- Pembangunan objek wisata Pantai Topejawa, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan telah berdampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat pesisir. Pembuatan tanggul telah mengurangi area penangkapan ikan, merusak alat tangkap, pembatasan akses jalan hingga memaksa nelayan mencari mata pencaharian lain.
- Banyak nelayan berhenti menggunakan jaring karena ikan semakin sulit ditangkap di tepi pantai, serta risiko jaring tersangkut di batu tanggul. Akibatnya, beberapa nelayan beralih ke profesi lain seperti bertani, karena aktivitas perikanan semakin tidak menguntungkan.
- Pembangunan juga menutup akses langsung ke pantai bagi masyarakat. Para peternak sapi harus mengubah rute penggembalaan sapi melalui jalan raya. Tentu ini rentan menyebabkan kecelakaan.
- Slamet Riadi, dosen politik lingkungan dan sumber daya alam Universitas Teknologi Sulawesi mengatakan pembangunan pariwisata yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat lokal memperlebar kesenjangan sosial. Pembangunan yang hanya melibatkan elit lokal tidak mempertimbangkan dampak bagi warga.
Matahari mulai tenggelam di ujung Dusun Lamangkia, Pantai Topejawa, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Daratan timbul membelah di tengah laut memberi pemandangan yang sangat ikonik Pantai Topejawa saat kemarau tiba. Di pesisir pengunjung menyaksikan dan mengabadikan dengan telepon genggamnya.
Di pesisir pantai Topejawa, kapal-kapal nelayan biasanya parkir. Faisal bersama empat temannya menikmati sore itu sambil menunggu kepulangan kapal nelayan. Saat kapal merapat, Faisal membongkar muatan ikan-ikan hasil tangkapan. Lalu, membawanya ke lelong—tempat penjualan ikan. Dia dapat upah untuk sekali antar.
Biasanya dia menunggu parempa atau panambe di tepi pesisir tapi tidak juga muncul. Padahal Juni menjadi waktu terbaik bagi parempa untuk menjaring ikan. Parempa merupakan nelayan yang menggunakan rempa—pukat panjang dengan lubang 6-8 cm dengan panjang 150 meter. Biasanya hanya menjaring ikan berukuran sedang.
“Sudah jarang orang menarik rempa. Pernah Daeng Mangka, tapi sudah cukup lama juga,” ujar Faisal, pemuda yang tinggal di pesisir pantai Topejawa saat ditemui Juni lalu.
Pembuatan tanggul di Pantai Topejwa, Sulawesi Selatan telah mengurangi area penangkapan ikan, merusak alat tangkap, pembatasan akses jalan hingga memaksa nelayan mencari mata pencaharian lain. Foto: Muhajirin/ Mongabay Indonesia
Baca juga: Wisata Berbasis Konservasi di Pulau Sulawesi Barat
- Advertisement -
Selain rempa, nelayan juga memakai panambe. Rempa dan panambe tampak sama, tapi lubang jaring panambe lebih kecil dan rapat. Sehingga dapat menjaring seluruh jenis dan ukuran ikan, termasuk ikan mairo (teri).
Sekali tarik, panambe membutuhkan paling sedikit sepuluh orang. Sedangkan, rempa membutuhkan delapan orang agar mendapatkan ratusan ikan.
Tapi kini parempa kian berkurang. “Ikan sudah jarang merapat ke tepi pantai. Paling kalau ada, hanya sampai di kapal itu, ya sekitar 150 meter dari bibir pantai,” kata Faisal.
Sudah sejak lama masyarakat pesisir Topejawa menangkap ikan dengan rempa. Sulaeman Daeng Sija—akrab dipanggil Tata’ Sija yang pertama kali memperkenalkan alat tangkap ini di pesisir Topejawa. Jauh sebelum menikah, Tata’ Sija sudah bergelut dengan rempa. Usianya kini lebih 50 tahun. Tata’ Sija juga mahir membuat rempa.
Selain rempa, Tata’ Sija juga sering menggunakan panambe.
“Rempa yang sering kupake itu saya buat sendiri,” kata Tata Sija. “Bahannya saya beli di toko nelayan di Makassar. Biasa lima belas hari saya kerja satu rempa. Full pagi sampai malam, paling istirahat kalau capek sama lapar.”
Parempa merupakan nelayan yang menggunakan rempa—pukat panjang dengan lubang 6-8 cm dengan panjang 150 meter. Biasanya hanya menjaring ikan berukuran sedang. Foto: Muhajirin/ Mongabay Indonesia
Baca juga: Wisata yang Keberlanjutan, Apakah Benar Mementingkan Lingkungan dan Manusia?
Mempercantik pantai tapi nelayan merana
Mei 2023, batu-batu berukuran besar tersusun dengan rapi, menjorok ke tengah laut. Ini menjadi bagian dari pembangunan objek wisata Pantai Topejawa oleh PT Boddia Galesong Jaya. PT BGJ membangun tanggul dengan cara mereklamasi untuk mencegah abrasi pantai.
Sayangnya, masyarakat tidak mengetahui apa-apa pembangunan itu, termasuk Tata’ Sija.
Memang, beberapa tahun belakangan, kata Tata’, pesisir Topejawa mengalami abrasi yang cukup serius. Bahkan, dia sudah satu tahun terakhir tidak lagi menebar rempa atau panambe karena pembangunan objek wisata. Abrasi dan minimnya regenerasi nelayan membuatnya ogah untuk melaut.
Perahu dan rempa masih terparkir di samping rumahnya.
“Kita harus pandai mengukur ketika menebar rempa, agar tidak mengenai dan tersangkut di batu tersebut,” ujarnya sambil menunjuk tanggul dengan batu-batu gajah.
Mayoritas masyarakat pesisir Topejawa adalah nelayan, peternak dan pedagang. Nasib mereka kian tak menentu saat pembangunan terjadi. Mereka juga tidak pernah dilibatkan dalam prosesnya. Foto: Muhajirin/ Mongabay Indonesia
Keberadaan tanggul itu justru menyempitkan wilayah tangkap parempa. Jika dipaksakan dan salah perhitungan, rempa bakal tersangkut dan batu-batu cadas itu merobek rempa.
Pesisir Topejawa, bagi nelayan, menjadi lokasi terbaik untuk menebar rempa atau panambe. Tak hanya untuk menangkap ikan, wilayah ini juga biasa digunakan untuk mencari kerang, masyarakat lokal menyebutnya tude hingga pembibitan udang.
“Biasa menebar atau menarik rempa disitu, hasilnya cukup banyak. Tapi lokasinya kini menjadi kawasan objek wisata pantai topejawa yang dikelola PT BGJ,” ceritanya.
Baca juga: Pariwisata Picu Persoalan Lingkungan dan Agraria di Bali
Sebelum ada pembangunan, biasanya parempa atau panambe bisa menebar jaring 2-3 kali dalam semalam. Saat musim mairo, satu jaring bisa dapat sampai 20 peti. Harganya mencapai Rp 500.000-Rp 1 juta per peti.
Pekerjaan nelayan semakin tak menjanjikan, Tata’ Sija kini memilih bertani cabai. Dia terpikat dengan harga jual yang tinggi. Apalagi, dia juga sulit mencari parempa yang biasa menemaninya untuk menarik jaring. Banyak nelayan juga lebih memilih bertani dibandingkan menebar rempa.
Pembangunan objek wisata pantai Topejawa masih terus berlanjut. Kini terdapat dua tanggul. Beberapa pekerja pun tampak merapikan pagar dan melilitkan kawat berduri. Sedangkan pada sisi kanan, deretan kursi bambu berjejer. Tampak lapuk dan tak terawat.
Papan peringatan paksaan pemerintah untuk penghentian sementara kegiatan PT. Boddia Galesong Jaya. Foto: Muhajirin/ Mongabay Indonesia
Pada November 2023, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikan (KKP) menghentikan pembangunan objek wisata Pantai Topejawa oleh PT BGJ. Dugaannya, proyek tersebut tidak memenuhi persyaratan dasar dalam Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).
Padahal sudah ada 0,27 hektar pesisir sudah direklamasi. Lokasinya tepat berada di zona tangkap nelayan dan akses jalan bagi masyarakat. Menurut M. Ilyas, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, perusahaan pengelola objek wisata Pantai Topejawa telah diberikan sanksi administrasi.
“Kedepan, tidak boleh ada lagi pembangunan yang berjalan jika proses perizinannya itu belum rampung atau masih ada konflik di masyarakat,” katanya saat ditemui di kantornya, pada 21 Juni 2024.
Baca juga: Korupsi Sektor Kelautan di Kabupaten Takalar. Sulawesi Selatan
Sulitnya menjadi peternak di tengah pembangunan
Sama seperti Faisal dan Tata’ Sija, Timung, warga dusun Topejawa juga mengalami kesulitan yang sama. Timung biasa menggiring ternak sapinya ke pesisir pantai Topejawa. Tiap pagi mencari pakan dan sore kembali ke kandang tanpa ada hambatan.
Tapi semua berubah ketika pembangunan objek wisata ada, dia terpaksa melewati jalan raya untuk menggiring sapinya. Sepanjang jalan, dia cemas dan berharap suara lalu lalang kendaraan tidak mengagetkan ternaknya.
“Sapi saya pernah menyeruduk dan menyeret seorang pengendara karena sapi saya kaget. Motornya jatoh, ini yang jadi ketakutan saya,” ceritanya.
Peternak yang berada di pesisir Pantai Topejawa harus memutar untuk menggiring ternaknya melalui jalan raya. Seringkali ini membahayakan bagi ternak. Foto: Muhajirin/ Mongabay Indonesia
Arman, Kepala Desa Topejawa dulu pernah punya harapan dari pembangunan objek wisata pantai Topejawa. Harapannya tidak muluk, hanya terbukanya lapangan pekerjaan. Tapi di balik kemegahan dan ketenaran objek wisata ini, Arman menilai warganya sangat dirugikan.
“(Saat ini) Warga aktivitasnya terganggu, utamanya peternak. Mereka harus lewat jalan raya karena akses jalannya di bibir pantai sudah tertutup. Ini juga dapat membahayakan para pengendara, apalagi di waktu libur karena banyak wisatawan berlalu lalang. Parempa juga semakin sempit area tangkapnya, padahal pantai itu bukan milik pribadi.”
Baca juga: Pariwisata Berbasis Masyarakat Dapat Penghargaan
Dosen politik lingkungan dan sumber daya alam Universitas Teknologi Sulawesi, Slamet Riadi mengatakan bahwa ada peningkatan tren ketimpangan sosial ekonomi di sekitar area pariwisata. Salah satunya, di obyek wisata Topejawa.
“Dalam 10 tahun terakhir, tren ketimpangan sosial ekonomi di daerah pariwisata semakin jelas terlihat atau semakin bermunculan di wilayah atau daerah-daerah yang diplot sebagai tempat wisata”.
Pantai Topejawa memberikan pesona matahari tenggelam yang sangat indah. Foto: Muhajirin/ Mongabay Indonesia
Menurutnya, tren tersebut dipengaruhi oleh faktor penggodokan objek wisata yang tidak partisipatif, yang hanya melibatkan elit di daerah itu. Bagi Slamet, kelompok elit ini tidak mampu membaca fenomena dan dinamika lokal setempat.
“Lantas langsung menawarkan bahwa tempat ini cocok jadi tempat wisata dengan dalih bahwa ada keindahan yang bisa dijual.”
Pembangunan yang tidak partisipatif tentu menyingkirkan warga lokal. Sebab, wilayah yang selama ini dikelola oleh warga diganti jadi objek wisata.
Selain itu, persoalan lain adalah pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam. “Biasanya karena hari ini adalah semua serba instagramable, makanya banyak sumber-sumber daya alam yang kemudian tergadaikan dan diganti menjadi lokasi-lokasi pariwisata,” kata Slamet.
Kapal Tata’ Sija, nelayan rempa di Kabupaten Takalar yang terdampak dari pembangunan wisata Topejawa. Dia sudah satu tahun tidak melaut karena kesulitan akses akibat pembangunan tanggul. Foto: Muhajirin/ Mongabay Indonesia
Lantas bagaimana seharusnya agar objek wisata tidak memperlebar ketimpangan?
Dosen yang akrab disapa Memet tersebut berpandangan dalam tahap penyusunan rencana, hingga pengelola perlu melibatkan masyarakat lokal. Penting adanya pemetaan sosial budaya bagi masyarakat setempat agar warga mampu menerima adanya objek wisata dan tidak mengganggu kehidupan mereka.
“Agar tidak terkesan top down, dan pada akhirnya warga lokal tersingkir dan warga pendatang semakin banyak.”
Berbicara pada pariwisata, Dinas Pariwisata juga penting berkolaborasi dengan instansi lain. Seperti, dinas lingkungan hidup, dinas tata ruang, dan pemberdayaan perempuan agar menciptakan pembangunan yang inklusif dan kolaboratif.
“Warga lokal seharusnya menjadi tuan rumah di desa mereka sendiri, untuk menjadi pelaku wisata,” pungkas Memet. (***)
*Muhajirin – Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Makassar. Kini aktif di WALHI Sulawesi Selatan, turut serta mengkampanyekan berbagai masalah lingkungan. Hajir menjadi salah satu penerima fellowship Into the Climate Stories – Mongabay.
Pulau Lae-lae, Surga Perikanan yang Terancam Reklamasi
Sumber: Mongabay.co.id