Selama satu dekade terakhir, pemerintahan Presiden Joko Widodo menggenjot pembangunan ekonomi melalui Proyek Strategis Nasional. Hingga akhir masa jabatannya ada 218 proyek dan 15 program yang sudah berjalan meski belum semuanya rampung. Namun, pencapaian tersebut meninggalkan jejak-jejak konflik, merampas ruang hidup warga dan kerusakan lingkungan.
Pembangunan infrastruktur menjadi pilar utama dalam upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi. Mulai dari pembangunan jalan tol, pelabuhan, waduk, proyek transisi energi, hingga kawasan industri. Pemerintah pun menciptakan beberapa regulasi yang turut memberikan karpet merah dalam pelaksanaannya. Seperti, Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang Pengadaan Tanah, Undang-Undang Mineral dan Batubara, Inpres Nomor 1/2016 dan Perpres 78/2023. Sayangnya, regulasi hukum ini semakin menegasikan dampak sosial, lingkungan dan ekonomi saat pembangunan terjadi.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ada 2.939 letusan konflik agraria yang meletus di era Jokowi. Dewi Kartika, Sekjen KPA, menyebutkan bahwa PSN menduduki peringkat satu dalam daftar konflik agraria yang tercatat. Berikut adalah cerita-cerita di balik ingar-bingar pembangunan PSN.
1. Ibu Kota Nusantara (IKN) caplok tanah adat
Terlihat pembangunan kompleks Kepresidenan di Ibu Kota Nusantara. Foto: Abdul Jalil/ Mongabay Indonesia
Megaproyek IKN telah mencaplok tanah adat milik masyarakat Suku Balik dan Paser. Bulan Juni silam, mereka terpaksa angkat kaki dari rumah mereka yang berada di rancangan IKN. Mereka terusir sampai ke Kabupaten Paser yang berjarak 130 km dari IKN.
Selama prosesnya, warga tak pernah dilibatkan dan beri waktu yang cukup. Kompensasi yang diberikan pun tak sebanding untuk mengganti ruang hidup mereka sebelumnya. Alay, misalnya, salah seorang warga Balik dan Paser. Dia membangun rumah seluas 8×8 meter dengan biaya Rp 470 juta. Sedangkan, kompensasinya hanya Rp 240 juta.
Tak hanya terusir dari rumah sendiri, warga Suku Balik di Kampung Pemaluan juga kehilangan lahan perkebunan yang menjadi jantung kehidupan mereka. Kebun karet dan sayur mayur telah hilang untuk pembangunan jalan tol IKN. Nahasnya, warga tidak akan mendapat ganti rugi berupa uang karena lahan yang mereka miliki masuk dalam delineasi IKN.
- Advertisement -
2. Geothermal Poco Leok mengancam warga dan lingkungan
Aksi warga Poco Leok, Kecamatan Satar Mese menolak pembangunan proyek geothermal saat kehadiran Bupati Manggarai,Provinsi Nusa Tenggara Timur. Foto : John Manasye
Melalui SK Menteri ESDM No.2268 K/MEM/2017, pemerintah menobatkan Flores sebagai Pulau Panas Bumi. PT Pembangkit Listrik Negara (PLN) pun memperluas Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) Ulumbu, Kabupaten Manggarai, Flores, NTT. Mereka berambisi meningkatkan kapasitas listrik dari 7,5 MW hingga menjadi 40 MW.
Lokasi pengembangannya berada di Poco Leok yang mencakup Desa Lungar, Mocok, dan Golo Muntas di Kecamatan Satar Mese. Padahal secara geografis, Poco Leok tidaklah ideal untuk pengeboran tanah demi memperoleh panas bumi.
Bukit-bukit curam membentengi area Poco Leok. Ini membuat area itu rentan mengalami tanah longsor dan banjir jika pembangunan dilakukan. Demi melindungi tanah adat mereka, warga Poco Leok berjuang melawan proyek geothermal yang mengancam keberlangsungan hidup.
Dalam upaya mempercepat pengeboran dalam persiapan pengadaan lahan, PLN bersama dengan aparat kepolisian, TNI, dan satpol PP menghadang warga pada awal Oktober lalu. Aparat keamanan yang datang mengganjar perlawanan warga Poco Leok dengan kekerasan. Konflik terjadi, tiga warga dan seorang jurnalis ditangkap.
3. Warga Wadas melawan Bendungan Bener
Unjuk rasa Aliansi Solidaritas Peduli Wadas, long march dari Janti ke Kantor BBWSSO di Yogyakarta, Senin, 26 April 2021. Foto: Mongabay Indonesia
Bendungan Bener menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mendapatkan kucuran dana sebesar 3 Triliun. Bendungan ini kelak akan memasok air untuk kebutuhan bandara Yogyakarta International Airport dan wilayah sekitarnya.
Sayangnya, pasokan dalam pembangunan bendungan perlu menambang batu andesit yang berada di perbukitan Desa Wadas yang menjadi lahan pertanian warga. Mayoritas petani Desa Wadas menggantungkan hidupnya pada lahan tersebut. Ancaman hilangnya lahan pertanian itu menyulut perlawanan para petani Wadas.
Di tahun 2021, konflik memanas hingga ada 11 warga ditangkap dan 9 warga luka-luka akibat bentrok aparat dengan warga. Konflik terjadi karena warga menolak pemasangan patok yang akan mengenai lahan pertanian mereka.
Warga juga mengajukan gugatan terhadap Gubernur Jawa Tengah atas izin penetapan lokasi penambangan batu andesit. Sayangnya, PTUN Semarang menolak mentah-mentah gugatan warga. Perjuangan mereka tak surut begitu saja. Mereka mencoba mengajukan memori kasasi ke MA lewat PTUN Semarang.
Sejak 2023, aktivitas penambangan batu andesit tetap digencarkan. Jalan-jalan menuju tambang dibuka. Masyarakat pun terkena dampak bencana. Banjir datang, material tanah dan lumpur amblas turut terseret hingga mencapai area pemukiman.
4. Rempang Eco-City
Spanduk penolakan relokasi dibentangkan nelayan Pulau Rempang, dalam aksi tolak relokasi di pesisir Pulau Rempang, Batam, Senin, 20 Mei 2024. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia
Selain Bendungan Bener, PSN Rempang Eco-City juga memaksa masyarakat adat Melayu angkat kaki dari Pulau Rempang. Padahal, tanah di Pulau Rempang itu mereka warisi dari leluhur mereka. Pada 7 September tahun 2023, ratusan TNI, Polri, BP Batam, dan Satpol PP menyerbu masuk ke perkampungan warga Rempang untuk pematokan lahan. Warga hanya diberi waktu sampai 23 September untuk mengosongkan Kampung Sembulang yang menjadi lokasi tahap pertama pembangunan.
Demi memperoleh investasi 107 triliun dari China Xinyi Group, pemerintah menetapkan Rempang Eco-City sebagai PSN. Tentu ini berpotensi merusak laut di sekitar Pulau Rempang. Pengerukan pasir dan reklamasi berimbas pada rusaknya terumbu karang yang berperan penting bagi sumber mata pencaharian para nelayan Rempang. Tak hanya itu, rencana pembangunan pabrik kaca China Xinyi Group dan perkotaan baru di Rempang dapat memicu terjadinya abrasi dan intrusi air laut.
5. Proyek hilirisasi nikel di pulau-pulau kecil
Laut yang hancur karena tambang nikel di Sulawesi Tenggara. Kerusakan ekosistem lingkungan, seperti yang terjadi di Sultra ini, tak pernah jadi perhitungan pemerintah kala memberikan izin-izin tambang. Rencana berikan izin tambang ke ormas keagamaan, tak akan mengubah muka buruk tambang yang merusak ini, bahkan, risiko bisa lebih parah lagi. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia
Warga Sagea, Weda Utara, Halmahera Tengah, Maluku Utara berupaya menjaga alam dan lingkungan mereka tak rusak karena aktivitas masif tambang nikel. Kampung ini menjadi benteng perlawanan warga dari ekspansi pertambangan di hulu (hutan). Protes makin menguat setelah operasi tambang mencemari Sungai Sagea—yang terhubung dengan Gua Bokimaruru beberapa tahun terakhir.
Pembongkaran hutan besar-besaran untuk pertambangan dan hilirisasi nikel juga menyebabkan hilangnya daerah aliran sungai, hilangnya hutan dan lahan pertanian lenyap karena dikuasai industri nikel. Laporan Climate Rights Internasional juga menyebutkan bahwa PT Indonesia Nikel Weda Bay Industrial Park (IWIP) telah menyebabkan deforestasi, pelanggaran HAM dan pencemaran lingkungan.
Tak hanya itu, pencemaran juga menyebabkan nelayan tradisional tak lagi mendapatkan limpahan ikan saat ini. Bahkan, rumah warga di wilayah kawasan industri nikel sudah merasakan dampaknya. Misalnya saja desa di Halmahera Tengah dan Timur terisolasi karena terjadi banjir bandang.
6. Surabaya Waterfront Land ancam ruang hidup ribuan nelayan
Protes proyek reklamasi laut Surabaya, Jumat ini. Foto: Forum Masyarakat Madani Maritim dan Warga Kota Surabaya.
Ribuan nelayan di pesisir timur Surabaya terancam kehilangan ruang hidupnya karena rencana pembangunan PSN Surabaya Waterfront Land. Proyek bernilai 72 triliun itu direncanakan akan membangun empat pulau reklamasi di pesisir timur Surabaya. Sayangnya, proyek tersebut akan dibangun di zona tangkapan ikan (fishing ground) milik nelayan. Mereka terancam kehilangan area tangkapan ikan yang menjadi jantung penghasilan bagi mereka.
Namun, seperti halnya PSN-PSN lain yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia, proyek Surabaya Waterfront Land tak lepas dari pembiayaan investor swasta. Dalam pembangunan Surabaya Waterfront Land, PT. Granting Jaya berperan sebagai operator. Mereka hendak mereklamasi area seluas 1.085 hektar. Rencananya, akan dibangun empat blok yang meliputi kawasan rekreasi seperti perhotelan dan pusat hiburan, perikanan modern, institusi pendidikan, dan wilayah perkantoran.
Desain semacam itu dikhawatirkan akan makin meningkatkan angka kesenjangan sosial karena diperuntukkan bagi kalangan-kalangan tertentu. Selain itu, Wahyu Eka Styawan, Direktur Walhi Jawa Timur, turut mencemaskan kian maraknya penambangan ilegal yang akan dilakukan untuk memenuhi material pembangunan proyek.
7. Rel kereta api potong lahan tani warga Rammang-rammang
Pembangunan Rel Kereta Api di Dusun Rammang-rammang, Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Maros. Foto: Mongabay Indonesia
Rel kereta api Sulawesi Selatan direncanakan akan membelah Dusun Rammang-rammang, Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Maros menjadi dua. Kelak, ketika sudah dibangun, rel akan melindas lahan persawahan dan empang milik warga Rammang-rammang. Menurut Jumardi, Kepala Teknik Perkeretaapian Wilayah Jawa Bagian Timur, pembangunan rel kereta yang akan membentang dari Makassar menuju Parepare ini memakan biaya sebesar 6 triliun.
Sejak tahun 2019, pembangunan rel kereta sudah dimulai. Gundukan tanah merah mulai membukit di tengah persawahan warga. Pemandangan itu membuat para warga gundah. Bertani adalah pekerjaan utama mereka sehari-hari. Warga Rammang-rammang takut tak bisa lagi memperoleh nafkah jika sawah yang menjadi sumber penghasilan dirampas dari tangan mereka. Hingga tahu 2024, ada 20 warga yang menolak pembangunan rel kereta. Dengan tegas, mereka menolak biaya ganti rugi yang ditawarkan pemerintah. Berbekal sertifikat hak milik, mereka tak sudi melepaskan sawah mereka untuk dijadikan tempat melintasnya rel kereta.
8. Proyek Bendungan Lambo rampas tanah adat
Para perempuan dari komunitas adat sedang menggelar aksi di depan pintu masuk lokasi pembangunan Waduk Lambo di Lowose, Desa Rendubutowe, Kabupaten Nagekeo, NTT. Foto : AMAN Nusa Bunga
PSN Bendungan Lambo membutuhkan lahan seluas 862,479 hektar. Desa Rendubutowe, Labolewa, dan Ulupulu di Kabupaten Nagakeo, NTT terancam dicaplok oleh bendungan yang merupakan PSN itu. Padahal, tanah yang ditinggali masyarakat adat Nagakeo telah ditinggali dan dikelola sebagai sumber kehidupan mereka secara turun temurun. Bukan cuma perkebunan dan rumah, bendungan bernilai 1,4 triliun itu juga hendak merebut tanah yang dijadikan Suku Redu sebagai tempat ritual adat.
Dalam prosesnya, PSN Bendungan Lambo menyulut terjadinya konflik yang memberatkan kehidupan masyarakat. Di Desa Ulupulu, ada 172 bidang tanah yang terdampak pembangunan. Faktanya, pemerintah tak kunjung membayarkan ganti rugi kepada warga. Hal ini tentunya menyulut penolakan dari warga. Mereka enggan merelakan tanah warisan leluhur mereka kepada negara. Kendati demikian, pemerintah tetap bersikukuh menyelesaikan Bendungan Lambo pada tahun 2025. (***)
Masyarakat Adat dan Keanekaragaman Hayati Terancam Kalau Megaproyek PLTA Kayan Jalan
*Sidney Alvionita Saputra adalah jurnalis yang saat ini menempuh pendidikan S1 Teknik Infrastruktur Lingkungan di Universitas Gadjah Mada. Ia menulis tentang isu-isu lingkungan dan perempuan, fokusnya pada dampak lingkungan dan keadilan gender.
Sumber: Mongabay.co.id