- Para penyintas bencana Palu, ada yang masih tinggal di Hunian Sementara (Huntara) Hutan Kota) dalam kondisi serba sulit. Mencari pekerjaan susah. Mereka yang sudah kehilangan rumah beserta ruang hidup ini minim perhatian pemerintah.
- Para perempuan penyintas, seperti Aslimah, dan Sri Hartini Haris, berpikir keras. Melihat sampah banyak berserakan di sekitar huntara, terbersit ide untuk mengumpulkan sampah-sampah lalu menjualnya. Mereka mengajak perempuan lain lakukan hal serupa. Kini, banyak para perempuan penyintas bencana Palu di huntara jadi pemulung.
- Sri Hartini Haris, getol menyuarakan kepada para pihak terutama pemerintah mengenai nasib penyintas bencana Palu, yang hidup menyedihkan di huntara yang kumuh. Dia juga menggagas pembentukan Kelompok Mandiri Berkarya, untuk wadah dan penguatan bersama para perempuan penyintas bencana Palu.
- Selain jadi pemulung, ada juga yang membuat pupuk kompos dan bercocok tanam di sekitar huntara seperti Sri Hartini Haris. Kini, mulai banyak yang beli pupuk kompos maupun pupuk cair bahkan, tanaman.
Matahari terik siang itu. Aslimah sedang berjibaku dengan tumpukan sampah. Tangannya cekatan menyusun sampah plastik ke karung yang hampir penuh.
- Advertisement -
Sejak tsunami menyapu bersih Pesisir Talise, Palu, Sulawesi Tengah pada 2018, kehidupan perempuan 53 tahun ini berubah. Dulu, dia melaut dan jadi buruh di ladang tambak garam, kini pemulung plastik.
Rumahnya hilang terkena tsunami. Sekarang, dia tinggal di Hunian Sementara (Huntara) Hutan Kota. Sejak 2020, Aslimah mulai tinggal di huntara bersama keluarga kecilnya.
Bangunan huntara menyerupai rumah panggung layaknya rumah Tambi khas Suku Kaili, dengan tinggi hanya dua jengkal dari tanah. Dinding bukan papan, dari gipsum. Tiang-tiang dari kayu, dan lantai dari triplek. Ruangan pun hanya seluas kamar tidur anak kos, tidak ada sekat untuk pembatas antara ruang tidur dan dapur. Untuk fasilitas umum, berupa kamar mandi dan toilet bersama.
Data dari Celebes Bergerak, total rumah rusak berat karena gempa, tsunami, dan likuifaksi yang tersebar di Padagimo (Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong) sebanyak 27.622 unit. Rusak sedang 28.899, dan rusak ringan 47.149 rumah. Untuk Kota Palu, ada 6.504 rumah hilang, salah satunya, punya Aslimah di Talise.
Kini dia menjadi orangtua tunggal. Suaminya meninggal dunia saat tsunami Palu. Dia harus bekerja ekstra untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kini, dia memulung plastik sekalipun harus menyusuri setiap sudut huntara dan wilayah perkotaan agar bisa menjamin kehidupannya.
“Tak ada yang bisa saya kerjakan selain mencari sampah plastik. Mau cari uang di mana untuk hidup?” ujar Aslimah.
Hasil mencari sampah plastik dalam sehari sebenarnya belum mencukupi kebutuhan hidup. Dalam sebulan, pendapatan Aslimah paling Rp300.000. Untuk standar hidup di huntara, itu uang yang sedikit. Mana Aslimah harus membayar iuran air bersih Rp20.000 dalam sebulan. Belum lagi, biaya token listrik Rp50.000. Sisanya, untuk membeli beras dan kebutuhan dapur.
“Hasil yang saya dapat itu dicukup-cukupkan untuk biaya hidup,” ucapnya.
Dia pikir, hidup setelah pasca bencana akan baik-baik saja. Apalagi saat ada pengumuman dia akan mendapatkan bantuan huntara. Hati begitu senang. Selama dua tahun pasca gempa dan tsunami, dia tak punya tempat tinggal lagi. Hanya tinggal di tenda-tenda pengungsian.
Tinggal di huntara adalah bayangan para penyintas. Huntara bagaikan hunian impian agar keluar dari pengungsian.
Aslimah, perempuan penyintas bencana Palu, yang tinggal serba kesusahan di Hutan Hutan Kota. Foto: Zulkifli Mangkau/Mongabay Indonesia
Namun, tidak impian itu tak semudah membalikan telapak tangan. Kehidupan yang membaik setelah tinggal di huntara hanyalah angan-angan semata. Kehidupan di huntara berbanding terbalik dari apa yang dia pikirkan.
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Begitulah kondisi yang bisa digambarkan tentang keadaan Aslimah dan para penyintas yang hidup di Huntara Hutan Kota. Susah mencari pekerjaan menyebabkan kesulitan ekonomi bagi para penyintas.
“Susah kami tinggal di huntara. Kadang harus berbagi nasi di sini,” katanya.
Saking sulit, Aslimah tak mampu sekolahkan anak-anaknya. Mereka terpaksa berhenti sekolah. Tak ada bantuan dari pemerintah bagi para penyintas bencana ini terlebih mereka yang kehilangan rumah dan ruang hidup.
Di huntara, dia melihat begitu banyak sampah berserakan. Terbersit ide untuk mengumpulkan sampah-sampah plastik di seputaran tempat tinggalnya.
“Pilihan itu saya ambil karena menunggu bantuan dari pemerintah tidak pernah datang untuk kami di sini. Bantuan memberdayakan kami para perempuan di sini tak ada,” katanya.
Berkat ketekunan, Aslimah bisa memenuhi kebutuhan dapur walau masih sering kekurangan.
Kompos, bikinan Sri Hartini Haris, perempuan penyintas bencana Palu, yang tinggal di area Huntara Hutan Kota. Foto: Zulkifli Mangkau/Mongabay Indonesia
Motor penggerak
Aslimah juga jadi motor penggerak para penyintas perempuan keluar dari masalah ekonomi dengan jadi pemulung sampah plastik. Dari seorang diri mencari plastik, kini Aslimah punya beberapa kawan. Luasan area mereka mencari sampah plastik tidak hanya di sekitar huntara, sudah meluas sampai ke dalam kota.
“Jauh sekali kami mencari sampah. Biasa jalan pagi pulang siang atau sore,” ujar Aslimah.
Serupa dilakukan Sri Hartini Haris. Dia juga penyintas yang tinggal di kompleks huntara tetapi menolak tinggal dalam huntara karena tidak layak.
“Huntara itu kumuh. Dinding gipsum, lantai tripleks. Sanitasi tidak terkelola baik,” kata perempuan 56 tahun itu.
Sri satu dari sekian penyintas bencana yang vokal menyuarakan keresahan dan kesusahan di huntara.
Dia berulang kali mendatangi kantor pemerintah untuk protes antara lain soal keadilan hidup layak bagi para penyintas.
“Perempuan yang tinggal di huntara ini stres karena ekonomi keluarga mereka tidak membaik pasca bencana.”
Dia bilang, hampir semua perempuan di huntara sebagai pemulung sampah plastik, termasuk dirinya. Setiap hari, mereka turun bersama mencari plastik untuk memenuhi kebutuhan di rumah.
“Mencari plastik untuk dijual. Hasilnya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Semua untuk makan,” kata Sri.
Makin hari, para penyintas perempuan yang mau mencari plastik makin banyak. Sri pun mendirikan komunitas penyintas perempuan di huntara.
“Untuk alasan bergerak bersama maka saya inisiatif bikin kelompok ini untuk menjaga kesadaran lingkungan. Ini direspon bagus oleh ibu-ibu yang tinggal di huntara.”
Kelompok kecil itu bernama Mandiri Berkarya, terbentuk pada 2022 beranggotakan 13 penyintas perempuan yang aktif mencari sampah plastik, termasuk Aslimah.
Kelompok ini jadi penghubung antara para penyintas dengan pengepul plastik. Setiap Jumat, ada penimbangan di Sekretariat Mandiri Berkarya di rumah Sri.
Sri juga berinisiatif membuat pupuk kompos di halaman rumahnya untuk tanaman. Dia hobi menanam bunga sejak remaja.
Ada dua jenis pupuk dia buat. Kompos olahan dari campuran tanah, sekam padi, kotoran domba, dan bahan-bahan organik lain maupun pupuk cair.
“Awalnya cuman mencoba, keterusan menjadi sumber pendapatan tambahan,” kata Sri.
Sri Hartini Haris, pentintas bencana Papu, yang bikin kompos lalu bercocok tanam. Foto: Zulkifli Mangkau/Mongabay Indonesia
Awalnya dia hanya jual di rumah, sekarang sudah mulai banyak yang minat. Apalagi, sejak ada beberapa mahasiswa perlu suplai pupuk kompos untuk keperluan penelitian. Sri ketiban rezeki.
Sebelum bencana, Sri memang suka merawat tanaman. Kegigihan menanam dan merawat tanaman dia dapatkan dari keluarganya. Salah satunya, ibunya yang suka menanam bunga dan jadi ladang bisnis.
Berkat ketekunan Sri sudah banyak varietas tanaman dia budidayakan.Tak jarang ada orang minat dan membeli tanaman hias selain pupuk kompos.
“Ada cabai dan tomat hias saya tanam dan budidayakan itu. Ada beberapa juga tomat yang pencegah kanker.”
Sri bilang, menanam dapat menghilangkan stres, apalagi sebagai penyintas yang menyimpan segudang memori sesudah maupun sebelum bencana.
Dia berharap, apa yang dilakukan dilirik pemerintah.Terutama soal ketersediaan lahan untuk tanaman dan bisa mendukung perekonomian para penyintas perempuan.
“Saya dan para perempuan di sini hanya butuh bantuan alat produksi, pemerintah belum melirik bahkan tidak pernah memberikan bantuan.”
Sampah yang dikumpulkan perempuan penyintas bencana Palu di Huntara Hutan Kota. Sampah-sampah ini nanti mereka jual ke pengepul. Foto: Zulkifli Mangkau/Mongabay Indonesia
Aulia Tulus Hakim, aktivis lingkungan di Palu menilai, yang Aslimah dan para penyintas perempuan ini lakukan adalah bentuk protes kepada pemerintah. Pemerintah tak memfasilitasi warga penyintas mencari sumber penghidupan layak, misal, ciptakan peluang usaha mikro berbasis rumah tangga.
“Padahal, bisa saja para penyintas ini diberdayakan untuk melalui pelatihan yang bisa meningkatkan sumber pendapatan mereka,” kata Tulus.
Nining Rahayu, Direktur LBH APIK Sulteng mengatakan, perempuan seringkali menjadi kelompok paling rentan saat bencana terjadi.
Perempuan dan anak, katanya, juga perlu ruang aman pasca bencana. Ruang aman ini mencakup perlindungan, pemberdayaan, dan pemberian akses adil.
“Kebijakan ini untuk menjamin sumber penghidupan penyintas baik di huntara atau huntap dan memastikan ekonomi mereka stabil dan jadi wadah edukasi terhadap kelompok paling rentan pasca bencana,” katanya.
Rumah rusak dampak gempa Palu 2018. Foto: Zulkifli Mangkau/Mongabay Indonesia
******
Gempa dan Tsunami Palu-Donggala, Ratusan Orang Tewas, Infrastruktur Rusak Parah
Sumber: Mongabay.co.id