- Tahun 2024 ini, Sumatera Selatan bebas dari bencana kabut asap. Tapi, tidak berarti Sumatera Selatan bebas dari karhutla.
- Ditemukan 289 firespot dan 1.000 hotspot selama Januari-September 2024 di seluruh kabupaten dan kota di Sumatera Selatan.
- Upaya law enforcement atau penegakan hukum harus dijalankan, sebagai solusi menekan karhutla di Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan.
- Penanganan karhutla di Sumatera Selatan cukup panjang. Bahkan pemerintah Sumatera Selatan telah melahirkan peraturan daerah [Perda] pengendalian karhutla.
Sumatera Selatan, khususnya Palembang, tahun ini bebas dari bencana kabut asap. Tapi apakah itu berarti tidak terjadi kebakaran hutan dan lahan [karhutla]?
Ternyata tidak. Peristiwa kebakaran tetap berlangsung di 12 kabupaten dan kota di Sumatera Selatan. Dari Januari hingga September 2024, tercatat 289 firespot atau titik api.
Fakta tersebut disampaikan Letjen TNI Suharyanto, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB], Selasa [1/10/2024].
Dikutip dari situs BNPB, Suharyanto bersama Elen Setiadi, Pj. Gubernur Sumatera Selatan, melakukan patroli udara di Kecamatan Gelumbang, Kabupaten Muara Enim. Keduanya menemukan titik api yang ditandai kepulan asap berwarna putih membubung tinggi.
Setelah patroli udara, Suharyanto melakukan ground check ke lokasi titik api tersebut. Di lokasi, dia melihat masih ada kepulan asap yang keluar dari dalam tanah.
- Advertisement -
Suharyanto mengingatkan kepada tim satgas [satuan tugas] karhutla agar penanganan kebakaran dilakukan secara cepat, terorganisir, tepat sasaran, serta api dipastikan benar-benar padam. Dia tidak ingin bencana karhutla besar yang terjadi pada 2015 dan 2019 terulang.
“Peristiwa tersebut membuat reputasi penanganan kebakaran yang terjadi dipertanyakan berbagai pihak,” jelasnya.
Baca: Berbagai Proyek Dijalankan, Karhutla Tetap Terjadi di Sumatera Selatan. Mengapa?
Sebanyak 12 warga Sumatera Selatan menggugat tiga perusahaan ke Pengadilan Negeri Palembang atas kasus kabut asap yang terjadi menahun di Sumatera Selatani, pada 29 Agustus 2024 lalu. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesiajpg
Adios Syafri, dari Hutan Kita Institut [HaKI], sebuah lembaga nonpemerintah yang fokus pemantauan karhutla di Sumatera Selatan, menyatakan pada 2024 kebakaran hutan dan lahan masih berlangsung di Sumatera Selatan.
“Buktinya, berdasarkan citra satelit [Aqua/Tera Modis] terpantau kisaran 1.000 titik panas [hotspot] dari Januari hingga akhir September 2024. Titik api mencapai 20 persen dari jumlah hotspot tersebut. Semua titik panas itu ditemukan di semua kabupaten dan kota [17] di Sumatera Selatan,” katanya, Jumat [4/10/2024].
Data tersebut menunjukkan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
“Terutama, aspek efektivitas sistem pengendalian karhutla yang belum mengakar sampai ke tingkat tapak, seperti melibatkan masyarakat, kelembagaan dan ketersediaan sarana prasarana. Saat ini, penanganan masih terpusat [provinsi]. Padahal, ujung tombaknya adalah kelembagaan masyarakat di tingkat tapak.”
Selain itu, jelas Adios, masih ditemukan firespot di konsesi [hutan dan perkebunan]. Fakta ini patut dievaluasi terhadap pemangku konsesi dalam menyiapkan sarana prasarana karhutla.
“Masih banyak firespot atau hotspot di lahan gambut, menunjukkan tata kelolanya belum baik dan pembasahan lahan tidak berfungsi efektif.”
Menurunnya hotspot dan firespot di Sumatera Selatan saat ini, menurut dia, dikarenakan meratanya hujan yang turun.
“Tantangan cuaca lebih ekstrem [fenomena el nino] dan perubahaan iklim, menanti di depan,” paparnya.
Baca: Sumatera Selatan Punya Perda Karhutla. Tahukah Pegiat Lingkungan Hidup?
Sumatera Selatan harus menjaga rawa gambutnya agar tidak terbakar saat musim kemarau datang. Foto drone: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
Sumantri, warga Desa Talangnangka, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], mengatakan di wilayahnya masih ditemukan kebakaran atau titik api di areal gambut.
“Tapi cepat diatasi, baik oleh satgas karhutla maupun warga desa. Dibandingkan tahun 2023, titik api jauh lebih sedikit saat ini. Belum hilang, tapi mulai berkurang.”
Menurut Sumantri, lahan gambut di desanya yang luasnya sekitar 2.000 hektar, terbakar jika kemarau berlangsung lebih lama. “Untungnya, hujan sudah turun awal Oktober ini,” katanya, Jumat [4/10/2024].
Sebagai informasi, lahan rawa gambut di Desa Talangnangka yang berbatasan dengan Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor, dijadikan persawahan dan perkebunan masyarakat. Hampir setiap kali musim kemarau, wilayah ini mengalami kebakaran. Pada 2015 dan 2019, sebagian besar kawasan ini terbakar.
Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor sendiri merupakan habitat gajah sumatera di wilayah lahan basah Sumatera Selatan.
Baca juga: Lahan Basah di Sumatera Selatan Mengering, Waspada Kebakaran
Setiap kali kemarau, sebagian besar lahan basah di Sumatera Selatan, lebih cepat mengering. Foto drone: Ariadi Damara/Mongabay Indonesia
Ulah manusia
Suharyanto menambahkan, Sumatera Selatan merupakan primadona karena kebakarannya besar.
“Mereka [penyedia jasa helikopter waterbombing] maunya ke Palembang, kalau digeser ke Riau atau Jambi tidak mau. Mereka menganggap penghasilannya sangat besar. Makanya, coba kita ubah pola pikirnya. Jangan sampai karhutla menguntungkan beberapa pihak, sementara rakyat menderita.”
Di sisi lain, lanjutnya, hasil temuan menunjukkan sekitar 99 persen faktor karhutla terjadi karena ulah manusia. Masih banyak praktik pembukaan lahan dengan cara membakar dilakukan, karena dinilai lebih efisien dan ekonomis. Padahal, hal itu jelas-jelas dilarang.
“Upaya law enforcement atau penegakan hukum harus dijalankan, sebagai solusi menekan karhutla di Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan,” jelasnya.
Kekeringan di Tanjung Senai, Tanjungraja, Kabupaten OI, Sumsel, membuat ratusan kerbau rawa terancam kekurangan pakan. Foto drone: Ariadi Damara/Mongabay Indonesia
Sejarah panjang
Sumatera Selatan memiliki sejarah panjang penanganan karhutla, sejak bencana kabut asap pada 1997-1998. Bahkan, Sumatera Selatan adalah provinsi pertama di Indonesia yang melahirkan peraturan daerah [Perda] mengenai pengendalian hutan dan lahan pada 2016.
Berdasarkan catatan Mongabay Indonesia, banyak proyek atau program dijalankan di Sumatera Selatan. South Sumatra Forest Fire Management Project [SSFFMP] dilakukan pemerintah Indonesia dengan dukungan Uni Eropa, sejak Januari 2003 hingga Januari 2008. Sasarannya Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Kabupaten Musi Banyuasin [Muba], dan Kabupaten Banyuasin.
Berikutnya, proyek MRPP [Merang REDD Pilot Project] dan Bioclime-GIZ. Sebagian target wilayah di rawa gambut itu sama, atau satu bentang alam dengan yang dikerjakan SSFFMP.
Ketika terjadi karhutla besar di Indonesia pada 2015, seperti yang terjadi pada 1997-1998, Presiden Joko Widodo membentuk Badan Restorasi Gambut [BRG} yang targetnya bukan hanya mengatasi karhutla, juga merestorasi atau membasahi lahan gambut. Tujuannya, agar tidak mudah terbakar pada musim kemarau.
Selain itu, dilaksanakan proyek KELOLA Sendang [Sembilang-Dangku] dengan pendekatan lanskap. Juga, proyek lain yang dikerjakan sejumlah lembaga swadaya masyarakat [LSM] dengan dukungan lembaga donor hingga saat ini.
Kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan bencana kabut asap di Sumatera Selatan, dimulai pada 2 November 1967. Bencana tersebut berulang 30 tahun kemudian yakni 1997-1998. Selanjutnya, terjadi dalam kurun waktu lebih pendek, yakni 2006, 2015, dan 2019.
Lingkungan Rusak, Warga Sumatera Selatan Gugat Korporasi Penyebab Karhutla
Sumber: Mongabay.co.id