- Lolongan serigala bukanlah respons terhadap bulan purnama, melainkan bentuk komunikasi sosial yang kompleks. Serigala melolong untuk berbagai alasan, seperti menyatukan kawanan, menandai wilayah, berburu bersama, dan menunjukkan kasih sayang.
- Mitos serigala yang melolong ke arah bulan purnama diperkuat oleh penggambaran dalam budaya populer, seperti film horor dan legenda manusia serigala. Meskipun serigala sering melolong di malam hari, hal ini lebih berkaitan dengan kebiasaan mereka yang aktif di malam hari dan kondisi lingkungan yang mendukung.
- Pandangan terhadap serigala telah berubah sepanjang sejarah, dari makhluk yang ditakuti dan diburu hingga hewan liar yang dihormati dan dilindungi. Penelitian ilmiah dan upaya konservasi membantu masyarakat memahami serigala dengan lebih baik dan menghargai peran penting mereka dalam ekosistem.
Serigala melolong di bawah cahaya bulan purnama adalah gambaran klasik yang sering muncul di film-film horor. Adegan ini efektif dalam membangun suasana mencekam dan menimbulkan asosiasi antara serigala dengan hal-hal mistis. Lolongan serigala yang panjang dan menyeramkan, dipadukan dengan visual bulan purnama yang besar dan terang, telah menjadi ikon kultural yang sulit dilepaskan dari persepsi kita tentang hewan ini. Namun, seberapa akuratkah gambaran ini dengan kenyataan? Apakah serigala benar-benar tertarik pada bulan purnama dan melolong karena pengaruhnya?
Asal Usul Mitos Serigala dan Bulan
Sejak zaman kuno, serigala dan bulan telah digambarkan bersama dalam berbagai mitologi. Bukan hanya dalam mitologi Yunani dan Romawi yang mengaitkan dewi bulan seperti Hecate dan Diana dengan anjing dan serigala, tetapi juga dalam mitologi Mesir, di mana Anubis, dewa kematian, berkepala serigala. Di Jepang, serigala justru dianggap sebagai makhluk pelindung dan pembawa keberuntungan. Mitos di negeri-negeri Nordik menceritakan dua serigala, Sköll dan Hati, yang tak henti-hentinya mengejar matahari dan bulan, menciptakan siklus siang dan malam. Kepercayaan masyarakat asli Amerika, seperti suku Seneca, bahkan menganggap serigala yang ‘menyanyikan’ bulan ke dalam eksistensi. Dari sinilah asal muasal hubungan kuat antara serigala dan bulan mulai berkembang.
Lukisan “The Wolves Pursuing Sol dan Mani” oleh J.C. Dollman (1909) | Public Domain
Menariknya, hubungan antara serigala dan bulan ini tidak hanya terbatas pada mitos dan legenda. Pada abad pertengahan di Eropa, serigala sering dijadikan simbol dalam lambang kebangsawanan. Bayangkan bendera dan perisai para ksatria yang dihiasi dengan gambar serigala yang gagah berani, menunjukkan kekuatan, keberanian, dan loyalitas. Keluarga bangsawan seperti de Lou dari Perancis dan Wolf dari Jerman bahkan menggunakan serigala sebagai bagian dari lambang keluarga mereka. Hal ini menunjukkan betapa hewan ini dihormati dan dikagumi pada masa itu, merepresentasikan sifat-sifat yang dianggap ideal bagi seorang bangsawan.
Namun, di balik citra positif ini, terdapat juga sisi gelap dalam persepsi manusia terhadap serigala. Pada masa itu, takhayul dan ketakutan terhadap serigala juga mewabah. Serigala sering dikaitkan dengan kegelapan, kematian, dan bahkan iblis. Kisah-kisah tentang manusia serigala yang buas dan menyeramkan semakin memperkukuh citra negatif ini. Akibatnya, di seluruh Eropa dilakukan perburuan serigala besar-besaran. Para pemburu dipersenjatai dengan tombak, pedang, dan jebakan, bahkan menggunakan anjing pelacak yang terlatih khusus untuk memburu serigala. Di Inggris, Raja Henry III bahkan menawarkan hadiah bagi siapa pun yang berhasil membunuh serigala. Di Prancis, kelompok pemburu serigala yang dikenal sebagai ‘louveterie‘ dibentuk dan diberi wewenang oleh raja untuk membasmi serigala.
Perburuan serigala di Inggris tempo dulu | Oleh Edwin Landseer CC0
Perburuan ini tidak pandang bulu, menargetkan serigala dewasa maupun anak-anaknya. Bangkai serigala sering dipertontonkan di depan umum sebagai tanda kemenangan dan peringatan bagi serigala lainnya. Praktik kejam ini berlangsung selama berabad-abad, dari masa kekaisaran Romawi hingga abad ke-19, dan hampir menyebabkan kepunahan serigala di Inggris, Irlandia, dan beberapa bagian Eropa lainnya. Di Jerman, serigala terakhir di Bavaria dibunuh pada tahun 1867.
- Advertisement -
Namun, di luar cerita dan kepercayaan, apakah ada dasar ilmiah yang menunjukkan bahwa serigala memang melolong lebih sering saat bulan purnama?
Alasan Mengapa Serigala Melolong
Meskipun lolongan serigala sering terdengar memecah keheningan malam, penelitian ilmiah menunjukkan bahwa frekuensi dan intensitas lolongan ini tidak berhubungan dengan fase bulan. Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan oleh Smithsonian Magazine pada tahun 2009, ahli biologi Dr. Roland Kays menjelaskan bahwa tidak ada korelasi antara perilaku serigala dan siklus bulan. Pendapat ini juga didukung oleh para ahli di Wolf Sanctuary of Pennsylvania , sebuah organisasi konservasi serigala di Pennsylvania, Amerika Serikat. Melalui observasi jangka panjang yang dilakukan sejak tahun 1970-an, mereka menemukan bahwa serigala melolong dengan frekuensi yang sama baik saat bulan purnama maupun saat bulan baru. Para ahli ini menjelaskan bahwa lolongan serigala bukanlah respons terhadap bulan, melainkan merupakan bentuk komunikasi yang sangat penting dalam kehidupan sosial mereka.
Baca juga: Jangan Keliru, Wujud Anjing Ajag Sekilas Mirip Serigala
Berikut adalah beberapa alasan utama mengapa serigala melolong:
- Panggilan sosial: Lolongan digunakan untuk menyatukan anggota kelompok yang tersebar. Saat serigala terpisah dari kawanan mereka, lolongan bisa membantu mereka menemukan satu sama lain.
- Menandai wilayah: Serigala menggunakan lolongan untuk memperingatkan kawanan lain agar menjauhi wilayah mereka. Ini adalah cara yang efektif untuk mempertahankan area berburu dan melindungi kawanan dari ancaman luar.
- Berburu bersama: Saat menemukan mangsa besar, serigala mungkin melolong untuk memanggil anggota lain guna membantu perburuan. Lolongan mereka dapat terdengar sejauh 10 mil di dataran terbuka, memastikan bahwa sinyal mereka diterima oleh kawanan lain.
- Ikatan Kawanan: Penelitian juga menunjukkan bahwa serigala melolong lebih sering kepada anggota kawanan yang mereka cintai atau memiliki ikatan kuat.
Apakah Bulan Berperan dalam Lolongan Serigala?
Serigala adalah hewan crepuscular, yang berarti mereka paling aktif saat fajar dan senja, bukan di tengah malam saat bulan bersinar paling terang. Sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Behavioral Processes pada tahun 2003 mengamati aktivitas serigala liar di Taman Nasional Yellowstone dan menemukan bahwa puncak aktivitas vokal mereka terjadi saat matahari terbit dan terbenam. Hal ini didukung oleh data dari Wolf Park di Indiana, Amerika Serikat, yang menunjukkan bahwa serigala cenderung melolong lebih sering di pagi hari untuk mengkoordinasikan aktivitas berburu dan di sore hari untuk mempertahankan wilayah.
Alasan mengapa kita sering mendengar serigala melolong di malam hari, terutama saat bulan purnama, lebih berkaitan dengan faktor lingkungan. Pada malam yang terang oleh cahaya bulan, serigala memiliki visibilitas yang lebih baik untuk berburu dan berpatroli di wilayah mereka. Selain itu, suhu udara yang lebih dingin di malam hari membuat suara merambat lebih jauh, sehingga lolongan serigala dapat terdengar hingga jarak 10 kilometer di dataran terbuka.
Baca juga: Hilangnya Predator Puncak: Pengaruh Manusia Yang Termudah Menyebar Pada Alam
Kebiasaan serigala mengarahkan moncongnya ke atas saat melolong juga ikut memperkuat mitos ini. Posisi ini memungkinkan suara mereka mencapai jarak yang lebih jauh karena gelombang suara terproyeksi ke atas dan tidak terhalang oleh objek di permukaan tanah. Namun, serigala juga melakukan hal yang sama saat melolong di siang hari, sehingga jelas bahwa mereka tidak secara khusus melolong “ke arah bulan”. Gambaran serigala yang melolong ke arah bulan purnama lebih merupakan interpretasi romantis yang dipopulerkan oleh seni dan literatur sejak zaman dahulu.
Mengapa Mitos Lolongan Serigala dan Bulan Purnama Bertahan?
Meskipun fakta ilmiah menunjukkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara perilaku serigala dan bulan purnama, mitos ini tetap hidup dan berkembang dalam budaya populer. Salah satu faktor utama yang mempertahankan mitos ini adalah pengaruh media, terutama film-film horor klasik seperti The Wolf Man (1941) dan An American Werewolf in London (1981). Film-film ini menggambarkan serigala atau manusia serigala yang berubah menjadi buas dan ganas saat bulan purnama, menyerang manusia dan menebar teror. Citra ini sangat melekat di benak masyarakat dan membentuk persepsi negatif tentang serigala sebagai makhluk yang berbahaya dan tidak terkendali.
Serigala di alam liar | Oleh Ambquinn dari Pixabay
Selain film, cerita rakyat dan legenda tentang manusia serigala juga turut memperkuat mitos ini. Kisah-kisah ini sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, seperti kisah Raja Lycaon yang dikutuk oleh Zeus menjadi serigala karena menghidangkan daging manusia kepada para dewa. Di Eropa abad pertengahan, kepercayaan akan manusia serigala sangat populer dan bahkan menyebabkan histeria massal dan pengadilan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai manusia serigala. Kisah-kisah ini, yang diturunkan dari generasi ke generasi, menanamkan ketakutan dan prasangka terhadap serigala, menghubungkan mereka dengan kegelapan, sihir, dan kekuatan jahat.
Namun, persepsi kita tentang serigala mulai berubah di abad ke-20. Berkat upaya para peneliti dan aktivis seperti Farley Mowat, yang menulis buku Never Cry Wolf (1963) berdasarkan pengalamannya hidup bersama serigala di Arktik, masyarakat mulai memahami serigala sebagai hewan liar yang kompleks dan intelijen, bukan monster yang menakutkan. Mowat menantang stereotip negatif tentang serigala dengan menunjukkan kehidupan sosial mereka yang rumit, peran penting mereka dalam ekosistem, dan hubungan mereka yang erat dengan anak-anak mereka. Buku ini menjadi bestseller dan diadaptasi menjadi film pada tahun 1983, cukup membantu mengubah pandangan publik tentang serigala.
Sumber: Mongabay.co.id