The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) secara eksplisit menyampaikan bahwa, pulau-pulau kecil menjadi daerah paling berisiko terdampak perubahan iklim (Mycoo et.al 2022). Dibandingkan daratan lebih besar, risiko dampak perubahan iklim lebih besar terjadi di pulau-pulau kecil.
Kondisi ini terutama karena keterbatasan pulau-pulau yang dikelilingi lautan dengan daratan relatif kecil, peningkatan permukaan air laut, kekeringan, dan ancaman banjir. Kenaikan level permukaan air laut dan makin tinggi intensitas hujan menyebabkan kenaikan debit aliran sungai. Kondisi ini bisa membuat aliran sungai terhambat masuk ke laut hingga mudah melimpas ke daratan dan memicu banjir bandang.
Tekanan tambahan terhadap lingkungan pesisir dan laut, termasuk eksploitasi sumber daya alam berlebihan, dapat memperburuk dampak bagi pulau kecil di masa depan (McNamara et.al, 2019).
Satu yang menjadi pertanyaan, resep global untuk mereduksi kerentanan dampak perubahan iklim kerap bertumpu pada elemen teknikal dan managerial. Agenda adaptasi perubahan iklim kemudian lebih fokus membangun ‘seawall’, meninggikan rumah dan jalan, atau, yang sudah menjadi buzzwords: adaptasi berbasis komunitas.
- Advertisement -
Masing-masing komunitas didorong berpikir dengan kemampuan dan cara mereka untuk bertahan dari krisis iklim. Misal, mendorong inisiatif membangun kebun terapung hingga pasokan pangan aman dari banjir. Atau, paling sering diusulkan ke negara-negara agraris, memodifikasi musim tanam pertanian dan penyesuaian pilihan tanaman di desa-desa.
Kasus Pulau Halmahera, Maluku Utara bisa jadi titik masuk memikirkan kembali pengertian tentang adaptasi perubahan iklim yang teramplifikasi oleh lembaga-lembaga dunia dan finansial global seperti PBB dan World Bank. Makin sering dan masif banjir di Halmahera tidak hanya terkait peningkatan intensitas hujan juga aktivitas tambang nikel yang mengubah bentang alam pulau itu.
Pertanyaannya, bagimana warga harus beradaptasi di tengah krisis iklim dan kehancuran lingkungan ini? Saya melihat yang dibutuhkan adalah solusi politik dan kebijakan menghentikan eksploitasi alam secara berlebihan hingga bisa mengurangi tekanan tambahan terhadap lingkungan dan pesisir di pulau kecil. Adaptasi perubahan iklim bukan lagi teknikal namun struktural karena memerlukan intervensi terhadap struktur politik atau kekuasaan.
Bencana banjir di Halmahera, akhir Juli lalu, diduga kuat tambang nikel jadi penyebabnya. Air genangan berwarna oranye kecoklatan. Fotoi: dokumen warga
Banjir dan tambang di Halmahera
Banjir besar kembali terjadi di Halmahera, Maluku Utara. Setidaknya dalam tiga bulan terakhir warga di Halmahera Tengah acap kali mengungsi karena rumah mereka terendam air. Pada 21 Juli 2024, banjir setinggi dua meter merendam sejumlah desa di Teluk Weda, Halmahera Tengah. Banjir ini memaksa ribuan warga desa mengungsi dalam situasi yang sangat memprihatinkan.
Kurangnya pasokan air minum dan tempat berlindung membuat kenestapaan warga makin berlipat. Sebagian bahkan harus bertahan dengan hanya meminum air hujan. Saat kaki mereka belum kering betul, banjir terjadi kembali pada 21 Agustus. Banjir kali ini merendam tujuh desa dan membuat akses putus total. Warga pun praktis terisolir hingga menyulitkan evakuasi dan tanggap darurat dari pemerintah. Dalam beberapa hari, mereka hidup dalam ketidakpastian, menunggu bantuan datang sembari air surut. Satu-satunya kejelasan yang mereka lihat adalah banjir kali ini air berwarna coklat pekat karena sedimen material dari aktivitas tambang (Ichi, 2024).
Saya mendokumentasikan jumlah kasus banjir di Maluku Utara sejak 2015 dengan menggunakan Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Sejak 2015, seiring peningkatan aktivitas tambang nikel, Maluku Utara, memang menunjukkan tren peningkatan kasus banjir yang dramatis, seperti pada gambar 1. Lonjakan kasus banjir terutama mulai pada 2019, setahun setelah Kawasan Industri Weda Bay mulai beroperasi.
Puncak kasus banjir di Maluku Utara tercatat pada 2022, sebanyak 33 kasus.
Maluku, merupakan satu daerah paling rentan terdampak perubahan iklim, mulai dari peningkatan level air laut hingga intensitas hujan ekstrem. Halmahera saat ini berjuang menghadapi risiko iklim ekstrem yang terus meningkat.
Kawasan industri nikel di Halmahera. Foto: dari video CRI
Layaknya pulau-pulau kecil lain, Halmahera terancam iklim ekstrem, akibat dari terganggunya pola cuaca Samudra Pasifik akibat pemanasan global (Singh dan Qin, 2020). Pelepasan gas rumah kaca yang terus-menerus mengubah iklim Pasifik yang berpotensi memengaruhi sistem El Nino-Southern Oscillation (ENSO) dan menyebabkan kejadian El Nino dan La Nina lebih parah (Cai et al., 2015: 857).
El Nino memperpanjang periode kering, sementara La Nina memperkuat intensitas curah hujan. Penduduk berhadapan pada risiko terkait curah hujan ekstrem dan kenaikan permukaan air laut, yang mengakibatkan meningkatnya bahaya hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor. Karena itu, penting bagi penduduk untuk beradaptasi dengan kondisi iklim ekstrem ini.
Melestarikan bentang alam dan daerah tangkapan air yang menyerap air hujan memainkan peran krusial dalam adaptasi iklim esktrem (Hartmann & Driessen, 2017).
Namun, industri, khusus sektor ekstraktif, menyebabkan kerusakan pada bentang alam, tutupan hutan, dan daerah aliran sungai.
Kerusakan lingkungan ini, ditambah dengan kondisi iklim ekstrem, meningkatkan kerentanan penduduk terhadap bencana seperti banjir, terutama mereka yang terpinggirkan karena penambangan nikel.
Dalam tulisan dari Mongabay berdasarkan pernyataan aktivis lingkungan, operasi tambang nikel di Halmahera seperti deforestasi dan penggalian tanah mengakibatkan longsoran makin menambah sedimentasi sungai (Sawal, 2024).
Sedimentasi ini memperkecil daya tampung sungai karena pendangkalan hingga sungai meluap ketika hujan deras. Koalisi Save Sagea, aliansi masyarakat sipil untuk perlindungan lingkungan di Halmahera, mengamati perubahan aliran sungai sebelumnya, yang diyakini terkait deforestasi pertambangan nikel di Halmahera Tengah.
Saat ini, ada 127 izin pertambangan di Maluku Utara seluas lebih 655.000 hektar, 62 adalah tambang nikel lebih 230.000 hektar (Sawal, 2024).
Hutan yang dibuka untuk jalan PT IWIP pada September 2022. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia
Teknikal vs struktural
Sebagai daerah yang tersusun dari pulau-pulau kecil, Maluku dan Maluku Utara, sudah menjadi lokasi dari berbagai proyek adaptasi perubahan iklim. Proyek-proyek milyaran rupiah itu mayoritas hanya berorerientasi solusi teknis, misal, normalisasasi sungai, pembentukan Desa Tangguh Bencana, kampung iklim, dan penamanan kembali vegetasi mangrove di pesisir, atau membuat peta alternatif penangkapan ikan. Solusi-solusi teknis seperti itu justru makin menambah kerentanan warga lokal secara pelan-pelan.
Bagaimana mungkin peta alternatif tangkapan ikan itu bisa efektif ketika lautan rusak tercemar limbah tambang nikel? Atau, bagaimana mungkin mengandaikan warga Kampung Tangguh bisa bertahan dari banjir ketika ruang resapan air hancur karena dampak aktivitas mega industri yang pebisnisnya juga berkelindan dengan para petinggi pemerintah?
Sudah sejak beberapa tahun terakhir, banyak sarjana terkemuka di isu perubahan iklim seperti Andrea J. Nightingale yang menekankan sudah saatnya bentuk adaptasi itu juga menyangkut perubahan struktur politik. Karena berbagai studi di banyak tempat di dunia menunjukkan, struktur politik dan kebijakan itu jadi bagian dari stressor atau tekanan yang meningkatkan kerentanan warga terhadap perubahan iklim (Nightingale et.al, 2020).
Intervensi terhadap rezim status quo merupakan solusi lebih produktif untuk adaptasi. Terutama di negara-negara yang masih mengandalkan ekonomi ekstraktif namun pemerintahan tidak demokratis. Suara-suara sarjana seperti Nightingale sayang sekali terabaikan dan tidak mendapat tempat di dalam forum-forum dunia terkait perubahan iklim seperti IPCC.
Halmahera sesungguhnya tidak sendirian. Banyak tempat-tempat lain di dunia yang kena terpa persoalan krisis iklim serta eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkontrol pada saat sama. Hal itu memperlihatkan ada kebutuhan keluar dari definisi usang adaptasi perubahan iklim. Mengatasi krisis iklim melalui adaptasi memerlukan perubahan struktur kekuasaan saat ini untuk menghasilkan perubahan politik yang mendasar. Ada kebutuhan mendesak untuk diskusi dan tindakan lebih kritis untuk meradikalisasi ketahanan iklim.
Untuk itu, mendesak lembaga-lembaga donor yang menaruh perhatian pada krisis iklim di Indonesia juga membantu kembali konsolidasi demokrasi di aras lokal. Tidak bisa lagi kita membatasi adaptasi perubahan iklim hanya jadi persoalan lingkungan yang membutuhkan solusi teknikal. Kerja untuk adaptasi perubahan iklim ke depan harus menitikberatkan pada penguatan kapasitas politik masyarakat sipil.
Hingga, mereka bisa merespon ketidakadilan dan kehancuran lingkungan, yang diproduksi aktivitas industri ekstraktif yang berkelindan dengan pemegang kekuasaan.
Protes Suku Tobelo Boeng Wasile Selatan atas aktivitas tambang nikel PT WBN dan PT IWIP di hutan adat Halmahera Timur. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia
********
Penulis: Yogi Setya Permana adalah peneliti Doktoral di Universitas Leiden dan Peneliti di Pusat Riset Politik BRIN. Tulisan ini merupakan opini penulis
Referensi
Cai, W., et.al. 2015. ENSO and greenhouse warming. Nature Climate Change, 5(9), 849–859. https://doi.org/10.1038/nclimate2743
Hartmann, T., & Driessen, P. (2017). The flood risk management plan: towards spatial water governance. Journal of Flood Risk Management, 10(2), 145-154.
Ichi, Mahmud. 2024. Banjir Landa Kawasan Industri Nikel Weda, Walhi: Aktivitas Tambang Jadi Penyebabnya. Mongabay, 24 Juli 2024. (Diakses 19 September 2024) https://www.mongabay.co.id/2024/07/24/banjir-landa-kawasan-industri-nikel-weda-walhi-aktivitas-tambang-jadi-penyebabnya/
McNamara, K. E. et.al. 2019. What is shaping vulnerability to climate change? The case of Laamu Atoll, Maldives. Island Studies Journal, 14(1).
Mycoo, M. et.al. 2022. Small Islands. In: Climate Change 2022: Impacts, Adaptation and Vulnerability: Contribution of Working Group II to the Sixth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change
Nightingale, A. J., et.al. 2020. Beyond technical fixes: Climate solutions and the great derangement. Climate and development, 12(4), 343-352.
Sawal, Rabul. 2024. Lingkungan Halmahera Tengah Terus Tergerus Industri Nikel. Mongabay, 17 September 2024. (Diakses 19 September 2024). https://www.mongabay.co.id/2024/09/17/lingkungan-halmahera-tengah-terus-tergerus-industri-nikel/
Singh, V., & Qin, X. 2020. Study of rainfall variabilities in Southeast Asia using long-term gridded rainfall and its substantiation through global climate indices. Journal of Hydrology, 585(November 2019). https://doi.org/10.1016/j.jhydrol.2019.124320
Kala Ruang Hidup Warga Maluku Utara Makin Terdesak Industri Ekstraktif
Artikel yang diterbitkan oleh admin
Sumber: Mongabay.co.id