- Masyarakat di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, tak ingin kampung hilang berganti bendungan. Mereka menolak, tetapi tak mempunya daya menahan rencana kuat pemerintah membangun bendungan berstatus proyek strategis nasional ini. Pada tulisan bagian pertama menceritakan kondisi warga terdampak dan kekhawatiran karena kampung mereka akan jadi Bendungan Lambo.
- Pembangunan tetap jalan walau belum ada penyelesaian berbagai persoalan, seperti masalah lahan maupun tak ada kejelasan lokasi bagi warga kalau nanti Bendungan Lambo beroperasi.
- Tanah-tanah adat pemerintah ukur ketika warga belum menerima. Tak pelak,banyak hal tertinggal alias tak terhitung dalam ‘ganti rugi’ yang pemerintah kalkulasi.
- Eko Cahyono, sosiolog juga peneliti Sajogyo Institut (SAINS) mengatakan, argumen-argumen yang dibangun dari PSN adalah masalah pencitraan politik dan makro ekonomi. Hasil dari pembangunan infrastruktur ini memang langsung terlihat di depan mata, tetapi paradigma cenderung mengabaikan hak asasi manusia (HAM), kemanusiaan, lokalitas dan lain-lain.
Masyarakat di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, tak ingin kampung hilang berganti bendungan. Mereka menolak, tetapi tak mempunya daya menahan rencana kuat pemerintah membangun bendungan berstatus proyek strategis nasional ini. Pembangunan tetap jalan walau belum ada penyelesaian atas berbagai persoalan, seperti masalah lahan maupun tak ada kejelasan lokasi bagi warga kalau nanti Bendungan Lambo beroperasi.
- Advertisement -
Yeremias Lele, Kepala Desa Rendubutowe, mengatakan, proyek Bendungan Lambo ini tak jelas, antara lain, terkait pihak yang bertanggung jawab terhadap relokasi maupun belum ada penyelesaian masalah atas 22 bidang tanah. Lebik baik, katanya, pemerintah menyetop pembangunan bendungan ini.
“Kalau saat sosialisasi sering disampaikan, nanti direlokasi bagi yang terkena dampak… dimana itu, tidak disebut,” katanya.
Saat penentuan nilai tanah, pemerintah tak melibatkan Yeremias. Banyak warga mengadu menyampaikan hal yang tidak terakomodir dalam penghitungan ganti rugi. Semisal, pohon-pohon, tanaman pangan, rumah, atau kuburan dengan nilai tidak sedikit.
Pemerintah, katanya, hanya menghitung dan mengganti rugi berdasarkan luas tanah.
Yohanis Fredrik Malelak, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Nagekeo, mengatakan, tugas BPN Nagekeo mengidentifikasi dan inventarisasi tanah sesuai penetapan lokasi (penlok) sebelumnya oleh pemerintah pusat.
Identifikasi dan inventarisasi itu, berdasarkan pelimpahan kuasa dari BPN Nusa Tenggara Timur. Yohanis bilang, hanya menjalankan tugas sesuai perintah, tak punya wewenang lebih dalam proyek pembangunan Bendungan Mbay ini.
Sedangkan penetapan nilau jual objek pajak (NJOP) tanah oleh pihak ketiga.
BPN Nagekeo, punya waktu satu bulan untuk identifikasi dan inventarisasi lahan-lahan yang masuk dalam penlok. Setelah pengumuman identifikasi dan inventarisasi, nama-nama pemilik tanah terdampak sekaligus luasan, ada waktu 14 hari bagi warga menyangah apabila ada kesalahan pendataan.
Yohanis bilang, saat proses pengukuran lahan tidak berjalan lancar karena ada penolakan hingga melakukan pengukuran sembunyi-sembunyi.
“Kuburan tidak bisa diukur karena demo di sana sini, tidak ada ruang untuk itu,” kata Yohanis. Agustus lalu.
Alasan itu juga, katanya, yang melatari banyak tumbuhan, tanaman, rumah, dan kuburan tak terhitung saat pemberian ganti rugi.
BPN perlu data detail terkait luas bangunan atau jumlah pohon di lahan-lahan itu, namun tidak bisa mendata dengan baik.
Seiring waktu terus berjalan sampai batas penyanggahan, ketika warga mau mengklaim sudah tidak bisa karena waktu sudah lewat. “Kalau yang merasa keberatan itu bisa tempuh jalur hukum,” kata Yohanis.
Dia bilang, harus punya dasar hukum untuk melakukan perubahan. Kalau warga menempuh jalur hukum, lalu menang, maka hasil putusan pengadilan itu akan BPN jadikan dasar untuk perubahan identifikasi lahan untuk nilai NJOP-nya.
Tanah dan air, ruang hidup bagi masyarakat yang tak ternilai. Foto: Moh Tamimi/Mongabay Indonesia
Ranny Un, anggota Sekretariat BPN Nagekeo, mengatakan, seharusnya ketika pergi ke lapangan untuk pengukuran, warga sudah menerima atau setuju atas proyek itu. Jadi, mereka tinggal identifikasi dan inventarisasi untuk serahkan kepada appraisal.
”Apabila mereka tetap tidak menerima, ada mekanismenya, ada konsinyasi,” katanya Agustus lalu.
Dia bilang, penitipan uang ke pengadilan itu tidak oleh BPN tetapi Balai Wilayah Sungai (BWS). BPN tidak memegang uang sama sekali, mereka hanya tahu nominal uang ganti rugi itu di atas kertas. Tugas mereka dalam membuat berita acara tentang penitipan uang itu.
Menurut Ranny, proses identifikasi dan inventarisasi ini sebagai bentuk pengakuan negara terhadap hak milik warga terhadap lahan-lahan terdampak Bendungan Lambo itu, kendati masyarakat tak setuju, bukan sebagai bentuk perampasan negara.
“Hingga kalau malah kami tidak data, maka menghilangkan itu, kami menganggap tidak ada. Kami tidak menyebut ia sebagai pemilik yang berhak. Di kami itu namanya kami sebut pemilik yang berhak,” kata Ranny.
Bendungan Lambo akan dibangun setinggi 48 meter dengan volume tampungan 51,73 juta m3, luas genangan 499,55 hektar. Prediksi mampu mengairi 4.289 hektar lahan dengan potensi pengembangan seluas 1.951 hektar lahan. Total area layanan irigasi 6.240 hektar lahan pertanian dengan produktivitas 6 ton padi-palawija per hektar.
Selain itu, katanya, Bendungan Lambo akan berfungsi sebagai pengendali banjir dengan kemampuan 283,33 m3 per detik sekaligus penyediaan air baku 205 liter per detik.
Sejatinya proyek ini selesai 2024, namun ada perpanjangan selama satu tahun, karena penolakan warga.
“Kemarin kita kurang lebih hampir setahun itu kita tidak bisa kerja karena masih menyelesaikan masalah-masalah sosial,” kata Yohanes Pabi, Pejabat Pembuat Komitmen Bendungan Satuan Kerja Non Vertikal, Balai Wilayah Sungai (BWS) Nusa Tenggara II, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Proyek Bendungan Lambo ini terbesar di Nusa Tenggara Timur. Yohanes yakin tak akan bernasib sama dengan Bendungan Rotiklot, dengan wilayah terlayani tidak sesuai rencana karena ketersediaan pasokan air.
Yohanes bilang, Bendungan Lambo ini punya baseflow (bagian aliran sungai dari air bawah permukaan tanah) hingga ada inflow (debit air masuk) terus yang membuat bendungan tak akan kering.
“Kalau di sini dia punya baseflow, pak. Punya baseflow di kondisi terkering itu 0,45 meter kubik per detik, berarti setara 405 liter per detik.”
Lukas Mere, Sekretaris Daerah Nagekeo, menyebut, warga akan menerima bendungan ini kalau paham akan maksud pemerintah. “Kita tahu dan kita sepakat bersama, bahwa air itu kehidupan. Loh, air kita tolak. Itu lucu,” katanya.
Warga yang menolak pembangunan Bendungan Lambo dan membuat kegaduhan merupakan kelompok yang mempunyai kepentingan tertentu di dalam masyarakat.
Pemerintah, katanya, akan bijak menyikapi, terpenting semua komunikasi dengan baik, duduk bersama-sama dengan warga.
Sejauh ini, pemerintah belum pernah relokasi warga terdampak pembangunan bendungan, kendati pembangunan sudah jalan sejak 2021.
“Kita identifikasi korban yang sesungguhnya itu siapa. Yang ganti untung saja masih abstrak. Ada yang terima, ada yang tidak terima, ada yang titip di pengadilan,” kata Lukas.
Meskipun demikian, dia tidak menyangkal warga terdampak pembangunan bendungan merupakan masyarakat adat dengan segala bentuk kebudayaan dan kearifan lokal mereka.
Namun, katanya, sumber daya alam yang ada harus dimanfaatkan dengan baik, jangan sampai lahan tidak bertuan tak ditanami apapun.
Dia pun mengaku sebagai bagian dari masyarakat adat tetapi akan mempertimbangkan setiap dampak positif dan negatif dari setiap pembangunan, dan tidak akan mempermasalahkan pembangunan yang berdampak positif.
Warga yang harus meninggalkan rumah dan kehilangan tanah, katanya, bukan bentuk pengusiran pemerintah terhadap warga dari tanah melainkan bentuk penataan.
Dengan ringan dia mengusulkan, transmigrasi sebagai jalan keluar bagi warga yang kehilangan tanah, rumah, dan ruang hidupnya. “Menata mereka secara baik dan lebih beradab,” kata Lukas.
Lokasi pembangunan Bendungan Lambo. Foto: Moh Tamimi/Mongabay Indonesia
Melya Findi Astuti, Communication Officer Yayasan Kemitraan mengatakan, masyarakat adat bergantung hidup kepada alam. Mereka punya pengetahuan adat, punya nilai-nilai budaya adat, dan punya hukum adat.
“Itu semua saling berkaitan dengan ruang hidup mereka. Ketika itu diambil, apakah mereka nanti bisa disebut sebagai masyarakat adat lagi?” kata Melya, Agustus lalu.
Dalam melakukan pembangunan, kata Melya, pemerintah seharusnya dengan pendekatan yang memperhatikan berbagai aspek di masyarakat adat, termasuk sosial-budaya, tak sekadar ganti rugi.
Meskipun tujuan pembangunan baik, tetapi kalau pendekatan salah akan mendatangkan masalah.
Kemitraan berkolaborasi dengan Perempuan AMAN melakukan pendampingan terhadap warga terdampak Bendungan Lambo dengan memberikan pelatihan terhadap warga dan pendataan aset-aset warga yang hilang atau akan hilang karena pengambilalihan lahan.
“Kita coba tawarkan mereka bisa benar-benar mendapat kompensasi sesuai apa yang sebelumnya mereka punya,” kata Rakhmat Nur Hakim, Communication Manager Kemitraan.
Eko Cahyono, sosiolog juga peneliti Sajogyo Institut (SAINS) mengatakan, argumen-argumen yang dibangun dari PSN adalah masalah pencitraan politik dan makro ekonomi. Hasil dari pembangunan infrastruktur ini memang langsung terlihat di depan mata, tetapi paradigma cenderung mengabaikan hak asasi manusia (HAM), kemanusiaan, lokalitas dan lain-lain.
Menurut dia, pembangunan infrastruktur ini cenderung melihat hubungan antara manusia dengan tanah semata hubungan ekonomi (komoditi). “Padahal hubungan mereka itu bersifat kompleks dan berlapis,” kata Eko.
Hubungan manusia dengan tanah begitu erat, apalagi dalam masyarakat adat. Eko bilang, hutan dan tanah adalah sakral bagi masyarakat adat, sumber mata pencaharian mereka sekaligus identitas mereka.
Karena tanah, alam, adalah bagian dari identitas masyarakat adat, maka tidak bisa tergantikan di tempat lain, semisal membangun kampung adat baru. Masyarakat adat, katanya, tidak punya hubungan historis dengan tanah di tanah baru itu, tidak lagi jadi masyarakat adat dengan segala kearifannya.
Begitu juga dalam masyarakat Nagekeo, Eko bilang, tanah memiliki arti lebih dari sekadar uang.
Bila tanah masyarakat adat hilang, sistem adat, budaya, pengetahuan, bahkan peradaban juga hilang. Leluhur mereka adalah kebanggaan mereka.
“Pembangunan-pembangunan PSN itu basis argumennya adalah nalar elit. Karena disusun oleh nalar elit dan dilakukan di belakang meja, maka selalu kena gejala yang namanya sociology of Ignorance (sosiologi pengabaian),” kata Eko.
Kalau dari sisi politik, kata Eko, menjadi politik pengabaian (politic of ignorance).
Pemerintah, katanya, sudah tahu dampak pembangunan yang akan masyarakat adat alami, bahwa mereka akan kehilangan tanah, tetapi mengabaikan itu semua.
Kondisi ini, katanya, menunjukkan pembangunan bukan semata-mata untuk kebutuhan masyarakat. Eko bilang, perlu ada perubahan paradigma pembangunan di negeri ini.
Pemerintah tak mengakui apalagi melindungi pengetahuan masyarakat adat. Padahal, pengetahuan dan kearifan lokal semacam itu merupakan solusi atas krisis global.
“Orang-orang luar negeri mencari solusinya ke timur mencari [kearifan lokal] kayak begitu. Kita justru menghancurkan sumber-sumber pengetahuan itu,” kata kandidat doktor sosiologi di pedesaan IPB University itu. (Selesai)
Entah di mana anak-anak adat di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur ini akan tinggal ketika Bendungan Lambo, beroperasi. Foto: Moh Tamimi/Mongabay Indonesia
********
Nasib Masyarakat Adat Terdampak Proyek Bendungan Lambo [1]
Sumber: Mongabay.co.id