- Selain kesehatan fisik, orangutan juga membutuhkan pemulihan kesehatan mental.
- Kesehetan mental sangat diperlukan, karena sebagian besar orangutan yang berada di pusat rehabilitasi mendapatkan pengalaman traumatik, seperti korban perburuan dan perdagangan liar.
- Untuk memulihkan kesehatan mental orangutan yang berada dipusat rehabilitasi YIARI, mereka ditempatkan di blok hutan bersama dengan orangutan lain. Tujuannya, agar mereka cepat belajar bersama orangutan yang lebih dulu ada.
- Di Indonesia, terdapat tiga jenis orangutan, yakni orangutan Kalimantan [Pongopygmaeus], orangutan sumatera [Pongo abelii], dan orangutan tapanuli [Pongo tapanuliensis].
Orangutan merupakan satwa dengan kecerdasan tinggi. Ia memiliki kedekatan erat dengan manusia, bahkan 97 persen DNA-nya sama dengan kita.
Tidak heran, mereka bisa merasakan emosi. Bahkan, orangutan juga memiliki masalah kesehatan mental [mental health] yang harus dipulihkan.
“Orangutan yang ada di pusat rehabilitasi YIARI banyak yang mengalami trauma. Sehingga, kami harus memulihkan kesehatan mental mereka dengan baik, sebelum dilepasliarkan kembali ke habitat aslinya,” ungkap Komara pada Bincang Alam Mongabay Indonesia, Kamis [26/9/2024].
Komara adalah dokter hewan yang menjadi Koodinator Medis di Pusat Rehabilitasi Orangutan Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia [YIARI]. Dia ditemani Sudin, Supervisor Animal Keeper YIARI, saat berbagi cerita tentang langkah-langkah rehabilitasi orangutan.
Sejak 2009, YIARI telah menyelamatkan 250 orangutan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 175 individu telah dikembalikan ke habitatnya, sementara sisanya masih direhabilitasi.
- Advertisement -
Sebagian besar orangutan yang berada di pusat rehabilitasi itu hasil interaksi negatif dengan manusia. Sebut saja, korban perburuan dan perdagangan, sehingga ada yang terluka atau sakit saat dipelihara atau diperdagangkan. Terutama, bayi orangutan. Sehingga, hal ini membutuhkan pemulihan kesehatan fisik dan mental.
“Setiap orangutan yang masuk pusat rehabilitasi, kami karantina dua bulan dan diperiksa kesehatannya penuh. Mungkin, kriterianya adalah mental yang jatuh/drop atau mengalami gangguan kesehatan. Misalkan, mengindap hepatitis atau HIV karena tidak diketahui sejauh mana terjadi infeksi silang antarmanusia. Sembari, dilihat juga perilakunya apakah stres berat atau ada keluhan lain,” ungkapnya.
Untuk memulihkan kesehatan mental, orangutan yang berada dipusat rehabilitasi akan ditempatkan di blok hutan bersama orangutan lain. Tujuannya, agar orangutan tersebut cepat belajar dengan orangutan yang lebih dulu ada.
Meski telah diketahui orangutan adalah satwa soliter atau suka menyendiri, namun masa rehabilitasi adalah proses memulihkan dan mengembalikan cara dasar mereka sebelum kembali dilepasliarkan.
“Orangutan stres pasti, karena traumatik. Untuk itu, kami tidak akan mengulangi kondisi tersebut. Misalkan, dimasukkan di kandang sempit, jadi kami coba tempatkan mereka di satu blok hutan untuk melepaskan rasa stres-nya,” ujar Komara lagi.
Baca: Inilah Alasan, Mengapa Anak Orangutan Tidak Boleh Dipisahkan dari Induknya
Induk orangutan sumatera bersama anaknya yang hidup di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
Ibu sambung
Sudin, Supervisor Animal Keeper YIARI menambahkan, luasan per blok hutan sekitar 6,4 hektar yang biasanya diisi 6-7 individu. Sebagai penjaga, mereka berkeliling di blok hutan tersebut setiap hari, dengan dua petugas jaga bergantian. Setiap penjaga orangutan, diharuskan mengambil data per dua menit untuk mencatat perilakunya dan itu dilakukan setiap hari.
Selain itu, tugas penjaga adalah membantu tim medis, baik memantau kesehatan orangutan, menjaga kebersihan hutan, memberi makan orangutan, mengajari orangutan mencari makan sendiri di hutan, dan mengajari bikin sarang.
“Untuk orangutan yang masih bayi sekitar 2 tahunan, akan lebih dekat dengan si penjaganya. Sedangkan orangutan yang usianya di atas 2 tahun, biasanya dominan bermain sendiri, cari makan sendiri, atau bermain dengan orangutan lainnya, dan kadang jauh dari penjaga,” ungkap Sudin mengenai perilaku orangutan.
Setiap hari berinteraksi dan merawat orangutan, membuat para penjaga seperti Sudin, sudah bisa membedakan setiap individu, mulai rambut hingga wajah.
Hal unik lainnya adalah, para penjaga akan mengajari makan bayi orangutan. Mereka mencari buah-buahan di hutan yang bisa dimakan manusia, dan hal itu diikuti bayi orangutan.
Saat menjaga bayi orangutan, para penjaga juga akan mencarikan induk yang cocok bagi sang bayi sebagai “ibu sambung”. Tujuannya, agar mereka mendapatkan perhatian dan kasih sayang layaknya manusia.
Saat ini, di pusat rehabilitasi YIARI, ada 5 individu orangutan yang memiliki ibu sambung.
“Semuanya berjalan normal, tanpa ada masalah,” paparnya.
Baca: Mengungkap Kesetiaan Orangutan Betina pada Tanah Kelahirannya
Orangutan kalimantan ini berada di lahan gambut di Taman Nasional Sebangau. Menyembuhkan luka menggunakan ekstrak daun merupakan perilaku luar biasa orangutan kalimantan ini. Foto: Dok. Borneo Nature Foundation [BNF]/BTNS
Kesehatan mental
Dalam sebuah penelitian berjudul “Potential resilience treatments for orangutans (Pongo spp.): Lessons from a scoping review of interventions in humans and other animals”, dijelaskan bahwa orangutan yang diselamatkan dari konflik dengan manusia harus direhabilitasi secara memadai, sebelum dikembalikan ke alam liar. Ketahanan psikologis atau kemampuan untuk bangkit kembali dari stres, yang berarti memiliki kesehatan mental yang baik, merupakan kunci utama.
“Hal ini penting, agar orangutan yang dilepasliarkan dapat mengatasi tantangan yang penuh tekanan seperti kelangkaan pakan, menjelajah lingkungan yang tidak dikenal, dan mendapatkan kembali kemandiriannya dengan dukungan manusia,” tulis para peneliti.
Orangutan merupakan satwa liar yang hanya ditemukan di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Sebagai pemakan buah, orangutan merupakan agen penebar biji efektif untuk menjamin regenerasi hutan.
Di Indonesia, terdapat tiga jenis orangutan, yakni orangutan Kalimantan [Pongo pygmaeus], orangutan sumatera [Pongo abelii], dan orangutan tapanuli [Pongo tapanuliensis].
Ketiga jenis ini dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.106 tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi. Berdasarkan IUCN, ketiganya berstatus Kritis [Critically Endangered/CR], atau satu langkah menuju kepunahan di alam liar.
Ketambe, Desa yang Bersahabat dengan Orangutan Sumatera
Sumber: Mongabay.co.id