- Sejak mulai memimpin Indonesia pada 2014, harapan dan doa banyak dialamatkan kepada Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia yang saat itu terpilih untuk periode sampai 2019. Harapan itu, datang dari sektor kelautan dan perikanan (KP)
- Pada awal kepemimpinan, Joko Widodo menunjuk Susi Pudjiastuti sebagai pemimpin sektor KP. Selama lima tahun memimpin, perempuan nyentrik itu berhasil menerapkan perlindungan penuh untuk sektor KP yang fokusnya pada konservasi di laut dan pesisir
- Kemudian, lima tahun berikutnya sektor KP dipimpin oleh dua orang Menteri, yaitu Edhy Prabowo dan Sakti Wahyu Trenggono. Namun, keduanya seperti bersepakat untuk mengedepankan pengembangan ekonomi, ketimbang konservasi
- Sayangnya, kebijakan tersebut juga menjadi bumerang, karena ada pihak yang disebut menjadi korban pembangunan, yaitu nelayan dan masyarakat pesisir. Akibatnya, protes dan kritik pun bermunculan karena kebijakan yang berjalan saat ini
Indonesia sudah menunjukkan komitmen kuat untuk menjalankan perlindungan dan konservasi wilayah laut dan pesisir selama sepuluh tahun terakhir di bawah kepemimpinan Joko Widodo. Bahkan, Indonesia ikut berperan aktif dalam rencana global untuk perlindungan dan konservasi perairan.
Demikian disampaikan Senior Vice President dan Executive Chair Konservasi Indonesia Meizani Irmadhiany saat memberikan analisisnya kepada Mongabay. Bukti bahwa Indonesia berkomitmen kuat, adalah target perlindungan kawasan konservasi perairan dari 10 persen menjadi 30 persen.
Walau perubahan target itu dipengaruhi oleh kebijakan secara global, namun itu tetap menjadi kebijakan yang bagus. Sebabnya, inisiatif global sejalan dengan kepemimpinan dan strategi Pemerintah Indonesia untuk menjaga kelestarian sumber daya alam (SDA) perairan dan melindungi ekosistem yang penting untuk kehidupan masyarakat.
Sinkronisasi yang terjadi antara Indonesia dengan dunia secara global, menjadi bentuk penguatan komitmen untuk berkontribusi dalam menjaga keseimbangan ekosistem dunia. Sekaligus, memastikan terwujudnya keberlanjutan bagi generasi yang akan datang.
“Seperti yang juga sudah menjadi komitmen mayoritas negara besar dalam kesepakatan global pada UN Ocean Conference, UNFCCC, ataupun UNCBD,” ungkapnya.
Langkah yang sudah berjalan itu, menegaskan bahwa Indonesia tak hanya ingin menjadi bagian dari komunitas global semata. Lebih dari itu, Indonesia ingin memanfaatkan momentum untuk memperkuat kebijakan konservasi nasional.
- Advertisement -
Dukungan global ini tentu diharapkan dapat membantu mempercepat pencapaian tujuan nasional, menghindari eksploitasi berlebihan, serta melindungi masyarakat yang bergantung pada kekayaan alam pesisir dan perairan.
Meizani melihat bahwa ada perkembangan yang signifikan dalam sepuluh tahun terakhir pada wilayah laut dan pesisir. Pemerintah menjadi pihak yang paling dominan untuk ikut terlibat dalam komitmen dunia melalui target konservasi 30 persen pada 2030 atau 30×30.
Baca : Peta Jalan Kawasan Konservasi Perairan Indonesia: 2045 Harus 30 Persen
Tiga kawasan konservasi perairan di Maluku Utara. Kawasan konservasi ini guna memastikan ekosistem laut terjaga dan sumber laut dapat terkelola berkelanjutan oleh masyarakat, salah satu mencegah pengeboman ikan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia
Target yang dibebankan kepada total luasan wilayah laut nasional itu, menjadi bagian dari target global yang ditetapkan pada Konferensi para pihak konvensi kerangka kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang perubahan iklim (Conference of the Parties/COP) ke-28 di Dubai, Uni Emirat Arab, 2023.
Setelah itu, Indonesia secara khusus memulai pengejaran target 30 persen pada 2045 (30×45) dan memperkenalkan rancangan spasial dan hasil studi terkait MPA Vision kepada dunia melalui gelaran Our Ocean Conference (OOC) pada April 2024 di Athena, Yunani.
Upaya untuk memperluas konservasi laut itu, kemudian dilakukan melalui Tindakan Konservasi Berbasis Area yang Efektif Lainnya (OECM) seperti kebijakan Sasi yang diyakini akan mempercepat target 30×45. Atau, perluasan area konservasi laut berbasis spesies yang berstatus terancam.
“Akan tetapi kami juga tidak dapat menutup mata bahwa ancaman tetap ada,” ungkapnya.
Ancaman yang dimaksud, contohnya terjadi di Raja Ampat, Papua Barat Daya, karena masuknya perusahaan tambang yang membawa risiko untuk ekosistem penting dan rapuh. Padahal, ekosistem adalah fondasi program konservasi dan pembangunan ekonomi berbasis pariwisata berkelanjutan di sana.
Dia sangat berharap, pemerintah bisa terus menjalankan komitmen dengan konsisten dan menjalankan program-program konservasi laut, terutama di wilayah pesisir, hingga daratan yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi.
“Indonesia memiliki banyak kesempatan untuk menunjukkan komitmennya dalam menjaga ekosistem global, sambil mengembangkan strategi nasional ekonomi biru dan hijau yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal,” terangnya.
Perihal program konservasi yang berjalan selama sepuluh tahun terakhir, Meizani tanpa ragu mengakui bahwa itu sudah ada dan dirasakan masyarakat pesisir. Konservasi laut yang berjalan adalah berbasis ekowisata, masyarakat, dan spesies kunci di Raja Ampat, Teluk Saleh (Nusa Tenggara Barat), dan daerah lainnya.
Lebih khusus, program konservasi laut di Raja Ampat juga berjalan dengan dukungan kerangka pendanaan Blue Abadi Fund, pembentukan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), dan pengalihan utang untuk perlindungan alam (debt for nature swap).
“Itu menjadi beberapa contoh hasil Pemerintah dalam sektor konservasi laut,” tuturnya.
Baca juga : Dengan Metode OECM, Pemerintah Perbanyak Fungsi Konservasi Perairan Laut Indonesia
Terumbu Karang di perairan Raja Ampat, Papua Barat Daya. Foto : Ronal Mambrasar/Konservasi Indonesia
Tantangan Konservasi
Meski demikian, keberhasilan Pemerintah bukan didapat dengan mudah. Justru, ada tantangan yang masih berusaha diatasi selama program konservasi laut dijalankan di Indonesia. Misalnya, proses sebagian kawasan konservasi yang masih berstatus paper park, atau kawasan konservasi yang sudah mendapatkan surat keputusan, namun belum beroperasi secara penuh.
“Ini bisa menjadi peluang bagi pemerintah yang baru untuk mempercepat proses dan memastikan seluruh kawasan konservasi dapat dikelola secara efektif dan berkelanjutan, sehingga dapat memberikan dampak positif bagi ekosistem dan masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam tersebut,” terangnya.
Masih adanya tantangan, juga membuat pencapaian target konservasi di Indonesia belum sepenuhnya bisa diwujudkan selama di bawah pemerintahan Jokowi. Saat ini, capaian baru terwujud sekitar 9 persen, dan itu membuat Pemerintah semakin bekerja keras untuk bisa mewujudkan target yang sudah ditetapkan.
Salah satu alasan utama situasi ini mungkin terjadi, adalah karena masih ada anggapan bahwa konservasi merupakan cost center, yakni program yang hanya menghabiskan anggaran tanpa memberikan keuntungan langsung.
Pandangan di atas, dinilai perlu diubah agar tidak ada lagi yang melihatnya sebagai program skeptis. Agar bisa berubah, diperlukan pemahaman lebih dalam lagi tentang manfaat besar konservasi yang mungkin menjadi penyebab utama. Pemahaman itu mencakup ekonomi, ekologi, dan sosial.
“Padahal, untuk mencapai target konservasi, pemerintah dapat dan seharusnya menjalin kerjasama dengan pihak non-pemerintah, seperti organisasi masyarakat, sektor swasta, dan komunitas lokal,” ucapnya.
Dia yakin, jika dilakukan pendekatan seperti itu, anggapan bahwa program konservasi hanya sekedar menghabiskan biaya akan berubah segera menjadi program yang berorientasi pada manfaat (benefit oriented). Itu mencakup manfaat pada pelestarian ekosistem di laut, dan potensi ekonomi berkelanjutan melalui praktik perikanan yang baik.
Tegasnya, diperlukan kolaborasi multi sektor yang bisa mendorong munculnya solusi lebih inovatif dan berbasis manfaat, bisa membantu pemerintah dalam upaya mempercepat pencapaian target konservasi dengan hasil yang nyata.
Khusus program konservasi yang berkaitan dengan kesehatan ekosistem laut selama ini, Meizani melihat kalau pemerintah sudah memantau kesehatan laut dan habitatnya dengan menggunakan alat-alat seperti Ocean Health Index (OHI) dan Indeks Kesehatan Laut Indonesia (IKLI).
“Itu untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi ekosistem laut,” jelasnya.
Baca juga : Pemanfaatan Kawasan Konservasi Perairan Belum Maksimal
Terumbu karang di Olele yang telah dijadikan kawasan konservasi laut daerah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia
Menurutnya, pemantauan menjadi penting karena bisa menilai upaya konservasi apakah sudah berjalan baik atau belum. Meskipun, nilai IKLI selama tiga tahun terakhir mengalami fluktuasi, walau cenderung meningkat.
Oleh karena itu, diperlukan dukungan dari perhitungan neraca sumber daya laut (ocean accounts) untuk bisa mengukur sejauh mana nilai dan kekayaan sumber daya laut secara ekonomi. Hal itu diyakini bisa mendorong peningkatan pemahaman tentang kontribusi laut terhadap kesejahteraan manusia, dan mendukung pengambilan kebijakan berbasis data yang lebih akurat.
Selain itu, selama sepuluh tahun terakhir ini ada upaya dari Pemerintah untuk memanfaatkan alat penilaian seperti EVIKA dan IUCN Green List untuk memantau efektivitas pengelolaan kawasan konservasi perairan. Alat ini berperan penting dalam mengevaluasi kesehatan ekosistem laut, serta mengukur dampak dari berbagai upaya konservasi.
“Dengan menggunakan IUCN Green List, pengelola MPAs dapat menilai seberapa baik kawasan tersebut dikelola, apakah tujuan konservasi tercapai, dan bagaimana manfaat ekologis serta sosial yang dihasilkan dari perlindungan laut tersebut,” terangnya.
Peran pemerintah, utamanya melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), juga dinilai sudah berjalan baik. Namun, upaya kolaborasi dan koordinasi yang dilakukan pemerintah pusat dengan daerah dinilai harus terus ditingkatkan.
Tantangan yang sangat terasa, adalah memastikan agar konservasi menjadi prioritas bersama, terutama pada level daerah yang masih memerlukan perhatian lebih. Katanya, pemerintah daerah perlu lebih aktif dalam memahami pentingnya kawasan konservasi dan bagaimana pengelolaannya bisa mendatangkan manfaat jangka panjang bagi masyarakat lokal.
“Dengan terus meningkatkan sinergi antara KKP, Kementerian Dalam Negeri, dan pemerintah daerah, serta memperluas program sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, kita dapat memperkuat implementasi konservasi yang berkelanjutan dan lebih inklusif,” ucapnya.
Baca juga : Target Kawasan Konservasi Laut: Semakin Luas, Semakin Besar Manfaatnya
Suasana pesisir Sanur dengan latar belakang gunung Agung di Bali Timur. Laut memberi makanan dan tempat rekreasi. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
Ekonomi, Bukan Ekologi
Beberapa waktu lalu, kritikan tajam dan pedas juga diungkapkan Manajer Hak Asasi Manusia (HAM) DFW Indonesia Miftachul Choir saat menyikapi kepemimpinan Joko Widodo selama sepuluh terakhir yang dihitung sejak 2014.
Selama dipimpin oleh dia, selama lima tahun terakhir pemerintah terkesan fokus pada pengembangan ekonomi yang bersifat tanpa batas dengan menerobos banyak halangan. Gaya kepemimpinan itu sangat berbeda jauh dengan, dengan gaya kepemimpinan pada lima tahun pertama.
Itu berarti, pada periode 2014-2019 saat sektor kelautan dan perikanan dipimpin oleh Susi Pudjiastuti, kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) fokus pada perlindungan penuh. Namun sebaliknya, pada periode lima tahun kedua atau 2019-2024, fokus perlindungan penuh berganti menjadi pengembangan ekonomi.
“Kebijakan tersebut mulai muncul setelah KKP menetapkan ekonomi biru sebagai program prioritas. Itu adalah puncak perampasan ruang laut selama sepuluh tahun ini,” jelasnya.
Adapun, turunan dari program ekonomi biru yang siap mendominasi sektor KP mulai 1 Januari 2025 adalah program Penangkapan Ikan Terukur (PIT) berbasis kuota, dan kebijakan pemanfaatan sedimentasi di laut.
Saat Susi Pudjiastuti berkuasa penuh, perempuan asal Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat itu membuat kebijakan moratorium izin kapal berukuran 30 gros ton (GT) ke atas yang merupakan kapal bekas pakai investor asing.
Lalu, pada tahun yang sama 2014, dia menerapkan kebijakan larangan alih muat (transshipment) hasil tangkapan ikan di tengah laut. Larangan itu membuat hasil tangkapan harus didaratkan langsung di pelabuhan perikanan.
Pada masanya, dua kebijakan tersebut menjadi kontroversial karena para pemilik kapal terbiasa dengan kebijakan lama yang bebas dan bersifat eksploitatif. Namun, dua kebijakan tersebut bertujuan untuk memulihkan ekosistem laut dan pesisir akibat eksploitasi yang berjalan lama.
Salah satu pesisir di pulau yang termasuk dalam kawasan konservasi laut Taman Nasional Perairan Sawu di Nusa Tenggara Timur. Foto pusluh.kkp
Walau mendapat kritikan dari banyak pihak, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono tetap menggaungkan kampanye pemanfaatan karbon biru sebagai bagian dari upaya konservasi di alam dan sekaligus mencegah meningkatnya dampak perubahan iklim pada sektor KP.
Begitu juga dengan Inspektur Jenderal KKP Tornanda Syaifullah yang menyampaikan bahwa karbon biru memainkan peran penting dalam upaya memenuhi target nasional dan global dalam menangani perubahan iklim.
Merujuk pada Perjanjian Paris (Paris Agreement), masing masing Negara Pihak, termasuk Indonesia harus menyampaikan Nationally Determined Contribution (NDC) kedua paling lambat Maret 2025 sebagai komitmen untuk berkontribusi dalam penurunan emisi gas rumah kaca.
Indonesia menegaskan kembali komitmennya untuk mengurangi emisi GRK dengan mendorong peran sektor kelautan untuk masuk di dalam NDC Indonesia kedua tersebut. Hal ini didasari pada semakin pentingnya peran dan potensi karbon biru Indonesia sebagai salah satu modal penting mitigasi perubahan iklim. (***)
Ekonomi Biru di Indonesia: antara Konservasi Laut dan Ekonomi Maritim
Sumber: Mongabay.co.id