- Program ekonomi biru menjadi andalan Pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan segala potensi yang ada di wilayah pesisir dan laut. Program tersebut diturunkan dalam berbagai program yang menjadi prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
- Di antara program tersebut, adalah Penangkapan Ikan Terukur (PIT) berbasis kuota yang dijadwalkan dimulai pada 1 Januari 2025 mendatang. Kemudian, program pemanfaatan sedimentasi di laut yang sudah diundangkan secara resmi
- Tetapi, program yang dibuat pada masa kepemimpinan Sakti Wahyu Trenggono sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan itu, dinilai sebagai bagian dari capaian puncak Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan perampasan ruang laut
- Puncak yang dimaksud, adalah tahun 2023 yang menjadi momen ironi bagi KKP sepanjang 10 tahun bekerja. Tiga kali pergantian menteri, ada beragam fluktuasi kebijakan yang bermula dari perlindungan penuh menjadi kebijakan liberalisasi
Sektor kelautan dan perikanan (KP) di Indonesia mengalami fluktuasi yang tajam selama sepuluh tahun terakhir. Kondisi itu mengubah peta dari sektor yang dilindungi penuh oleh Pemerintah Indonesia, menjadi sektor yang dibuka penuh menuju liberalisasi.
Selama proses perubahan itu, 2023 mencatatkan diri sebagai tahun terburuk karena menjadi puncak dari perampasan ruang laut. Kesimpulan itu dipaparkan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia saat bertemu media belum lama ini di Jakarta.
Penilaian sebagai tahun puncak, adalah karena banyak kebijakan yang dibuat pemerintah tidak banyak melibatkan publik substansial. Juga, pemerintah lebih fokus melaksanakan kebijakan untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi saja.
Kemudian, ketidaksiapan logistik, politik, dan finansial juga menjadi faktor penilaian kenapa 2023 menjadi puncak kegagalan. Selain, karena setiap kebijakan dibuat dengan mengedepankan solusi bersifat teknikal dibandingkan dengan solusi permanen.
Manajer Hak Asasi Manusia (HAM) DFW Indonesia Miftachul Choir melanjutkan bahwa puncak perampasan ruang laut terjadi pada 2023, adalah karena ada potensi oligarki laut, serta pengabaian dampak lingkungan dan sosial.
Dia mengatakan, perubahan sektor KP dari perlindungan penuh kepada liberalisasi, sudah dimulai sejak pergantian Menteri Kelautan dan Perikanan dari Susi Pudjiastuti kepada Edy Prabowo dan berlanjut ke Sakti Wahyu Trenggono.
- Advertisement -
Proses tersebut terus berjalan sampai mencapai puncak saat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan kebijakan terbaru mereka sebagai program prioritas yang menjadi turunan dari penerapan ekonomi biru di Indonesia.
Program tersebut tidak lain adalah Penangkapan Ikan Terukur (PIT) berbasis kuota yang dijadwalkan dioperasikan pada 1 Januari 2024 dan kemudian dilakukan relaksasi menjadi 1 Januari 2025. Kemudian, ada juga kebijakan pemanfaatan sedimentasi di laut.
Baca : Penangkapan Ikan Terukur Dijanjikan Mulai Beroperasi Per 1 Januari 2025
Kegiatan pendaratan ikan tuna oleh salah satu perusahaan di Pelabuhan Benoa, Bali. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia
Dua kebijakan tersebut, bagi Miftachul sudah menegaskan bahwa pemerintah kini lebih fokus pada pengembangan ekonomi membabi buta dengan menghalalkan segala cara. Hal itu berbeda saat Susi Pudjiastuti mulai memimpin KKP pada 2014 dan menerapkan kebijakan untuk perlindungan penuh.
Pada awal kepemimpinannya, perempuan asal Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat itu membuat kebijakan moratorium izin kapal berukuran 30 gros ton (GT) ke atas yang merupakan kapal bekas pakai investor asing.
Kemudian, pada tahun yang sama 2014, dia menerapkan kebijakan larangan alih muat (transshipment) hasil tangkapan ikan di tengah laut. Larangan itu membuat hasil tangkapan harus didaratkan langsung di pelabuhan perikanan.
Dua kebijakan tersebut menjadi kontroversial saat itu, karena para pemilik kapal terbiasa dengan kebijakan lama yang bebas dan bersifat eksploitatif. Namun, dua kebijakan tersebut bertujuan untuk memulihkan ekosistem laut dan pesisir akibat eksploitasi yang berjalan lama.
Isu KP Minim Perhatian Publik
Selain sudah berproses menuju kebijakan liberalisasi, Miftchaul menyebut kalau isu kelautan dan perikanan saat ini masih belum mendapatkan perhatian luas dari publik, pemerhati demokrasi, dan HAM. Serta, hanya melihat isu KP dari sisi konservasi dan ekonomi.
Kenapa sampai sekarang belum mendapat perhatian luas, adalah karena sumber daya laut masih belum dipandang sebagai sumber daya, yang berarti ada potensi untuk memperebutkan, mempertentangkan, dan ada upaya untuk menambah kekuatan.
Kemudian, HAM perlu dipersoalkan, karena ada tanggung jawab negara dalam melindungi setiap orang yang terlibat dalam industri kelautan dan perikanan. Atau, mempersoalkan demokrasi, karena ada kemunduran yang dialami Indonesia dan berdampak pada dinamika kelautan dan perikanan.
“Ekologi politik. Terdapat penguasaan atas sumber daya perikanan melalui privatisasi yang mengakibatkan kerusakan pada sumber daya kelautan dan perikanan,” jelasnya.
Baca juga : Akankah 2024 Lebih Baik untuk Sektor Kelautan dan Perikanan Indonesia?
Aktivitas bongkar muatan hasil tangkapan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia
Akan tetapi, dari semua persoalan yang sedang menggerogoti sektor KP sampat sekarang, adalah belum adanya jawaban siapa pelaku oligarki laut. Praktik politik ekonomi pada subsektor perikanan tangkap itu, merupakan praktik untuk melakukan eksploitasi apa untuk mendapatkan apa.
Miftachul kemudian mengutip buku yang ditulis bersama oleh Liam Campling, Elizabeth Havice, Penny Mccall Howard dan terbit pada 2012 berjudul “The Political Economy and Ecology of Capture Fisheries: Market Dynamics, Resource Access and Relations of Exploitation and Resistance“.
Merujuk buku tersebut, studi politik ekonomi perikanan adalah upaya untuk mengungkapkan bagaimana ikan, sebagai sumber daya, ditangkap untuk kemudian dikomodofikasi oleh pemilik modal. Untuk mengetahui strategi produksi, politik-ekonomi perikanan mendorong investigasi terhadap strategi produksi.
“Dan struktur industri untuk mengetahui kerja-kerja harian, upah buruh per komoditas, serta relasi antara pemilik modal dan pekerja,” terangnya.
Secara spesifik, dia memaparkan isu perikanan yang saat ini mengemuka. Pertama, ikan merupakan sumber daya makanan yang terbaharukan, akan tetapi bersifat berpindah-pindah dan musiman, sehingga sulit pengaturan akan menjadi tantangan.
Kedua, pemilik modal dan produsen mengalami kendala geografis dan jarak untuk menjaga kualitas ikan dan strategi produksi. Ketiga, hasil produk perikanan bersifat mudah mengalami penurunan kualitas dan volatilitas
Keempat, pekerja perikanan bersifat prekariat, memiliki upah, jam kerja, hasil kerja yang tidak terprediksi, terisolasi, dan jauh dari pemberi kerja. Kelima, terdapat berbagai lapisan dalam proses industri: anak buah kapal (ABK), kapten, pengurus, agen, pemilik kapal, perusahaan pengolahan.
“Akibat sifat kerja yang prekariat, terdapat kendala dalam berorganisasi dan berserikat,” ujarnya menyebutkan poin keenam spesifikasi isu perikanan.
Baca juga : Mengurai Konflik Pemanfaatan Ruang Laut dan Pesisir
Data Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menjelaskan para perempuan nelayan mampu memberikan kontribusi ekonomi lebih dari 60 persen bagi perekonomian keluarga. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Tentang kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) yang disebut DFW Indonesia sebagai pemicu terjadinya puncak perampasan ruang laut, Miftachul memaparkan bahwa itu akan berjalan pada enam zona yang mencakup 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).
Kabupaten Kepulauan Aru sebagai bagian dari zona 03, saat ini sedang melaksanakan pemodelan PIT bersama Kota Tual. Kapal perikanan yang beroperasi untuk uji coba tersebut didatangkan dari kawasan Pantai Utara (Pantura) Jawa sebanyak 187 unit.
Seluruh kapal tersebut akan beroperasi di perairan laut Arafura, laut Aru, dan laut Timor bagian Timor yang menjadi area WPPNRI 718. Kapal-kapal tersebut akan mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan yang telah ditetapkan KKP, sehingga tidak lagi kembali ke Pulau Jawa.
Untuk pelaksanaan modeling PIT di Tual, kegiatan perikanan akan dipusatkan di Pelabuhan Perikanan (PP) Tual dan PPN Tual sebagai penyangga kegiatan administrasi perizinan kapal perikanan. Sedangkan di Kepulauan Aru akan dipusatkan di PP Benjina.
Kepemilikan Aset
Walau sedang diuji coba untuk PIT, namun Miftachul menyebut kalau struktur kepemilikan aset darat dan laut di Kepulauan Aru hanya dikuasai oleh segelintir orang saja. Aset darat mencakup pabrik pengolahan, pembekuan, dan pekerja.
Kemudian, aset laut mencakup kapal nelayan tradisional, nelayan lokal, kapten, dan awak kapal perikanan (AKP). Lalu, kerja sama operasional juga terjadi antara pemilik kapal dengan industri pengolahan, ditandai dengan kerja sama operasional atau juali-beli eksklusif ke perusahaan.
“Kredit kapal, nelayan tradisional memiliki kapal dengan kredit atau pinjaman yang diberikan oleh pengusaha,” ucapnya.
Saat permasalahan di atas muncul, permasalahan tentang pekerja perikanan juga masih terus mengemuka. Permasalahan berputar pada tidak adanya kesadaran pekerja pada alur produksi; kerentanan akibat cuaca, musim, dan penurunan kualitas tangkapan; serta tidak ada asosiasi pekerja yang menaungi kepentingan pekerja.
Baca juga : Kematian 6 AKP KM Sri Mariana Ungkap Realita Gelap Industri Perikanan Indonesia
Plt Dirjen PSDKP KKP Pung Nugroho Saksono dengan AKP KM MUS yang ditangkap oleh KP Orca 06 di Laut Arafura, Maluku karena melakukan transshipment ilegal dengan melibatkan dua KIA, yaitu Run Zeng 03 dan Run Zeng 05. Foto : PSDKP KKP
Pada pertemuan dengan media, DFW Indonesia juga memetakan relasi kerja kapitalistik pada sektor kelautan dan perikanan. Kata Miftachul, AKP direkrut oleh kapten yang umumnya adalah pengangguran, tidak tamat pendidikan sekolah dasar (SD), dan kesulitan mencari pekerjaan karena tidak ada lagi pekerjaan di daerah asalnya.
Kemudian, AKP juga tidak diharuskan memiliki identitas kartu tanda penduduk (KTP), pengalaman bekerja di laut, atau pengalaman menangkap ikan. Melamar pekerjaan sebagai AKP cukup dengan modal nekat dan peluang mencari uang.
Relasi juga terjalin, akibat kondisi ekonomi yang rentan dialami calon AKP dan memicu terjadinya manipulasi yang dilakukan oleh perekrut dengan iming-iming gaji tinggi. Selain itu, calon AKP juga dijanjikan mendapat uang panjar atau utang yang harus dibayar saat sudah resmi bekerja.
Tak hanya itu, calon AKP juga harus menanggung biaya pembuatan buku pelaut, perjanjian kerja laut, dan syarat-syarat lainnya secara mandiri. Jika tidak memiliki kemampuan membayar, maka calo akan memberikan pinjaman uang kepada calon AKP.
Saat sudah resmi bekerja, AKP akan diajari cara menangkap ikan oleh kapten dengan durasi kerja yang bervariasi, bergantung pada alat tangkap. Umumnya durasi kerja berlangsung selama 14-16 jam, dan itu mengikuti pada target tangkapan yang diinginkan oleh pemilik kapal.
Lebih menyedihkan, kapitalistik memberlakukan pembagian status di atas kapal beserta fasilitasnya. Kapten misalnya, memiliki ruangan dengan alat pendingin ruangan, televisi, kulkas, dan kasur. Sementara AKP hanya memiliki kasur yang dipakai bersama teman-temannya, dan beberapa kapal tidak menyediakan kamar mandi.
Untuk konsumsi, disediakan perbekalan oleh kapten. Namun sering juga ditemukan perbekalan diperjualbelikan dan dihitung berdasarkan utang ABK. Risiko kerja meliputi bahaya racun ikan, alergi, duri, peralatan kapal, hingga tenggelam.
“Sistem pengupahan bagi hasil dengan besaran 50:50 antara kapten dan pemilik kapal, serta 50:50 antara kapten dan seluruh ABK. ABK tidak mengetahui kemana hasil perikanan dijual,” pungkasnya.
Besarnya risiko menjadi AKP, memicu banyaknya kejadian yang tidak menyenangkan dan melanggar hukum di atas. Dampaknya, AKP merasakan perlakuan tidak menyenangkan dan merugikan karir mereka di atas kapal.
Baca juga : Kerja Sampai Mati: Siksaan terhadap ABK Indonesia di Kapal Tuna Tiongkok
Evakuasi enam mayat awak kapal perikanan (AKP) KM Sri Mariana yang meninggal saat berlayar di sekitar Pulau Tempurung, Merak, Kota Cilegon, Banten, Minggu (4/8/2024). Foto : Polda Banten
Rentannya Eksploitasi AKP
Pengacara Publik DFW Indonesia yang juga terlibat dalam National Fisher Center (NFC) Wildanu Syahril Guntur mencatat AKP yang direkrut dari calo melalui sosial media seperti Facebook paling sering mendapatkan pelanggaran hak.
“Ada eksploitasi yang berujung dengan upah yang tidak dibayarkan dan kondisi kerja yang tidak layak dan tidak sesuai,” ungkapnya.
Kemudian, sebelum calo melakukan penempatan AKP, pola yang dipakai adalah adalah menjemput dengan kendaraan travel ke beberapa titik di kota asal calon AKP. Selanjutnya, AKP akan dikumpulkan di rumah penampungan sampai penempatan bekerja di atas kapal perikanan dilakukan.
NFC juga mencatat, terdapat kasus AKP yang sudah direktur calo melalui facebook untuk ditempatkan pada kapal perikanan bendera Indonesia. Tetapi, setelah proses perekrutan dilakukan, janji tersebut tidak diwujudkan, dan justru di tengah laut dipindahkan ke kapal ikan asing (KIA).
Lalu, pendampingan kasus kecelakaan kerja yang melibatkan AKP dan dinyatakan hilang oleh Badan SAR Nasional (Basarnas). Pihak pengurus dan/atau pemilik kapal tidak beritikad baik dalam melakukan penyelesaian kasus tersebut.
“Pengurus dan/atau pemilik kapal beritikad baik setelah dilakukan mediasi yang difasilitasi oleh KKP,” ujarnya.
Wildanu menjelaskan, ada sejumlah budaya dan modus yang dilakukan calo kepada AKP yang akan ditempatkan bekerja pada kapal perikanan. Pertama, calo akan menjanjikan upah yang tinggi dan ketersediaan makanan rokok selama bekerja di atas kapal.
Kedua, menyediakan dan menjanjikan bebas biaya penjemputan sebelum bekerja dan biaya pemulangan setelah bekerja. Ketiga, memberikan kasbon kepada AKP yang akan berangkat bekerja di kapal perikanan. Keempat, AKP tidak berkesempatan untuk membaca perjanjian kerja laut.
Kemudian, AKP yang bekerja di kapal perikanan juga dijanjikan calo tidak akan mendapatkan pemotongan akomodasi sebelum, saat, dan setelah bekerja. Tetapi, janji tersebut hampir tidak terwujud, karena calon akan memangkas hak-hak yang seharusnya diterima AKP saat setiap proses bekerja sedang berjalan.
Termasuk, dengan menerapkan sistem pengupahan dan jerat utang melalui pembayaran uang di muka, dengan tujuan diberikan kepada keluarga. Tapi sayang, uang tersebut harus dibayar pemotongan upah yang akan diterima.
“Dalam beberapa kasus, kasbon digunakan oleh pemilik usaha untuk mendapat kerja dan sarana mengendalikan pekerja melalui jerat utang,” tegasnya. (***)
Perdagangan Orang di Kapal Perikanan Indonesia Terus Terjadi?
ekologi pesisir, featured, kerusakan lingkungan, kesejahteraan nelayan, Konflik Sosial, pencemaran lingkungan, penegakan hukum, perikanan budidaya, Perikanan Kelautan, perikanan tangkap, ruang laut
Sumber: Mongabay.co.id