- Dibukanya kembali aktivitas tambang pasir laut, melalui aturan pemanfaatan sedimentasi laut diyakini akan menciptakan konflik di tapak bawah, yaitu antar nelayan.
- Selain dampak lingkungan, munculnya konflik tersebut juga menjadi alasan nelayan Kepri menolak adanya perusahaan pemanfaatan sedimentasi laut. Apalagi titik pengambilan sedimentasi ini beririsan langsung dengan area penangkapan ikan nelayan tradisional.
- Di tapak bawah nelayan terdampak sepakat untuk menolak. Seperti yang disampaikan Ketua KNTI Kabupaten Bintan, penolakan akan disampaikan mereka ke pemerintah pusat.
- Sekjen Kiara Susan menyebutkan sejak awal pemerintah tidak melibatkan partisipasi nelayan, terutama nelayan yang tidak mendukung dengan adanya aturan ini. Dibukanya keran ekspor pasir laut oleh Kemendag memperkuat dugaan bahwa pemanfaatan sedimentasi laut hanyalah kedok.
Jakar sangat marah. Ketika mengetahui pengerukan sampel sedimentasi laut oleh kapal isap tetap terjadi di Perairan Kampung Pasir Panjang, Kecamatan Meral, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau awal September 2024 lalu.
Padahal, kata Ketua Nelayan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Teluk Setimbul Karimun itu sebelumnya nelayan sudah protes terhadap pengambilan sampel sedimentasi laut itu. “Kita tidak tahu sama sekali, tiba-tiba kapal masuk tanpa diberitahu ke masyarakat khusus nelayan,” katanya saat dihubungi Mongabay, awal September 2024 lalu.
Protes berujung terjadinya pertemuan antara pekerja kapal hisap pasir dan nelayan setempat. “Dipertemuan itulah sebagian nelayan setuju, sebagian tidak, meskipun ada yang protes tetap saja aktivitas berlanjut,” katanya.
Berdasarkan cerita Jakar, kapal pengambilan sampel sedimentasi laut itu mulai beroperasi Rabu, 28 Agustus 2024 melalui izin Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dihari yang sama nelayan protes karena pengambilan sampel berada di fishing ground nelayan tradisional yang menangkap ikan tenggiri.
Pengambilan sampel bagian dari proses penerapan PP 26 tahun 2023 tentang pemanfaatan sedimentasi laut. Setidaknya 66 perusahaan sudah mengajukan izin kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Meskipun peraturan yang ditengarai upaya membuka keran ekspor pasir laut tersebut menuai penolakan banyak pihak, pemerintah terus melanjutkan progresnya. Yang terbaru Agustus 2024 lalu Kementerian Perdagangan membuka perizinan ekspor pasir laut, tindak lanjut dari PP 26 tersebut.
- Advertisement -
Jakar menyayangkan pengambilan sampel tetap berlanjut padahal nelayan terdampak sudah menolak. Ia menegaskan, nelayan yang setuju pengambilan sampel itu bukanlah nelayan terdampak, alias nelayan pesisir yang menangkap udang.
“Yang terdampak itu adalah kami, nelayan jaring tenggiri yang menangkap ikan di area pengambilan sampel itu, nelayan udang kan berada di pesisir, jadi tidak terdampak, tetapi suara mereka yang didengar,” kata Jakar yang juga Ketua Pokmaswas Nelayan Lestari Kelurahan Pasir Panjang Kecamatan Meral Barat.
Baca : Ekspor Pasir Laut Dibuka Jokowi, Mimpi Buruk Nelayan Kepri Terjadi Lagi
Salah seorang nelayan kecil yang berada di pesisir Karimun. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia
Meskipun belum diterapkan secara penuh, PP 26 tahun 2023 soal pemanfaatan sedimentasi laut ini sudah menimbulkan konflik di tapak bawah, terutama nelayan. Tak hanya seperti yang dialami Jakar, Amir nelayan Kabupaten Karimun lain juga menegaskan menolak pengerukan pasir dengan modus pengambilan sedimentasi laut.
Selain aktivitas tersebut menurutnya merusak lingkungan dan mengganggu nelayan, tetapi juga menciptakan konflik antar nelayan. “Antara nelayan yang menolak dan yang menerima itu sudah pasti (menimbulkan konflik), tidak pun berantem tetapi sudah bermasam muka sekarang,” kata Amir kepada Mongabay belum lama ini.
Kata Amir, rata-rata nelayan yang menerima proyek merusak seperti pengerukan sedimentasi pasir laut ini merupakan nelayan yang tidak begitu aktif melaut. Oknum nelayan seperti ini sengaja setuju karena mereka berharap kompensasi.
“Padahal menurut kami (yang betul-betul nelayan), namanya kompensasi, dipakai satu hari saja tidak cukup, konflik seperti ini sudah pernah kami alami saat tambang timah masuk di sini,” katanya.
Kecuali perusahaan mau menanggung hidup nelayan sepanjang proyek berlangsung. “Saya sah saja mereka menambang, tetapi angkat alat tangkap nelayan kedarat, (perusahaan) penuhi kebutuhan nelayan setiap tahunnya, misalnya rata-rata nelayan pendapatanya Rp10 juta setiap bulan, silahkan bayar segitu, mampu nggak?, jangan kompensasi Rp200.000 – Rp300.000,” katanya.
Makanya alangkah lebih baik pengambilan sedimentasi itu dibatalkan, tegas Amir. Apalagi saat ini nelayan di Kundur misalnya sudah resah adanya tambang timah. “Kalau proyek ini diteruskan, konflik antar nelayan ini berlarut-larut, karena ingin kaya, akhirnya perang antar kita sendiri,” katanya.
Tak hanya konflik antar nelayan, kata Amir, PP 26 tahun 2023 ini juga akan menciptakan konflik antar nelayan dan perusahaan. “Apalagi kapal ini betul merusak jalur tangkap nelayan, sering terjadi pembakaran, apalagi ini kapal perusahaan,” katanya.
Amir yakin, jika PP 26 ini berjalan, kapal penyedot pasir tidak akan murni mengambil sedimentasi laut saja. “Karimun ini timahnya banyak, sambil menyelam minum airlah, kata orang Melayu. Kenapa mereka (pemerintah) tiba-tiba ngotot, kita bisa nilai, ada apa dibalik semua ini, dalam timah itu ada harga material lebih mahal dari emas,” tambahnya.
Menurut Amir jangan bicara dampak lagi, ia menegaskan tidak ada namanya tambang yang memperbaiki alam. “Belum ketemu kita, tambang perbaiki alam, yang merusak iya ada,” katanya.
Baca juga : Penambangan Sedimentasi Laut di Karimun: Ancaman Baru bagi Nelayan
Nelayan kecil melintas di pesisir Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan Riau. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia
Penolakan Terus Disuarakan
Pengambilan sedimentasi laut di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) tak hanya berada di Karimun, tetapi juga di Kabupaten Lingga dan Kabupaten Bintan. Dikutip dari situs resmi KKP, lokasi pengambilan sedimentasi laut di Kepri yang diberi nama “laut natuna-natuna utara” memiliki total luas 3.030.320.445,37 m2 potensi volumenya 9.090.961.336,11 m3.
Ketua DPD Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Bintan Hariyanto mengatakan, KNTI sudah menganalisa kelebihan dan kekurangan jika dilakukan pengambilan sedimentasi pasir laut tersebut. Dampak utama yaitu rusaknya area tangkap nelayan di Kabupaten Bintan, yang menangkap udang, ikan bawal dan tenggiri.
“Kita sudah print out peta lokasi-lokasi pengambilan sedimentasi laut ini, semuanya masuk dalam fishing ground nelayan kecil, KNTI dalam hal ini tetap dengan sikap menolak. Selain itu kami menganalisa, posisi pengambilan sedimentasi laut ini berdekatan dengan pulau-pulau kecil,” kata pria yang biasa disapa Buyung Adly, saat dihubungi Mongabay dari Batam, Selasa, (1/10/2024).
KNTI kata Buyung, akan melakukan konsolidasi lintas organisasi, termasuk HNSI, LKPI, mahasiswa, untuk menyuarakan penolakan terdapat PP 26 tersebut. “Kami juga akan turun ke kementerian. Kami anggap sedimentasi tersebut tidak tepat di wilayah Bintan, maupun Karimun dan Lingga,” katanya.
Keputusan menolak ini sudah disepakati nelayan di Bintan. Kurang lebih jika pengerukan sedimentasi laut terus dilakukan ratusan nelayan terdampak. “Kurang lebih 100 nelayan yang beraktifitas di lokasi pengambilan sedimentasi laut ini, kalau semuanya berkeluarga, sudah hampir 400 orang yang terdampak,” katanya.
Buyung mengaku heran kenapa Bintan, Karimun dan Lingga yang ditetapkan sebagai tempat prioritas pengambilan sedimentasi laut. “Apakah karena dekat dengan negara tetangga yang menerima pasir laut?,” tanya Buyung.
Bahkan Buyung menegaskan, bisa menunjukan kepada pemerintah alur laut yang layak di sedot sedimentasinya, bukan yang ditetapkan sekarang. “Jadi mudharatnya lebih banyak daripada manfaatnya,” katanya. Buyung menyayangkan kenapa program Jokowi akhir-akhir ini jauh dari nawacita yaitu menciptakan lingkungan hijau. “Kenapa harus merusak alam dan laut,” katanya.
Baca juga : Pemerintah Tetapkan Lokasi Pengerukan Pasir Laut, Untung atau Buntung?
Nelayan Karimun menyuarakan penolakan terhadap tambang pasir laut. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan, sejak awal memang partisipasi nelayan secara menyeluruh tidak dilibatkan. “Fakta menyakitkan nelayan tidak pernah dilibatkan, pemerintah hanya melibatkan orang yang mendukung, bukan orang yang tidak mendukung,” katanya.
Menurutnya saat ini sejak polemik pasir laut ini bergulir satu tahun yang lalu, sekarang dugaan aturan ini untuk memperkaya sekelompok orang semakin terbukti. “Ditambah lagi muncul keterlibatan orang-orang politik seperti Yusril Ihza Mahendra, ini seperti fakta yang tidak bisa kita ingkari masyarakat itu sedang dibodohi oleh satu narasi terkait sedimentasi,” katanya.
Menurut Susan, aturan sedimentasi hanya kedok negara memberikan karpet merah kepada investasi, dari pada memikirkan nasib nelayan. Apalagi dalam aturan ini banyak keterlibatan akademisi yang menurut Susan, para akademisi itu tidak jujur bahwa PP 26 tahun 2023 ini menciptakan masalah.
Ia juga mengomentari terkait pernyataan Jokowi yang membedakan antara sedimentasi laut dengan pasir laut. Menurut Susan, sejak awal periode kedua Jokowi, KKP sering memanipulasi terminologi, salah satunya nama cantrang diubah menjadi jaring tarik berkantong termasuk sedimentasi laut.
“Ini sebenarnya logika dasar saja, sedimentasi itu terdiri dari pasir dan lumpur, tidak mungkin yang diekspor lumpur, pemerintah menurut saya tidak bisa buang badan dengan menyebut ini sedimentasi, bukan pasir laut, tidak mungkin untuk mengurus lumpur 61 perusahaan ikut dalam konsesi ini, ini penipuan terminologi,” katanya.
Ia menegaskan, Kiara akan terus melakukan perlawanan. “Kami yakin masyarakat juga melakukan pergerakan yang sama, kita juga akan memikirkan langkah untuk menggugat ke MA, KKP harus siap-siap, karena yang dilawan adalah suara rakyat,” katanya. (***)
Kontroversi Ekspor Pasir Laut: Ancaman Lingkungan atau Peluang Ekonomi?
Sumber: Mongabay.co.id