- Para perempuan tani di Yogyakarta ini berupaya menerapkan pertanian lestari yang sudah mereka terapkan turun-temurun. Pola pertanian ini harus menghormati segala macam mahkluk hidup, termasuk hewan-hewan yang selama ini dianggap hama sekalipun.
- Munculnya revolusi hijau pada era Presiden Soeharto, menjadi awal mula malapetaka pertanian di Indonesia. Benih-benih rekayasa genetik dan pestisida kimia besar-besaran dari perusahaan multinasional masuk menambah daftar perusakan ibu bumi.
- Petani pun jadi ketergantungan pada produk-produk perusahaan-perusahaan itu. Pengetahuan lokal turun-temurun mulai bergeser. Ketergantungan pada industri pertanian itu coba Kelompok Perempuan Tani Karisma respon dengan kembali pada pertanian lestari seperti dulu.
- Sana Ulaili dari Badan Eksekutif Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta mengatakan, regulasi perlindungan terhadap perempuan tani lestari masih belum ada. Hal ini, jadi beban berlapis bagi kelompok perempuan tani baik secara kultural maupun struktural.
- Advertisement -
Herni, Tutik, dan Kristin berjalan perlahan di bawah rindang pohon bambu yang dikelilingi aliran sungai di kaki Pegunungan Menoreh, Kulon Progo, Yogyakarta. Mereka membawa sesaji berupa nasi tumpeng, ayam ingkung, ikan petek, dedaunan dan aneka rupa perlangkapan lain untuk melakukan ritual wiwit.
Ritual ini untuk pembukaan Festival Perempuan Istimewa pada medio Sepember lalu, di Bale Klegung, Dusun Jogobayan, Desa Banjar Arum, Kecamatan Kalibawang. Dalam bahasa Jawa, wiwit bermakna sebagai proses memulai menyiapkan benih saat masa tanam. Begitupun memulai pada masa panen. wiwit merupakan bentuk rasa syukur atas hasil bumi yang selama ini diterima para petani.
“Wiwit itu memulai, wiwit mulo, buko, bahwa itu kan berarti mulai pertama. Karena wiwit ini ngambil bibit yang nanti kita tanam. Tapi wiwit juga bisa diartikan memulai untuk panenan itu,” ujar Martina Astuti, nama lengkap Tutik.
“Jadi spiritualitasnya syukur, terus kita melestarikan warisan nenek moyang. Lalu, dengan kita diberi panenan kita bisa berbagi. Karena dari dulu yang namanya wiwit tidak dimakan sendiri.”
Ritual wiwit juga menyampaikan pesan bahwa pertanian lestari yang mereka terapkan turun-temurun itu harus menghormati segala macam mahkluk hidup, termasuk hewan-hewan yang selama ini dianggap hama sekalipun.
“Hewan-hewan yang berupa hama itu pun bukan kita bunuh, tapi kita atur, kelola biar hidup bersama tapi tidak mengganggu,” katanya.
Seperti ikan petek dalam sesaji, kata Tutik, berfungsi memancing belalang agar tidak memakan tanaman padi. Tutik dan petani lain juga pakai yuyu (kepiting sawah) yang ditaruh di sabut kelapa sebagai pestisida alami untuk mengalihkan perhatian hewan yang akan memakan padi.
Sebelum terjun ke dunia pertanian, Tutik adalah guru SMA swasta Katolik di Kota Surabaya. Dia memutuskan pulang kampung sejak 2004 karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan, ditambah anak pertamanya juga sakit-sakitan.
Sejak itulah, dia mulai berkebun di sekitar rumah. Sesekali Tutik membantu bapaknya ke sawah menggunakan pola pertanian sawah tadah hujan. Saat musim hujan, lahan untuk tanam padi, musim kemarau untuk palawija.
Tahun 2009, Tutik mendapatkan lahan pinjaman dari kepala dukuh setempat dan pertama kalinya menggarap sawah sendiri. Adanya, irigasi membuat Tutik bisa menanam padi dua kali. Begitupun saat musim kemarau tetap bisa ditanami dengan tanaman palawija seperti jagung.
Tutik sudah sejak kecil mengenal dunia pertanian karena sering diajak orang tuanya ke sawah. Kebiasaan ini pun dia terapkan pada ketiga anaknya, supaya mereka mengenal dunia pertanian. Suaminya sebagai guru ikut bertani di sela kesibukannya.
“Kalau anakku mesti saya ajak ke sawah dari kecil, kan punya banyak teman, temannya gak punya sawah mesti ikut outbound. Kalau pas musim ditraktor gitu asyik, kan.”
Kebun di pekarangan rumah Tutik pun menjadi laboratorium pengetahuan bagi anak-anak. Dia tanami kebun itu dengan aneka tanaman seperti cabai, tomat, terong, murbei, kelor dan tanaman empon-empon untuk bumbu dapur.
Dia juga memelihara sapi, kambing, dan babi untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Sedangkan kotoran ternak untuk pupuk kandang alami bagi kebun, sawah, maupun para tetangga yang membutuhkan.
Selain pengetahuan dari keluarga, Tutik belajar dari berbagai buku maupun internet. Di samping itu, ada pertemuan rutin di gereja yang menjadi pendorong penguatan pengetahuan dan praktik soal pertanian lestari. Salah satunya, dengan Herni yang kebetulan satu gereja dan aktif menggerakan petani perempuan di wilayahnya.
“Kita misal, kalau mau bertani lestari harus golong gilig, itu artinya sepenuh hati, gak miyar miyur, gitu, jadi tidak setengah-tengah.”
Kristin (kiri), Tutik (tengah), Herni (kanan) sedang membuka ritual wiwit dan acara Festival Perempuan Istimewa di Bale Klegung. Foto: Toto Sudiarjo?Mongabay Indonesia
Lahirnya Perempuan Tani Karisma
Dusun Jogobayan malam itu tampak sunyi dan tenang. Awan putih masih terlihat samar-samar tersorot pantulan cahaya bulan purnama yang melingkar pada malam itu. Sebagian orang tengah melepaskan peluh setelah seharian beraktivitas penuh di lahan.
Kristina Herni Saraswati , nama lengkap Hemi, tetap terjaga di tengah malam sekalipun usia sudah kepala lima. Dia masih membereskan tumpukan karung beras untuk menyiapkan pesanan dari pelanggan.
Di antara tumpukan karung itu, terdapat kedelai, kacang hijau, dan hasil panen lain. Di rumahnya, dia juga menampung beberapa hasil panen dari para petani perempuan lain untuk disalurkan kepada pelanggan.
Di garasi samping rumahnya, terdapat papan hitam bertuliskan Sekretariat Karisma. Di tempat itu pula para perempuan sering berkumpul, berbincang dan memilah hasil panen. Dari situlah awal mula lahir Kelompok Tani Karya Mandiri Lestari (Karisma) sekitar 2019 dan resmi pada 2020.
“Jadi dari sekian, katakanlah 20 orang praktik seperti yang kita harapkan pun misale dua tiga orang, saya anggap itu sudah berhasil,” kata Herni.
Di dusun itu, awalnya belum ada kelompok tani perempuan, hanya ada kelompok tani dengan anggota laki-laki. Saat Kelompok Tani Karisma berdiri, tidak semua suami mengizinkan.
“Ya, ada yang memperbolehkan mereka kumpul, ada juga yang tidak memperbolehkan awalnya. Tapi lama-lama memberi kesempatan,” katanya.
“Jadi ibu-ibu sudah bisa menentukan sendiri, ibu-ibu sudah punya power, posisi untuk menentukan. Mereka (para suami) juga rata-rata sudah mendukung, jadi ada kerjasama pertanian.”
Sebelum aktif di Karisma, Herni tinggal di Desa Giripurwo, Kecamatan Girimulyo, Kulon Progo, bersama dengan orang tuanya. Pada 1998, Herni mulai aktif mengikuti pertemuan dan pelatihan di berbagai forum. Salah satunya, pelatihan pengembangan ekonomi berspektif gender yang oleh Koalisi Perempuan Indonesia.
Kemudian Herni mulai tertarik bergabung dengan Sekretariat Pelayanan Tani Nelayan Hari Pangan Sedunia (STPNHPS) dan mengikuti pertemuan di kampung-kampung yang rata-rata diisi laki-laki.
“Pertemuan itu pertemuan bapak-bapak semua, terus saya masuk di situ. SPTNHPS memperkenalkan waktu itu awalnya langsung kerjasama untuk pengembangan benih lokal padi Pandan Wangi sama Mentik Wangi,” katanya.
Dari situ, Herni bersama kelompok mulai aktif untuk mengembangkan benih-benih lokal. Kemudian bergerak dengan kelompok lain untuk pengembangan ternak kambing. Lalu ke pengambangan usaha tani yang berisi kelompok ibu-ibu bernama Amri Lestari yang sempat digagas almarhum ibunya.
Salah satu produk yang kelompok itu kembangkan adalah membuat minyak kelapa. Waktu itu, harga kelapa sangat murah,dengan jadi minyak kelapa, dapat meningkatkan nilai tambah.
“Bagusnya lagi, setiap orang yang punya gawe (acara) di kampung kami itu selalu menggunakan minyak yang diperoduksi kelompok kami. Meskipun sudah ada minyak sawit, tetapi kami lebih menghargai minyak yang kami bikin sendiri.” katanya.
Dari situ, menular dan muncul perwakilan-perwakilan dari setiap dusun serta membentuk kelompok bernama Ngudi Lestari. Jadi, aktivitas Herni mampu menggerakkan dua kelompok tani perempuan sekaligus.
Pada 2006, saat gempa meluluhlantakkan sebagian Yogyakarta, Herni pun pindah ke tempat tinggalnya yang sekarang di Desa Banjar Arum. Dia mulai bergabung dengan Kelompok Tani Sri Rejeki yang berisi sebagian besar laki-laki.
“Itu kelompok bapak-bapak. Terus saya bilang gimana kalau saya masuk di situ, saya perempuan sendiri,” katanya.
Herni sudah memiliki cukup pengalaman sebelumnya dan mendirikan Kelompok Tani Sabar Subur sampai sekarang. Namun, katanya, karena anggota rata-rata lansia, hingga tak ada lagi regenerasi yang bisa melanjutkan.
Para petani perempuan yang bertahan dan bertekad tak mau ada tambang batubara di Desa Sumber Sari. Foto: Abdallah Naem/ Mongabay Indonesia
Merawat benih meruwat hama
Munculnya revolusi hijau pada era Presiden Soeharto, menjadi awal mula malapetaka pertanian di Indonesia. Benih-benih rekayasa genetik dan pestisida kimia besar-besaran dari perusahaan multinasional masuk menambah daftar perusakan ibu bumi.
Petani pun jadi ketergantungan pada produk-produk perusahaan-perusahaan itu. Pengetahuan lokal turun-temurun mulai bergeser. Ketergantungan pada industri pertanian itu coba Kelompok Perempuan Tani Karisma respon dengan kembali pada pertanian lestari seperti dulu.
Awal bertani, Herni mendapat kepercayaan dari mantan kepala dusun setempat dan dapat lahan 3.000 meter untuk jadi demonstration plot (demplot).Mereka mulai menanami lahan degan benih melati, pandan wangi, mentik susu, dan beras merah sampai panen.
Herni juga menanam di lahan dua petak milik orang tuanya. Menurut dia, benih padi lokal di Indonesia ada sekitar 4.500 benih. Itupun belum termasuk jenis umbi-umbian. Dengan keragaman jenis pangan itu kebutuhan serat tetap terjaga sekaligus bermanfaat bagi kesehatan.
“Sebenarnya semua bahan makan itu sejak dulu itu sudah ada. Cuman sekarang terpinggirkan, yang layak dianggap sejahtera itu kalau makan beras sehari tiga kali misalnya.”
Kondisi itu yang membuat petani Karisma terus merawat dan menemukan lagi benih-benih lokal yang hampir punah. Salah satunya dengan tukar benih satu sama lain baik itu padi, umbi-umbian, buah-buahan, cabai dan masih banyak lagi. Mereka juga aktif mengikuti acara Hari Pangan Sedunia untuk menemukan benih lainnya.
“Kita berusaha untuk punya lagi, jadi kekayaan yang sudah ada ini biar nggak punah.”
Herni juga pernah menyimpan 15 jenis benih padi untuk ditanam. Kini tersisa beberapa benih seperti beras merah, pandan wangi, mentik wangi dan rojo lele. Begitu juga dengan jagung putih lokal dan aneka umbi-umbian seperti garut, suweg dan lain-lain.
Karya lukis dari seniman Fajar Pamungkas yang dipamerkan di acara Festival Perempuan Istimewa. Foto: Toto Sudiarjo/Mongabay Indonesia
***
Dalam Festival Perempuan Istimewa itu, ada beragam kesenian anak-anak, pasar desa lestari, pameran foto dan karya lukis, kumpulan benih lokal, museum alat pertanian, pelatihan membuat sabun alami, skincare, demo memasak, hingga diskusi soal kondisi pertanian.
Sana Ulaili dari Badan Eksekutif Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta yang sudah bersama-sama Kelompok Tani Karisma mengatakan, acara itu bagian dari ruang apresiasi pada kerja-kerja perempuan istimewa.
Mereka adalah para perempuan petani, perempuan pengolah pangan, keluarga petani, yang berjuang kolektif lepas dari candu kolonialisme pupuk pestisida kimia, hegemoni benih-benih produk korporasi. Serta pangan dan nutrisi yang rakus emisi dan menghilangkan ragam pengetahuan perempuan, ragam benih lokal hingga kearifan pengelolaan alam.
Para perempuan petani lestari ini memiliki ingatan bersama bagaimana mereka menjalin hubungan secara adil dengan alam dan lahan-lahan mereka.
Sana mengatakan, regulasi perlindungan terhadap perempuan tani lestari masih belum ada. Hal ini, katanya, jadi beban berlapis bagi kelompok perempuan tani baik secara kultural maupun struktural.
“Perempuan petani, tidak hanya harus keluar dari candu pestisida kimia dan benih impor, saat sama harus keluar dari budaya patriarki yang masih kuat dalam keluarga dan masyarakat yang meminggirkan peran-peran perempuan. Terlebih perempuan petani yang rata-rata miskin dan tidak punya tanah.”
Petani Perempuan Desa Sumber Jaya di kebun jagung yang berada di areal reklaiming PT FPIL. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia
*****
Cerita Petani Perempuan Jangkat Bertani Ramah Lingkungan
Sumber: Mongabay.co.id