- Gugatan masyarakat adat dan Koalisi untuk Konservasi Keadilan atas Undang-undang Nomor 32/2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU Konservasi) mulai sidang 7 Oktober lalu di Mahkamah Konstitusi (MK). Kuasa hukum dari masyarakat adat, menekankan soal UU ini harus tanpa melibatkan masyarakat adat maupun komunitas lokal yang berada di sekitar maupun di dalam kawasan konservasi.
- Syamsul Alam Agus, kuasa hukum masyarakat adat mengatakan, pemberlakuan UU Konservasi tak berdaya guna dan tak memiliki kehasilgunaan terutama bagi masyarakat adat dan komunitas lokal. Kondisi ini, berisiko menimbulkan masalah dan menimpa masyarakat adat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan konservasi.
- Judianto Simanjuntak, juga kuasa hukum masyarakat adat mengatakan, UU Konservasi 2024 makin menegaskan sentralisasi kewenangan penyelenggara dan abai pemenuhan hak asasi manusia terutama masyarakat adat dan komunitas lokal terdampak.
- Seharusnya, UU ini bisa benar-benar berguna untuk meningkatkan aksi konservasi sekaligus menggapai keadilan sosial dan ekologis yang memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan hidup.
Gugatan masyarakat adat dan Koalisi untuk Konservasi Keadilan atas Undang-undang Nomor 32/2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU Konservasi) mulai sidang 7 Oktober lalu di Mahkamah Konstitusi (MK). Kuasa hukum dari masyarakat adat, menekankan soal UU ini harus tanpa melibatkan masyarakat adat maupun komunitas lokal yang berada di sekitar maupun di dalam kawasan konservasi.
- Advertisement -
Syamsul Alam Agus, kuasa hukum masyarakat adat mengatakan, pemberlakuan UU Konservasi tak berdaya guna dan tak memiliki kehasilgunaan terutama bagi masyarakat adat dan komunitas lokal. Kondisi ini, berisiko menimbulkan masalah dan menimpa masyarakat adat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan konservasi.
Menurut dia, tidak ada pelibatan pihak yang terdampak dan yang konsern terhadap urusan sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya, menyebabkan UU 32/2024 tidak mempunyai tujuan jelas.
Dia contohkan, soal pemahaman ekosistem yang tidak menyentuh pada pihak yang berkaitan erat dengan ekosistem alam, seperti masyarakat adat dan komunitas lokal. Dengan tak ada pelibatan masyarakat ini, katanya, membuka celah kriminalisasi, perampasan hak, diskriminasi dan pengabaian hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal.
Syamsul mengatakan, laporan The Living Planet pada 2022 menyebutkan, ada penurunan populasi mamalia, burung, ikan, dan reptil populasi sebesar 69% dalam waktu 50 tahun. Penyebabnya, beberapa faktor antara lain alih fungsi lahan dan air tanpa mempertimbangkan skema keberlanjutan, terjadi eksploitasi berlebihan pada spesies melalui perdagangan ilegal sampai pembunuhan satwa tertentu serta perubahan iklim.
“Persoalan lain pengelolaan sumber daya alam kita muncul dari konflik pengelolaan dan penguasaan wilayah konservasi dengan masyarakat yang mendiami wilayah hutan secara turun -temurun,” katanya.
Perwakilan masyarakat menyerahkan permohonan uji materi UUKSDAE. Foto: Koalisi
Syamsul bilang, konflik ini karena perbedaan sudut pandang dalam pengelolaan kawasan konservasi. Dia contohkan, Masyarakat Adat Ngkiong di Kecamatan Lambaleda Timur, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur berkonflik dengan pemerintah karena urusan tapal batas antara lahan adat dan taman Wisata Alam Ruteng. Konflik ini, katanya, menyebabkan Mikael Ane, warga adat– juga penggugat—alami kriminalisasi.
Pengadilan Negeri Ruteng menvonis dia bersalah dan kena hukum 1,6 tahun penjara, denda Rp300 juta subsider enam bulan kurungan pada September 2023 karena dianggap mendirikan rumah di taman nasional. Ane bebas pada Mei 2024 setelah banding.
“UU ini tak memberikan ruang berpartisipasi penuh dan efektif dalam menentukan kawasan konservasi berdasarkan hukum dan pengetahuan tradisional. Ini karena tidak ada pengaturan masyarakat adat sebagai subjek dalam penyelenggaraan konservasi,” kata Syamsul.
Judianto Simanjuntak, juga kuasa hukum masyarakat adat mengatakan, UU Konservasi 2024 tak mewujudkan transformasi kebijakan konservasi yang adil, inklusif, berbudaya dan berciri-khas nusantara.
UU ini, katanya, makin menegaskan sentralisasi kewenangan penyelenggara dan abai pemenuhan hak asasi manusia terutama masyarakat adat dan komunitas lokal terdampak.
Seharusnya, proses pembentukan UU perlu lebih mengakomodasi masukan masyarakat adat dan lokal yang bakal terdampak langsung dari pembentukan aturan ini. Selain itu, juga tak mengabaikan masukan dari pihak yang konsern isu ini. Dengan kata lain, proses pembentukan Undang-undang harus berdasarkan pada praktik dan pengalaman empiris masyarakat adat dan lokal.
“Baik bagi mereka yang tereksklusi karena keberadaan kawasan konservasi, maupun yang selama ini telah aktif melakukan konservasi di luar wilayah konservasi yang ditetapkan pemerintah,” katanya.
Alex Waisimon bersama masyarakat, juga keluarganya, bersama-sama menjaga hutan Papua. Dari lahan rusak, sampai jadi hutan lagi dan satwa endemik seperti burung cenderawasih datang dan hidup di dalamnya . Foto: Alex Wasisimon
Judianto bilang, pemerintah seharusnya melibatkan masyarakat dan oerganisasi yang konsen pada kelestarian alam sesuai asas meaningful participation saat penyusunan UU ini. Hingga aturan ini tak mendiskriminasi masyarakat adat.
Seharusnya, UU ini bisa benar-benar berguna untuk meningkatkan aksi konservasi sekaligus menggapai keadilan sosial dan ekologis yang memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan hidup.
Dia sebutkan beberapa poin tuai kritik dalam UU Konsevasi, karena ada pasal diskriminatif dan berpotensi menghilangkan hak masyarakat adat terhadap hutan adat.
Pertama, dalam UU 32/2024 tidak ada pasal yang mengakui masyarakat adat sebagai subjek hukum atau pelaku konservasi. Kedua, ada ketentuan mengenai kawasan konservasi yang tidak jelas dan tak menjawab tuntutan mengakui aktor konservasi lain di luar negara.
Ketiga, tidak ada pasal yang mengatur mengenai hak masyarakat adat atau hak atas free, prior, informed consent. Ini hak masyarakat untuk mengambil keputusan yang tepat mengenai hal -hal yang mempengaruhi masyarakat, tradisi, dan cara hidupnya.
Keempat, hutan adat jadi sebagai bagian dari wilayah tertentu sebagai sistem penyangga kehidupan dalam Pasal 8 ayat 2 Undang -Undang 32/2024. Ketentuan ini menjadikan posisi hutan adat sumir.
Kelima, UU ini masih gunakan pendekatan sentralistis dan konservasionis diplementalis. Jadi, hanya berorientasi pada penguatan aspek pengawetan keanekaragaman hayati tanpa melihat dampak lain yang dapat memperbaiki tata kelola kawasan konservasi dan pengawalan keanekaragaman hayati seperti masyarakat adat dan komunitas lokal.
“Artinya, menjadi terang benderang dan nyata serta cukup membuktikan bahwa pembentukan UU 32/2024 bertentangan dengan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan,” kata Judianto.
Koalisi meminta, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan sela kepada presiden agar tak menerbitkan peraturan pelaksana seperti peraturan pemerintah atau peraturan presiden sampai ada putusan mahkamah.
Muhammad Arman, dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) juga tim kuasa hukum, menyoroti pengujian formil ini dilakukan karena ada ketidakpatuhan terhadap UUD 1945, UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, serta Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020.
Arief Hidayat, Hakim Konstitusi meminta para pemohon agar memperbaiki bahan uji materil hingga menunjukkan kelemahan proses penyusunan UU 32/2024 itu. Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki bahan.
******
Kala Masyarakat Adat Gugat UU Konservasi ke Mahkamah Konstitusi
Sumber: Mongabay.co.id