- Bakal agung merupakan bentuk kearifan Suku Besemah berbagi ruang dengan satwa. Ini semacam koridor satwa yang menjadi bagian dari “Basemah libar”, sebuah lanskap budaya dan ruang hidup Suku Besemah.
- Masyarakat Suku Besemah disarankan untuk tidak membuka kebun atau pemukiman di sekitar bakal agung, karena menjadi perlintasan sejumlah spesies kucing besar dan kecil.
- Bakal agung berperan penting sebagai koridor satwa yang menghubungkan lanskap hutan Jambul Nanti Patah. Namun, kondisinya saat ini terputus dan tergerus oleh jalan, pemukiman, dan perkebunan.
- Dengan sejumlah spesies satwa dan tumbuhan penting secara ekologi dan budaya, lanskap hutan Jambul Nanti Patah menjadi salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi yang harus dilindungi di Sumatera Selatan.
Selama ratusan tahun, Suku Besemah di Sumatera Selatan telah merawat, mengelola, dan mengembangkan sebuah lanskap kehidupan dan budaya di sekitar lembah dan hutan. Letaknya, di antara perbukitan Gunung Dempo [3.195 m dpl] dan perbukitan Gunung Patah [2.650 m dpl].
Wilayah sebaran Suku Besemah ini disebut “Basemah libar”. Terdiri dari kawasan pemukiman, lahan pertanian, hutan larangan, hingga koridor satwa yang mereka sebut sebagai “bakal agung”.
“Ini merupakan bentuk kearifan nenek moyang kami, untuk berbagi ruang dengan satwa,” kata Boedi Majari, warga Desa Agung Lawangan, Kecamatan Pagar Alam, Sumatera Selatan, Selasa [17/9/2024].
Secara sederhana, jalur ini menghubungkan kawasan hutan di sekitar Gunung Dempo [Bukit Dingin] dengan kawasan hutan di Gunung Patah, Bukit Jambul Asahan, hingga Bukit Nanti. Begitu sebaliknya.
Juga, melintasi jalur air yang hulunya di Bukit Dingin [Gunung Dempo] dan Gunung Patah. Aliran air ini dimanfaatkan warga untuk mengairi persawahan mereka yang berada di kiri dan kanan sungai.
- Advertisement -
“Jalur perlintasan satwa sudah dikenal sejak dulu. Masyarakat dilarang membuka kebun dan pemukiman di sekitar area tersebut,” terangnya.
Ia meyakini, sejumlah kasus terkaman harimau atau konflik satwa lainnya, terjadi karena banyak masyarakat yang tidak memahami bakal agung.
Baca: Terancamnya Kearifan Suku Besemah Terhadap Alam
Basemah libar merupakan lanskap budaya dan ruang hidup Suku Besemah yang disebut bakal agung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Diceritakan Boedi, sekitar tiga tahun lalu [2021], ada seorang warga berkebun dan menambang batu di sekitar perlintasan bakal agung. Padahal, sudah diberitahu. Akhirnya, menjadi korban terkaman harimau sumatera.
“Korban meninggal di tempat. Sejak itu, tidak ada yang berani beraktivitas di sekitar lokasi.”
Selain harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae], bakal agung juga dilintasi berbagai spesies kucing kecil, seperti kucing emas [Catopuma temminckii], macan dahan [Neofelis diardii diardii], macan akar [Felis bengalensis], dan kucing batu [Pardofelis marmorata].
Dari semua jenis kucing tersebut, hanya kucing emas [Catopuma temminckii] yang jarang terlihat.
“Kalau sejenis kucing dahan, kucing belukar baik yang belangnya panjang maupun bulat, itu pernah dilihat masyarakat,” terangnya.
Baca: Foto: Menabur Biji, Tradisi Suku Besemah Menjaga Hutan
Kawasan hutan di punggung Bukit Dingin yang berdekatan dengan kebun warga, merupakan jalur perlintasan berbagai spesies kucing liar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Mengutip artikel resmi dari situs balaiksdasumsel.org terbitan 11 Maret 2023, satu individu kucing emas terekam kamera jebak di lanskap Jambul Nanti Patah, area Pulau Panas.
Lokasi ini sekitar tujuh kilometer dari Desa Agung Lawangan, tempat tinggal Boedi. Menurutnya, hutan di sekitar Pulau Panas juga masuk jalur bakal agung.
“Tapi hingga saat ini, belum ada informasi dari warga setempat yang melihat kucing emas,” kata Boedi, yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua HKm Kibuk, di kaki Gunung Dempo.
Sebagai informasi, di Indonesia tercatat sembilan spesies kucing liar yang semuanya dilindungi undang-undang. Selain macan tutul [Panthera pardus melas] dan kucing merah [Catopuma badia] yang terdapat di Pulau Jawa dan Kalimantan, selebihnya ada di Sumatera.
Yaitu, kucing hutan [Prionailurus bengalensis], kucing emas [Catopuma temminckii], kucing batu [Pardofelis marmorata], macan dahan [Neofelis diardii], kucing tandang [Prionailurus planiceps], serta harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae].
Khusus kucing bakau [Prionailurus viverrinus], awalnya sempat diyakini ada di Sumatera melalui laporan pemburu Mr. Pieters dan seorang naturalis H.C. Delsman pada tahun 1930-an. Namun, sejak tahun 2009, peneliti Jim Sanderson, Will Duckworth dan kolega serta Sunarto menjelaskan dalam tiga artikel berbeda, kucing ini tidak lagi ditemukan di Sumatera.
“Dengan enam jenis kucing yang pasti masih bertahan hidup hingga kini, Sumatera merupakan pulau terkaya dalam hal jenis kucing yang ada,” dikutip dari artikel Sunarto [2009].
Baca: Di Kaki Gunung Patah, Perempuan dan Laki-Laki Setara dalam Mengelola Alam
Heni Marlena, petani perempuan di sekitar hutan Bukit Dingin. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Koridor terputus dan habitat tergerus
Selain menjadi koridor kucing, bakal agung juga menjadi jalur perlintasan satwa lain, seperti siamang [Symphalangus syndactylus], beruk [Macaca nemestrina], simpai [Presbytis melalophos], owa ungko [Hylobates agilis agilis], hingga beruang madu [Helarctos malayanus].
“Hampir semua satwa melintasi jalur ini. Warga juga pernah melihat rusa sambar [Rusa unicolor], kijang [Muntiacus muntjak], hingga babi,” kata Boedi.
Menurut Rusi Suriadi, yang sering masuk hutan mencari berbagai tanaman obat dan madu, kondisi bakal agung saat ini banyak terputus oleh jalan raya, pemukiman, hingga perkebunan warga.
“Tapi, masyarakat yang tahu jalurnya, pasti hati-hati, sehingga tidak pernah ada kasus kucing tertabrak,” jelas warga Desa Agung Lawangan, Selasa [17/9/2024].
Baca: Pola Warna Kucing Emas yang Menarik Perhatian Peneliti
Lanskap perbukitan Gunung Patah terlihat dari sekitar kebun warga di Desa Agung Lawangan. Lanskap ini disebut Basemah libar yang menjadi ruang hidup Suku Besemah. Foto drone: Ariadi Damara/Mongabay Indonesia
Bakal agung berperan penting menghubungkan lanskap hutan Jambul Nanti Patah, yang merupakan habitat sejumlah satwa penting di Sumatera Selatan. Lanskap ini terletak di Kabupaten Lahat, Muara Enim, Ogan Komering Ulu, Ogan Komering Ulu Selatan, dan Pagar Alam, yang berbatasan dengan Bengkulu.
Saat ini, statusnya kawasan hutan lindung yang terdiri kelompok hutan Gunung Patah-Bukit Jambul Asahan-Bukit Nanti-Mekakau, bagian jalur Bukit Barisan Selatan.
Mengutip buku Susilowati dan lokega [2016], dari luas total 282.727 hektar, hanya tersisa 140.000 hektar hutan alam [baik primer dan sekunder] di lanskap Jambul Nanti Patah. Selebihnya, kondisi tutupan lahan lain seperti semak belukar, pertanian, dan pemukiman.
“Banyak kawasan hutan beralih fungsi menjadi lahan perkebunan, pemukiman, dan dibuka untuk jalan,” tulis para peneliti.
Baca: Kucing Emas, Satwa Misterius di Lebatnya Hutan Sumatera
Rumah warga yang ditinggalkan di sekitar jalur perlintasan satwa bakal agung di Desa Agung Lawangan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Menurut Rusi Suriadi, rusaknya habitat serta jalur bakal agung, dapat mengancam keamanan masyarakat setempat. Ia mengisahkan tahun lalu [2023], ada kasus beruang masuk ke perkampungan dan pondok kebun.
“Biasanya beruang hanya mengambil gula, atau sisa makanan manis yang ada. Syukurlah, tidak ada korban.”
Sementara di kebun, sejumlah satwa termasuk beruk, juga memakan tanaman kebun.
“Yang sering itu buah nangka. Gula di pondok kebun juga habis. Inilah tandanya kalau hutan tidak bagus lagi. Tapi tidak apa-apa, kami tidak takut dan tetap pergi ke kebun. Hitung-hitung juga berbagi dengan mereka,” kata Heni Marlena, petani perempuan dari Desa Agung Lawangan.
Baca juga: Kenapa Tidak Ada Kucing Hutan di Kawasan Wallacea?
Rusi Suriadi berada di sekitar hutan Bukit Dingin, Gunung Dempo. Wilayah ini menjadi salah satu kawasan hutan yang menjadi habitat kucing besar dan kecil. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Keragaman hayati tinggi
Berdasarkan penelitian Susilowati dan kolega [2016], kawasan hutan Jambul Nanti Patah memiliki keanekaragaman fauna tinggi dan sangat penting.
Adapun sejumlah satwa yang masih bisa ditemui adalah harimau sumatera, gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus], dan trenggiling [Manis javanica] yang tercatat sebagai jenis Kritis [Critically Endangered] menurut Red List IUCN.
Sementara kategori Endangered antara lain tapir [Tapirus indicus], ajag atau anjing hutan [Cuon alpinus], siamang [Symphalangus syndactylus], simpai [Presbytis melalophos], dan ungko sumatera [Hylobates agilis agilis].
Satwa kategori rentan [Vulnerable] dan dilindungi lainnya beruang madu dan rusa sambar.
Salah satu jalur perlintasan satwa bakal agung yang terputus oleh jalan raya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Para peneliti menyatakan, kawasan ini juga memiliki keanekaragaman hayati flora khas dataran tinggi basah Sumatera.
“Lebih dari 100 spesies tumbuhan mendiami ekosistem hutan tersebut yang masih alami.”
Beberapa vegetasi pada tingkat pohon merupakan jenis dilindungi. Seperti kelompok famili Dipterocarpaceae antara lain kuluman [Dipterocarpus grandiflorus], kelompok meranti-merantian [Shorea spp.], berbagai jenis medang [Litsea spp.], dan kayu manis [Cinnamomum spp.].
Jenis lainnya adalah puspa [Schima wallichii], berbagai jenis dari begonia [Begonia spp.], berbagai jenis dari kelompok rotan [Calamus spp.], dan bambu [Bambusa sp.].
“Lebih dari 25 jenis anggrek hutan dan anggrek tanah yang sangat beragam, beberapa jenis merupakan endemik seperti Paphiopedilum barbatum,” tulis para peneliti.
Kucing emas yang merupakan jenis dilindungi di Indonesia. Foto: Wikimedia Commons/Karen Stout/CC BY-SA 2.0
Referensi:
Sunarto. (2009). Misteri kucing bakau di Indonesia. Tropika Indonesia. https://www.researchgate.net/publication/261862250_Sunarto_2009_Misteri_kucing_bakau_di_Indonesia
Susilowati, O., Mahanani, A. I., Yustian, I., Setiawan, D., & Sumantri, H. (2016). Identifikasi dan pemetaan kantong-kantong habitat gajah dan harimau di Sumatera Selatan. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sriwijaya.
Perhutanan Sosial dan Utang Pemerintahan Jokowi pada Masyarakat Sekitar Hutan
Sumber: Mongabay.co.id