- Perumusan kebijakan iklim belum mempertimbangkan perspektif dan kebutuhan masyarakat kelompok rentan
- Rencana aksi adaptasi yang disusun dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta No.90/2021 belum mengintegrasikan lokasi berdasarkan tingkat risiko dan kebutuhan kelompok rentan secara spesifik.
- Parahnya, masyarakat yang rentan terhadap ancaman dan dampak krisis iklim ini justru masih banyak yang mengalami penggusuran, konflik lahan dan polusi udara.
- Pemprov Daerah Khusus Jakarta perlu melakukan pendekatan yang jauh lebih adil dan inklusif dalam merumuskan kebijakan iklim.
Perumusan kebijakan iklim di Megapolitan Jakarta yang saat ini menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) dinilai belum mempertimbangkan perspektif dan kebutuhan kelompok rentan. Padahal, keterlibatan bermakna yang menjembatani tiga prinsip keadilan iklim yang meliputi keadilan rekognisi, keadilan distributif, dan keadilan prosedural ini bisa menjadi tolak ukur kebijakan formal dalam mencapai keadilan materil.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi laporan riset bertajuk “Keadilan Iklim untuk Jakarta Berketahanan” yang dirilis Greenpeace Indonesia di Jakarta, belum lama ini.
Talitha Aurellia Alfiansyah, salah satu penulis laporan ini menyampaikan sudah ada Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 90 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah yang Berketahanan Iklim.
Namun, rencana aksi adaptasi yang disusun belum mengintegrasikan lokasi berdasarkan tingkat risiko dan kebutuhan kelompok rentan secara spesifik. Peraturan itu, juga belum merinci alokasi sumber daya termasuk anggaran kegiatan untuk warga yang tinggal di area rawan banjir dan masyarakat pesisir. Dalam upaya partisipatif perihal perumusan rencana aksi dan program yang sudah ditetapkan dalam Pergub No.90/2021, juga tidak merinci lebih jauh terkait keterlibatan kelompok rentan.
Parahnya, masyarakat yang rentan terhadap ancaman dan dampak krisis iklim ini justru masih banyak yang mengalami penggusuran, konflik lahan, polusi udara. Tak hanya itu, dari 11,35 juta penduduk di kota metropolitan ini yang memiliki akses air bersih jumlahnya hanya 69 persen.
“Terutama di Jakarta bagian utara, mereka sangat berisiko terhadap krisis iklim. Sedangkan pembangunan-pembangunan yang ada tidak menempatkan kebutuhan masyarakat,” kata Talitha.
- Advertisement -
Selain itu, kebijakan publik lainnya seperti transportasi publik, ruang terbuka hijau dan pengelolaan sampah dalam perumusannya juga minim pelibatan masyarakat.
Dia bilang, meski pembangunan infrastruktur di Jakarta terus diperbanyak, namun manfaatnya masih belum merata. Bahkan, justru berpotensi memperparah ketimpangan sosial dan krisis lingkungan.
Baca : Opini: Kelompok Rentan, Keadilan dan Kemerdekaan Iklim
Diskusi laporan riset bertajuk “Keadilan Iklim untuk Jakarta Berketahanan” yang dirilis Greenpeace Indonesia di Jakarta, belum lama ini. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Ketimpangan yang Serius
Jeanny Sirait, Juru Kampanye Isu Keadilan Urban Greenpeace Indonesia menambahkan, ketimpangan yang terjadi di Jakarta menjadi permasalahan serius terhadap kesejahteraan masyarakat. Terlebih, warga miskin kota atau urban poor yang hidup di kawasan pesisir, maupun daerah padat penduduk ini menempati wilayah yang paling berat mengalami dampak krisis iklim.
Padahal menurutnya, mereka ini adalah kelompok yang paling sedikit menyumbangkan emisi gas rumah kaca (GRK), faktor utama penyebab krisis iklim. Ia menilai, dengan begitu membuktikan bahwa masyarakat miskin di kota Jakarta menanggung beban yang tidak adil dari krisis iklim yang terjadi.
Untuk itu, sebagai upaya dalam mewujudkan keadilan aksi mitigasi dan adaptasi krisis iklim di Jakarta, katanya, pemerintah perlu melakukan pendekatan yang jauh lebih adil dan inklusif dalam merumuskan kebijakan iklim.
Sebab dalam prakteknya, Pergub No.90/2021 yang ditandatangani era gubernur Anies Baswedan itu masih banyak kelemahan. Tak hanya membutuhkan kebijakan mitigasi yang ambisius, namun kebijakan juga harus adil.
“Nelayan di pesisir, warga di wilayah rawan banjir, dan kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan harus menjadi bagian dari solusi, bukan sekedar korban dari kebijakan yang tidak inklusif,” jelasnya.
Jeanny mendesak agar kebutuhan kelompok rentan bisa terakomodasi dalam proses pemetaan kebutuhan dan evaluasi implementasi kebijakan iklim. Pemerintah Jakarta juga perlu menyusun dan menetapan rencana aksi adaptasi tambahan, serta melakukan evaluasi berkala terhadap rencana aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Lebih lanjut ia mendorong agar pemerintah Jakarta melakukan pendanaan anggaran perubahan iklim di tingkat daerah, dan juga menyusun mekanisme kompensasi yang adil bagi kelompok rentan. Selain itu, juga memprioritaskan aksi mitigasi dan adaptasi krisis iklim berbasis nature based solution (NBS).
Secara tegas, tuntutan ini terangkum dalam laporan sebanyak 56 halaman dengan 12 poin tuntutan yang ditujukan untuk Gubernur DKI Jakarta.
Baca juga : NDC Kedua, Koalisi Dorong Komitmen Indonesia Berkeadilan Iklim
Warga melihat kondisi udara Jakarta yang berpolusi dari atas gedung di kawasan Senayan, Jakarta Selatan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Dampak Krisis Iklim bagi Masyarakat Pesisir
Asmania, warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta yang hadir memberi tanggapan mengaku, saat ini ia bersama perempuan nelayan lain di pulau tersebut masih berjuang mempertahankan ruang hidupnya yang terdampak krisis iklim.
Tak hanya dibayang-bayangi banjir rob dan abrasi, namun krisis iklim ini juga berdampak besar terhadap menurunnya hasil tangkapan ikan yang sudah menjadi mata pencaharian utama suaminya. Menurunnya hasil tangkapan ini, dikarenakan kondisi cuaca sudah tidak teratur yang dalam beberapa tahun terakhir.
Sehingga saat melaut, suaminya kerapkali berhadapan dengan cuaca yang tiba-tiba berubah drastis. Padahal, sebelum melaut kondisinya cerah. “Ini berbeda dengan dulu yang lebih teratur,” katanya.
Teh Aas, sapaan akrabnya, mengaku baru sadar bahwa fenomena perubahan-perubahan yang dihadapi itu merupakan dampak dari krisis iklim. Kesadaran itu muncul berkat berjejaring dengan kawan-kawan aktivis lingkungan di Jakarta.
Tak hanya nelayan, karena kondisi iklim yang tak menentu itu membuat warga yang membudidayakan rumput laut kerapkali gagal panen karena kadar airnya terlalu asam. Sehingga, rumput laut kondisinya banyak yang memutih.
Menyadari betapa peliknya masalah yang diakibatkan karena krisis iklim itu membuatnya kerapkali melakukan penanaman mangrove, sebagai salah satu solusi mencegah abrasi yang terjadi.
“Selama ini kami menjaga rumah kami, menjaga laut kami. Namun, pada saat kami mencoba mempertahankan ruang hidup ada perusahaan yang ingin mengambil alih Pulau Pari,” katanya sembari menahan isak tangis.
Mirisnya, hingga saat ini ia masih belum mendapatkan legalitas tempat tinggal. Padahal, sudah tujuh generasi mereka tinggal di pulau dengan luas sekitar 94,57 hektare itu.
Teh Aas menyayangkan sikap pemerintah Jakarta yang tidak pernah mengakomodasi keresahan yang dialami masyarakat Pulau Pari. Pun soal kebijakan iklim.
Baca juga : Upaya Warga Pulau Pari Hadapi Krisis Iklim [1]
Warga tanam mangrove di Pulau Pari. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia
Evaluasi Berkala
Nirwono Joga, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti mengatakan tidak tutup mata terhadap apa yang dialami oleh warga Pulau Pari maupun masyarakat pesisir lain di Jakarta. Menurutnya, dalam 25 tahun terakhir pembangunan kota Jakarta masih terfokus di lima kotanya dibandingkan membangun daerah pesisir seperti Pulau Pari.
Tak hanya perencanaan, namun juga anggaran tata ruangnya. Sehingga tidak heran bila Kabupaten Kepulauan Seribu itu kerapkali terlupakan.
Dia melihat masih banyak orang yang belum tahu bahwa Jakarta itu mempunyai kabupaten dan pulau-pulau.
“Bahkan, isu Jakarta tenggelam pada 2050 yang mengemuka itu disebutkan hanya daratan, bisa dibayangkan bila itu benar-benar terjadi, Kepulauan Seribu sudah pasti hilang,” katanya.
Untuk itu, ia berharap pada ketiga pasangan calon kepala daerah DKI Jakarta yang sedang berkontestasi agar memiliki visi-misi yang pro terhadap lingkungan, serta diikuti dengan aksi iklim yang konkrit.
Selain itu, masyarakat juga harus bisa menilai visi misi calon gubernur ini apakah berpihak terhadap rakyat kecil. Artinya, program-program yang ditawarkan berpihak terhadap keberlanjutan Jakarta atau tidak. Misalnya dalam hal penanganan banjir, krisis air bersih, kemacetan, polusi udara yang masih menjadi perhatian berbagai pihak.
Terukurnya dalam mengatasi persoalan ini, katanya, juga harus dicantumkan dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) selama lima tahun, serta rencana pembangunan jangka panjang 20 tahun kedepan yang wajib dipatuhi siapapun gubernurnya yang terpilih nanti. Disamping itu, rencana detail tata ruang (RDTR), RT/RW juga harus terukur, dan didukung APBD.
“Bila persoalan-persoalan itu bisa dikurangi secara signifikan, dia akan dikenal sebagai salah satu gubernur yang berhasil membawa Jakarta sebagai kota global,” katanya.
Baca juga : Laut dan Pesan Keadilan Iklim Paus Fransiskus
Sebagian nelayan di j, Jakarta, memilih memperbaiki alat tangkap berupa jaring disaat cuaca buruk. Nelayan dan masyarakat pesisir merupakan warga yang rentan terdampak krisis iklim. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Provinsi Pertama dengan Rencana Pembangunan Berketahanan Iklim
Saat penerbitan Pergub No.90/2021 tentang Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah Yang Berketahanan Iklim (RPRKD), Gubernur Jakarta saat itu, Anies Baswedan mengatakan RPRKD merupakan sebuah peraturan pada tingkat daerah yang komprehensif yang memuat aksi perubahan iklim yang mengintegrasikan aksi mitigasi dan adaptasi di DKI Jakarta.
“DKI Jakarta menjadi provinsi pertama di Indonesia yang memiliki RPRKD sesuai dengan amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2020-2024). Dan untuk pertama kali, melalui rencana ini, aksi adaptasi perubahan iklim diatur dalam sebuah produk hukum,” kata Anies di Jakarta, Jumat (15/10/2021) seperti dikutip dari beritajakarta.id.
Anies mengatakan RPRKD ini merupakan perwujudan komitmen ambisius DKI serta kontribusi aktif dalam pencapaian National Determined Contribution (NDC) Indonesia. Jakarta melakukan inovasi yang menyeluruh di mana aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim diberlakukan secara seimbang, mengingat selama ini aksi adaptasi perubahan iklim sering sekali terlupakan. Selain itu, pengarusutamaan isu perubahan iklim dan pembangunan daerah pun menjadi semangat dari perumusan regulasi ini.
“Komitmennya adalah ingin mewujudkan kota Jakarta sebagai kota yang berketahanan iklim, dan kota Jakarta bisa melakukan percepatan pencapaian target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 30% dan secara ambisius mampu mengurangi emisi GRK langsung sebesar 50% pada tahun 2030, serta net zero emission pada tahun 2050,” jelasnya.
Secara paralel, Jakarta berkomitmen untuk meningkatkan kemampuan adaptasi masyarakat dalam menghadapi bencana iklim dengan tolok ukur mengurangi jumlah kawasan atau area yang termasuk ke dalam kategori rentan dan sangat rentan terhadap bencana iklim. (***)
Saatnya Indonesia Punya UU Keadilan Iklim
Sumber: Mongabay.co.id