- Setelah delapan orang nelayan ditangkap patroli Malaysia dan dikenakan hukuman penjara atau denda, giliran empat orang nelayan Batam ditangkap patroli Singapura.
- Meskipun sudah dilepaskan kembali, pemerintah diharapkan memberikan perlindungan khusus kepada nelayan perbatasan.
- Mulai dari memberikan bantuan alat GPS, sosialisasi, hingga pemerintah harus menjalin MoU antar negara agar penangkapan dilakukan kepada nelayan kecil tidak terjadi lagi.
- Empat orang nelayan yang ditangkap itu dalam perjalanan dikembalikan ke Indonesia pada Hari Jumat, 4 Oktober 2024. Mereka mendapat surat peringatan dari otoritas Singapura.
Kapal nelayan tradisional di pesisir Pulau Batam, Kepulauan Riau, dikabarkan ditangkap Police Marine Singapore, pukul 10.30 WIB, Kamis (3/10/2024). Kapal dengan empat orang nelayan tersebut ditengarai melaut di perairan Singapura.
Kejadian penangkapan itu viral di media sosial. Dalam sebuah video berdurasi 24 detik menunjukkan kapal ikan nelayan tradisional tersebut tampak digiring oleh kapal Police Marine Singapore.
“Ada nelayan kita dari Pulau Jaloh ketangkap oleh (Police) Marine Singapora karena terlewat perbatasan Singapura,” kata Sapet salah seorang nelayan Batam kepada Mongabay meneruskan informasi tersebut.
Sapet mengatakan, informasi yang didapatkan nelayan tersebut ditangkap karena melaut sampai ke perbatasan. “Mereka sedang memasang bubu ikan,” katanya.
Empat nelayan tersebut terdiri dari satu orang kapten, Yanto dan tiga orang anak buah kapal (ABK) bernama Zulkifli, Indrawan Said, Jurandi. Semua nelayan ini berasal dari Pulau Jaloh, Belakang Padang, Batam. Pulau tersebut tepat berada dekat dengan Singapura.
Kepala Dinas Perikanan Kota Batam Yudi Admajianto membenarkan penangkapan nelayan tersebut. Namun, Yudi menyampaikan informasi terbaru bahwa empat orang nelayan tersebut akan dipulangkan otoritas Singapura ke Batam pada Jumat (4/10/2024).
- Advertisement -
Sebelum dipulangkan ke empat nelayan tersebut diberikan surat peringatan oleh otoritas Singapura. “Peringatan untuk tidak mencari ikan di perairan Singapura lagi,” katanya.
Baca : Akhirnya Malaysia Pulangkan Nelayan Natuna Korban Diplomasi Perbatasan
Kapal nelayan Batam yang ditangkap Polisi Maritim Singapura, Kamis (03/10/2024). Foto : tangkapan layar video yang diterima Mongabay Indonesia
Nelayan Harus Dibekali Alat GPS
Sebelumnya beberapa nelayan di Kota Batam terpaksa melaut ke perbatasan karena ikan di perairan tersebut lebih banyak dibandingkan di pesisir Batam. Hal itu juga disampaikan, Ketua umum Lembaga Swadaya Tempatan Nelayan Perikanan Kepri (Lestari) Eko Fitriandi.
Eko menjelaskan, sebenarnya nelayan Kota Batam yang melaut di perbatasan Batam – Malaysia – Singapura dilema. Pasalnya dengan jumlah nelayan yang mencapai 15.000 orang, mereka harus merebut area tangkap yang terbatas di Pulau Batam.
Tidak hanya rebutan sesama nelayan, nelayan Batam juga harus berhadapan dengan kapal-kapal besar pada alur pelayaran, baik pelayaran domestik dan internasional yang membawa penumpang atau barang di perairan Batam.
“Kalau mereka menangkap daerah Lingga dan Karimun, biaya operasional tinggi, kapal mereka juga kecil, belum tentu juga hasilnya maksimal nanti. Itu dilematisnya,” katanya.
Sehingga, nelayan terpaksa bermain di zona perbatasan. “Terkadang nelayan kita sudah tahu itu perbatasan, masuk (ke Singapura), nampak (police) marine (Singapore) mereka masuk lagi ke Indonesia. Itu fakta yang saya dapatkan di lapangan,” lanjutnya.
Begitu juga dilihat dari kondisi lautnya, kata Eko. Laut Singapura masih bagus kondisinya, ikan masih banyak, dan karangnya juga bagus.
Secara diplomasi, lanjutnya, Indonesia belum punya nota kesepemahaman (MoU) dengan Singapura terkait aturan nelayan kecil di perbatasan. Sedangkan dengan Malaysia sudah ada MoU, meskipun beberapa kali Malaysia tetap melanggar dengan menangkap kapal nelayan tradisional.
“Kita berharap kerjasama itu juga dilakukan dengan Singapura, dimana di dalamnya nanti diatur juga, bahwa nelayan kecil kalau memang melaut masuk perairan Singapura, jangan ditangkap, tetapi diingatkan mereka sudah lewat batas. Kecuali nelayan tersebut pelaku kriminalitas,” katanya.
“Diharapkan kedepan pemerintah baru ini, buat aturan kerjasama dengan Singapura, karena riskan untuk nelayan Kepri, terutama yang berada di perbatasan seperti daerah Natuna, Batam dan Karimun,” tambahnya.
Baca juga : Nelayan Natuna Disidangkan di Malaysia, Diplomasi Maritim RI Dinilai Lemah
Seorang nelayan tradisional dari Pulau Batam, Kepulauan Riau, yang melaut di daerah perbatasan antara Singapura-Indonesia. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia
Eko juga meminta pemerintah daerah baik itu Provinsi Kepulauan Riau ataupun Kota Batam memberikan bantuan radar atau GPS kepada nelayan yang melaut di perbatasan. Rata-rata nelayan tidak memiliki radar atau GPS di atas kapal mereka.
“Kalau sudah punya alat itu tidak ada lagi alasan melanggar (perbatasan negara). Kami berharap pemerintah hadir terhadap nelayan,” katanya.
Sedangkan solusi jangka panjangnya, lanjutnya, Pemerintah Kota Batam melalui dinas terkait harus mencari solusi terhadap ribuan nelayan tersebut. Yaitu solusi lapangan pekerjaan untuk mereka mencari nafkah, ditengah terbatasnya zona tangkap mereka di Batam.
Apalagi pesisir Batam saat ini kondisinya sudah rusak karena aktivitas pembangunan yang ada. Menurut Heri, salah satu solusi jitu adalah mendorong nelayan membuat usaha budi daya sebagai alternatif pendapatan ketika laut tidak bisa menghasilkan.
“Kalau nelayan kita diberikan keterampilan pekerjaan di darat, saya rasa itu kurang efektif, mereka harus tetap berhubungan dengan laut,” katanya.
Yudi Admajianto membenarkan masih banyaknya nelayan yang tidak memiliki GPS saat melaut. Sehingga mereka tidak mengetahui garis perbatasan. “Bisa jadi nanti jadi masukan dan evaluasi bagi kita, nanti kita berikan bantuan (GPS),” katanya.
Sedangkan untuk sosialisasi soal laut perbatasan tersebut berada di pemerintah Provinsi Kepri. “Mungkin harus lebih banyak lagi edukasi dan sosialisasi,” katanya.
Yudi tidak membantah salah satu penyebab nelayan melaut ke perbatasan karena laut di pesisir Batam ikannya sudah tidak banyak lagi. “Jadi laut perbatasan menjadi kebiasaan nelayan untuk mencari ikan, karena ikannya masih banyak disitu (Singapura),” katanya.
Baca juga : Cerita Nelayan Natuna, Terjepit Antara Kapal Cantrang dan Kapal Asing
Kapal nelayan tradisional Pulau Jaloh Batam yang ditangkap Polisi Singapura. Foto Istimewa
Absennya Aparat Indonesia
Peneliti Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Imam Prakoso juga menduga, nelayan di perbatasan Batam dan Singapura tidak dilengkapi GPS, sehingga tidak tahu apakah sudah melanggar batas atau tidak. “Selain itu bisa tekanan konflik dan rusaknya fishing ground di dekat domisili nelayan menjadi penyebab, sehingga nelayan harus menangkap ikan dekat perbatasan,” katanya.
Menurut Imam, aparat Indonesia jarang hadir hingga perbatasan untuk mengawal aktivitas nelayan. “Jadi tidak ada yang mengingatkan kalau nelayan-nelayan Indonesia sudah melanggar batas,” katanya.
Sedangkan Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati meminta pemerintah kembali duduk bersama lintas stakeholder untuk memberikan perlindungan kepada nelayan kecil, terutama yang ada di perbatasan. “Masalah nelayan perbatasan yang ditangkap negara lain ini adalah masalah menahun yang sudah tua, ini sering terjadi, pasalnya batas laut itu tidak nampak pagarnya, ini harus menjadi perhatian,” tambahnya. (***)
Nasib Nelayan Natuna: Terusir Dari Laut Sendiri, Ditangkap di Laut Malaysia
Sumber: Mongabay.co.id