- Masyarakat pesisir di Kecamatan Kuala Indragiri, Indragiri Hilir, Riau, sebetulnya hidup bergantung laut. Karena kondisi laut tak menentu, atau masa tak melaut memaksa nelayan pesisir beralih kerja dari sumber lain. Ada yang tebang mangrove untuk jual arang kayu, bikin sapu lidi atau daun nipah, buruh bangunan dan lain-lain. Perairan di pesisir itu masuk dalam Kawasan Konservasi Perairan Indragiri Hilir.
- Masyarakat pesisir yang hidup di sekitar maupun di dalam Kawasan Konservasi Perairan. Sewaktu-waktu memang biasa tangkap ikan di tepian—sekitar hutan mangrove—lumayan banyak tetapi belum terus menerus. Kondisi umum, masih terbilang hasil tangkapan tak menentu.
- Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut, Eksekutif Nasional Walhi, khawatir dengan pembagian zona pemerintah dalam kawasan konservasi perairan mempersempit ruang gerak nelayan. Akibatnya, mereka melaut lebih jauh. Situasi jadi sulit di tengah krisis iklim. Kondisi laut tidak menentu dan makin susah diprediksi dari angin kencang dan gelombang tinggi.
- Susan Herawati, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) ragu dengan pola penetapan kawasan konservasi ala pemerintah karena cenderung sepihak. Idealnya, penetapan kawasan konservasi harus mengikuti kearifan lokal wilayah masing-masing. Kalau kebijakan berangkat dari bawah, akan lebih menguatkan karena ada kesadaran tumbuh secara kolektif dari masyarakat dalam melindungi ruang hidup mereka.
- Advertisement -
Sebulan lebih sudah Diski tak melaut. Angin kencang dan gelombang besar memaksa nelayan Desa Pulau Cawan, Kecamatan Kuala Indragiri, Indragiri Hilir, Riau, lebih banyak istirahat di rumah. Situasi sudah jadi hal biasa antara Agustus hingga penghujung tahun.
Biasanya, nelayan berangsur kembali melaut setelah masa perbani—proses pasang surut lambat dan merupakan waktu yang bagus menangkap ikan—mulai Desember dan puncaknya April.
Meski belum punya tanggungan biaya pendidikan anak—masih bayi—Diski tetap harus memastikan kebutuhan dapur terpenuhi, tiap hari. Sebab itu, dia mengisi waktu luang dengan mencari siput di sekitar hutan mangrove.
“Sangat sulit cari pekerjaan selain jadi nelayan. Penghasilan pas-pasan. Lebih sering tak mendapat hasil melaut,” katanya, Agustus lalu.
Dia tak sendirian mengayuh sampan, kala laut tak bisa ditempuh. Zaharwan, nelayan Pantai Solop, juga begitu. Selain cari siput, dia juga sambilan tebang pohon mangrove buat kayu arang. Meski tahu aktivitas ini dilarang, dia mengaku tidak rutin melakukan, sekadar mengambil kayu-kayu besar.
“Masih ada yang ambil bakau. Masa-masa tak melaut itu jadi pekerjaan pengganti. Sebulan tiga hari mencari bakau,” ucap Zaharwan di teras rumah kayu, tepi sungai Pulau Cawan.
Zaharwan terkadang mencari kayu bakau ke luar desa. Dia tak perlu mengantar ke penampung. Pembeli dari Tembilahan, pusat pemerintahan Indragiri Hilir, datang menjemput kayu.
Baginya, menebang pohon-pohon mangrove sepaket dengan cari siput. Masuk dalam kawasan mangrove, memungut biota yang menempel di pohon atau berjalan di atas lumpur sambil mengais dengan tangan kosong, kala pasang kering.
Pendapatan nelayan mengumpulkan siput tidak pasti. Zaharwan bisa dapat dua sampai empat kilogram sekali turun. Dia jual ke penduduk desa Rp25.000 per kilogram. “Lumayan buat biaya sehari-hari.”
Menebang kayu bakau juga Asparizal lakukan sesekali. Biasa kalau ada pembangunan jalan atau proyek fisik di Desa Bidari Tanjung Datuk, Kecamatan Mandah. Di luar itu, dia tak berani mencari lebih banyak di luar desa. Dia masih memikirkan nasib lingkungan di desanya bila berlebihan mengambil mangrove.
Anisa, perempuan rumah tangga, Desa Kuala Gaung, lebih 20 tahun memucuk. Foto: Suryad/ Mongabay Indonesia.
Selain bakau, nelayan di Indragiri Hilir juga ambil nipah buat lidi. Daun mereka keringkan. Mereka menamai pekerjaan ini memucuk. Penampung mematok harga lidi Rp4.000 dan Rp8.000 untuk pucuk.
Memucuk kebanyakan oleh perempuan. Laki-laki bagian cari nipah. Harga nipah Rp1.500 per batang. Harga nipah cenderung naik, sementara harga produk turunan tidak menentu.
“Hargu pucuk turun, harga nipah tak turun,” terang Nuriyat, warga Desa Kuala Gaung, Kecamatan Gaung Anak Serka.
Dia mengatakan, sudah 30 tahun memucuk. Meski tergolong ringan dan mudah, pekerjaan ini berharap pada cuaca. Kalau panas, daun nipah bisa kering dalam satu sampai tiga hari. Sebab itu, dia biasa jual tiap minggu atau kapanpun butuh uang.
Nuriyat, seorang diri di rumah. Suami meninggal dunia, dua anaknya merantau ke Batam, Kepulauan Riau dan jarang pulang. Meski sakit-sakitan karena asam urat, bahkan terkadang susah berdiri, dia tetap memucuk untuk mendapatkan Rp120.000 tiap minggu.
Anisa, perempuan rumah tangga 40 tahun, tetangga Nuriyat, juga memucuk, sejak sekitar 20 tahun lalu.
Dia bilang, ada belasan janda di Kuala Gaung menopang hidup dari memucuk. Bahkan, mereka yang masih memiliki keluarga utuh pun tetap memucuk demi membantu dan menambah penghasilan rumah tangga.
Dulu, semasa ada suami saat pulang melaut, biasa bawa batang nipah untuk dikupas dan dikeringkan. Kini, Anisa harus mengupah orang buat cari nipah.
Melaut, katanya, hanya kerja tambahan karena tidak bisa sepenuhnya. Masalahnya, selain nelayan, sulit dapat pekerjaan di Kuala Gaung.
Karena itu, banyak anak muda Kuala Gaung atau warga usia produktif merantau di dalam maupun luar daerah. Kebanyakan mereka ke Kepulauan Riau. Jarak tempuh lebih dekat dan biaya masih terjangkau. Umumnya, hanya tamat sekolah dasar. Di desa ini, tidak ada sekolah menengah.
Pendapat Anisa, senada dengan pengakuan Muhammad, nelayan Desa Tanjung Melayu, Kecamatan Kuala Indragiri yang puluhan tahun melaut. Dia bilang, menjaring ikan tidak lagi menjanjikan. Sehari dapat, hari-hari berikutnya belum tentu cukup.
Biasa, jika ada satu nelayan dapat ikan banyak, seluruh nelayan desa yang turun melaut keesokan hari, pasti juga dapat ikan. Bahkan tak perlu jauh ke luar desa. Itu pertanda musim ikan telah tiba.
“Sekarang, tak ada lagi model gitu. Hari ini ada, besok tak ada. Ikan tak mcam dulu lagi. Situasi sejak lima tahun belakangan,” kata Muhammad. Dia kini berhenti melaut dan memilih jadi penampung ikan bagi nelayan-nelayan di desa itu.
Aktivitas sore hari, setelah pulang melaut di Desa Bidari Tanjung Datuk. Foto: Suryadi/Mongabay Indonesia.
Banyak nelayan Tanjung Melayu membongkar jaring dari kapal. Mereka pilih memucuk agar dapat menutupi kebutuhan. Melaut jadi pilihan nekat. Mereka baru turun lagi kalau dengar kawan sesama nelayan dapat ikan.
Kalau ternyata tak dapat ikan, mereka putar haluan menebang nipah buat bahan memucuk, sebelum kembali ke rumah. Sekadar mengganti modal minyak mesin yang terlanjur digunakan.
Ketika ada proyek di desa, seperti pembangunan jalan, menjadi berkah bagi nelayan ketika laut tak bersahabat. Mereka beralih sementara waktu jadi buruh bangunan.
Asparizal, nelayan Desa Bidari Tanjung Datuk, Kecamatan Mandah, misal, sudah dua bulan ikut mengerjakan pembuatan turap tepi sungai buat antisipasi kenaikan air ke pemukiman saat pasang tinggi.
Dia nelayan sondong. Dua anak laki-laki dan perempuan juga merantau ke Batam. Istrinya, Mawarni, jualan menu sarapan pagi di persimpangan dekat rumah. Terkadang, ikut cari kerang di pantai depan kuala sungai.
Kerang, merupakan sumber penghasilan laut kedua di Bidara Tanjung Datuk. Tiba musim, orang-orang berbondong mengayuh sampan ke pantai. Laki-laki dan perempuan, tua maupun muda, turun ke lumpur dengan sekeping papan untuk berselencar. Mereka sebut menongkah.
Kerang bernilai ekspor berdasarkan tiga jenis ukuran untuk menentukan harga yang ditetapkan tauke. Setelah musim habis, perempuan Bidari Tanjung Datuk kembali ke darat dengan aktivitas harian. Biasa, mereka bantu jajakan ikan ke kampung-kampung ambil dari nelayan.
Mereka peroleh upah 20% dari hasil penjualan. Kalau pun tak ikut cari, perempuan ambil bagian kupas kerang dengan upah Rp2.000 per kilogram.
“Pokoknya, perempuan Bidari Tanjung Datuk bantu suami kerja. Terkadang ada juga ikut cari siput,” kata Mawarni.
Nuriyat, perempuan rumah tangga Desa Kuala Gaung, sehari-hari memucuk. Foto: Suryadi/Mongabay Indonesia.
Kawasan konservasi perairan
Diski, Zaharwan hingga Nuriyat dan Mawarni, adalah masyarakat pesisir yang berada di dalam dan sekitar Kawasan Konservasi Perairan Indragiri Hilir. Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, menetapkan 126.097,64 hektar kawasan ini sebagai taman perairan, lewat keputusan 107/2023.
Kawasan ini terdiri atas, zona inti 4.540,59 hektar, dan zona pemanfaatan terbatas 115.740,68 hektar. Ada zona lain, yakni, zona bangunan 4.774,24 hektar dan zona sesuai karakteristik kawasan 1.042,13 hektar.
Kawasan konservasi perairan Indragiri Hilir meliputi 19 desa. Paling luas di Riau, setelah Kepulauan Aruah seluas 18.536,10 hektar di Kecamatan Pasir Limau Kapas, Rokan Hilir.
M Hassanullutfi, Kepala Bidang Kelautan dan Pengawasan DKP Riau, menginginkan kawasan konservasi perairan menambah dan meningkatkan penghasilan masyarakat. Kemudian tidak menganggu kehidupan dan aktivitas nelayan itu sendiri.
“Syukur-syukur dengan penetapan kawasan konservasi itu justru bisa membikin inovasi baru. Hingga masyarakat bisa ciptakan areal pariwisata atau pengembangan UMKM dan lainnya,” kata Lutfi, panggilan akrab M Hassanullutfi.
DKP Riau, sebagai pengelola kawasan rutin mendata ekonomi nelayan untuk melihat dampak dan pengaruh pasca penetapan kawasan konservasi. Memang, nelayan dilarang menangkap ikan di zona inti.
Di balik itu, Lutfi meyakini keberadaan kawasan konservasi setidaknya dapat menjaga kualitas air dan secara otomatis pengawasan laut jadi lebih intens.
Kawasan konservasi akan mengurangi praktik destructive fishing atau penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan dan pengambilan ikan secara terukur. Efeknya, nelayan kecil masih punya peluang mencari ikan dengan alat-alat yang diperbolehkan. Dengan begitu, katanya, anak-anak ikan bisa tumbuh kembang sebelum terkeruk habis.
Selain itu, kawasan konservasi juga dapat melindungi, melestarikan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati laut atau biota penting di seputaran wilayah itu, seperti udang nenek, kerang darah, dan ikan tirusan.
Khusus tirusan, merupakan ikan bernilai ekonomi tinggi karena limpa atau gelembungnya dan paling banyak diburu nelayan. Saat ini, sudah sangat sulit dapat.
Untuk memastikan ekonomi alternatif—karena nelayan terkadang tak bisa melaut—Lutfi berharap, keterlibatan organisasi perangkat daerah lain, seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan, koperasi dan lain. Dia beralasan, DKP Riau hanya mengurusi persoalan yang berhubungan dengan laut.
“Bantuan dari pemerintah juga banyak buat nelayan. Kalau memang masuk dalam data terpadu kesejahteraan sosial, tentu banyak bantuan diberikan. Ada PKH (program keluarga harapan), bantuan kesehatan dan asuransi lain.”
Perempuan nelayan Desa Bidari Tanjung Datuk, pulang mencari kerang. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia.
Jangan persulit nelayan
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut, Eksekutif Nasional Walhi, mengatakan, dua hal pada pemerintah mengenai kebijakan melindungi laut dan pesisir. Kawasan konservasi perairan mesti jadi alat untuk capai keadilan ekologis atau iklim tetapi bukan sebagai tujuan, karena akan menciptakan pemiskinan terhadap masyarakat pesisir, khusus nelayan.
Masyarakat yang pemegang hak perairan harus jadi prioritas, kualitas sosial dan ekonomi nelayan tak boleh terganggu. Pemerintah, katanya, harus memastikan kehidupan nelayan jadi lebih layak.
“Kalau konservasi laut itu justru merampas hak masyarakat, artinya harus dievaluasi,” katanya.
Parid khawatir, dengan pembagian zona pemerintah dalam kawasan konservasi perairan mempersempit ruang gerak nelayan. Akibatnya, mereka melaut lebih jauh. Situasi jadi sulit di tengah krisis iklim. Kondisi laut tidak menentu dan makin susah diprediksi dari angin kencang dan gelombang tinggi.
Nelayan kecil, katanya, terutama pelaut tradisional tidak mampu menghadapi kondisi cuaca ekstrem seperti itu. Mereka libur melaut dan mencari pekerjaan lain ketika musim gelombang tinggi.
Selain itu, kata Parid, pembagian zona dalam kawasan konservasi justru tidak menjamin laut tetap terjaga. Pasalnya, UU Cipta Kerja jadi ancaman terbesar. Dalam aturan turunan, termasuk PP 27/2021 tentang penyelenggaraan bidang kelautan dan perikanan, menyebut kawasan-kawasan inti konservasi bisa jadi kawasan eksploitasi.
Parid beri contoh di Kalimantan Utara. Sebelumnya, pemerintah menetapkan 8.000 lebih hektar kawasan konservasi. Belakangan ciut jadi 2.000 hektar. Sisanya untuk pembangunan pelabuhan termasuk satelit Ibu Kota Nusantara (IKN).
Contoh lain di Labuan Bajo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Nelayan tidak bisa lagi menangkap ikan di kawasan inti taman nasional. Namun, pemerintah mengubah zona itu jadi wilayah industri pariwisata. Ada izin pembangunan hotel. Kapal pinisi bebas menurunkan jangkar di wilayah terumbu karang.
Kawasan konservasi perairan Indragiri Hilir memang beda dengan Labuan Bajo. Meski tidak akan menjadi kawasan pariwisata yang menarik seperti di wilayah timur Indonesia itu, nelayan tetap ada batasan menangkap ikan di situ.
“Artinya, ada peminggiran dan perampasan ruang laut. Itu ancaman lain dalam kehidupan nelayan. Di mana agenda pembangunan kita menghilangkan kemampuan adaptasi nelayan menghadapi krisis iklim.”
Senada Susan Herawati, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). Dia ragu dengan pola penetapan kawasan konservasi ala pemerintah karena cenderung sepihak. Idealnya, penetapan kawasan konservasi harus mengikuti kearifan lokal wilayah masing-masing.
Kalau kebijakan berangkat dari bawah, katanya, akan lebih menguatkan karena ada kesadaran tumbuh secara kolektif dari masyarakat dalam melindungi ruang hidup mereka.
Sebelum bicara keuntungan, penetapan kawasan konservasi sepihak pemerintah dia nilai jadi masalah baru buat nelayan. Mereka terusir dari area tangkap ikan bahkan tidak dapat melintas. Meski sumber daya ikan melimpah di sana, tetapi nelayan tidak dapat mengakses. Alhasil banyak nelayan alih profesi.
Susan meminta pemerintah menjalankan mandat UU 7/2016 tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan. Salah satunya, negara melindungi identitas nelayan agar tetap bisa melaut. Ketika musim paceklik, negara harus fasilitasi.
“Kami bukan anti konservasi. Banyak praktik baik dan nelayan keren di pesisir. Pemerintah harusnya merangkul orang-orang itu. Pemerintah tetapkan area konservasi, tapi harus siapkan skema peralihannya terlebih dahulu,” kata Susan.
*******
Nelayan Tak Mau Ada Tambang Pasir di Perairan Rupat
Sumber: Mongabay.co.id