun sawit perusahaan. Foto: Walhi Riau.
*******
Lahan Pertanian Kebanjiran, Lumbung Pangan Warga Air Hitam Terancam
Sumber: Mongabay.co.id