- Sebagai daerah non-vulkanik, Kepulauan Bangka Belitung memiliki sistem panas bumi unik akibat pores nuklir alami peluruhan unsur-unsur radioaktif [radiogenik] pada batuan granit.
- Sistem panas bumi ini berwujud delapan sumber mata air panas yang tersebar di Bangka dan Belitung. Melalui uji fisik dari bau dan rasa, air panas yang terdapat di Pulau Bangka tidak mengindikasikan mengandung belerang.
- Menurut penelitian terbaru Siregar dan kolega [2024], unsur radioaktif di Pulau Bangka secara mengejutkan lebih tinggi ketimbang sumber air panas lain yang mengandung granit di seluruh dunia.
- Sumber air panas ini harus dimanfaatkan secara arif, baik sebagai lokasi wisata alternatif selain pantai maupun sumber air baku saat bagi warga sekitar, sembari menghormati sejumlah mitos masyarakat yang ada di dalamnya.
Meskipun tidak memiliki gunung berapi, Kepulauan Bangka Belitung yang luas daratannya mencapai 1,6 juta hektar, memiliki sistem panas bumi yang unik. Ini dibuktikan dengan adanya sejumlah titik mata air panas.
Irvani, peneliti geologi sekaligus dosen dari Universitas Bangka Belitung mengatakan, sistem air panas berkaitan dengan proses geologi yang membentuk air panas tersebut.
“Sistem air panas di Bangka Belitung berdasarkan berbagai penelitian, termasuk dari penelitian mahasiswa dan dosen di Universitas Bangka Belitung, mengarah pada kesimpulan terbentuk akibat proses nuklir alami peluruhan unsur-unsur radioaktif [radiogenik],” terangnya kepada Mongabay Indonesia, Rabu [19/9/2024].
Energi panas yang dihasilkan melalui peluruhan tersebut, memanasi air tanah meteorik di sekitar, hingga suhunya meningkat atau menjadi panas.
Sementara sistem air panas vulkanik, sumber panasnya berasal dari aktivitas magmatik vulkanik atau gunung api yang memanasi air tanah di sekitarnya, sehingga secara komposisi air panas akan berhubungan dengan sumber panasnya [magma].
- Advertisement -
Lebih lanjut, Irvani menjelaskan, air panas vulkanik cenderung memiliki ciri-ciri kandungan belerang yang tinggi. Air panas di Indonesia, dari aktivitas vulkanik dapat dijumpai di sekitar gunung api, seperti di Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, hingga Maluku, yang kita kenal sebagai daerah cincin api [ring of fire].
“Melalui uji fisik dari bau dan rasa, air panas yang terdapat di Pulau Bangka tidak mengindikasikan mengandung belerang. Uji kimia atau geokimia air panas juga akan menunjukkan hal tersebut,” terangnya.
Hingga saat ini, tercatat delapan sumber air panas di Bangka Belitung, yakni di Desa Keretak dan Desa Terak [Kabupaten Bangka Tengah], Desa Permis dan Desa Nyelanding [Kabupaten Bangka Selatan], Desa Pemali dan Desa Gunung Pelawan [Kabupaten Bangka], Desa Dendang [Kabupaten Bangka Barat], serta Desa Buding [Kabupaten Belitung Timur].
“Bahkan, bisa lebih banyak dari itu,” kata Irvani.
Baca: Kebun Energi dan Ancaman Deforestasi di Bangka Belitung
Salah satu sumber mata air panas di Desa Terak, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung, sering dimanfaatkan warga sebagai sumber air baku. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Dijelaskan dalam penelitian Siregar dan kolega [2024] berjudul “Radiogenic Geothermal Systems of Bangka Island, Indonesia: Implications of high heat production and tectonic framework”, selain di Bangka Belitung, sistem panas bumi non-vulkanik dapat ditemukan di Kalimantan dan Pulau Singkep [Kepulauan Riau].
Sementara di belahan dunia lain seperti Australia, Inggris, dan China, manifestasi panas bumi non-vulkanik berupa mata air panas bersuhu rendah hingga sedang, terdapat dekat badan granit dan sistem patahan aktif.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Energy Geoscience, di situs Science Direct tersebut menyatakan, produksi panas radiogenik di Pulau Bangka dianggap sebagai sumber panas yang dapat diandalkan.
“Penampakan khas dari manifestasinya adalah mata air hangat [suhu 37-70,7 derajat Celcius dan pH 5,7-7,6] dengan tidak adanya manifestasi panas bumi bersuhu tinggi [yaitu, kolam lumpur, tanah beruap, travertine, dan fumarol]. Mata air panas ini keluar di sekitar granit Trias [usia sekitar 250 juta tahun],” katanya.
Baca: Masyarakat Adat Kepulauan Bangka Belitung: Timah Itu “Barang Panas”
Batuan granit di Pulau Bangka banyak mengandung radioaktif. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Proses pembentukan
Untuk meneliti lebih jauh sistem panas bumi radiogenik di Pulau Bangka, Siregar dan kolega mengumpulkan 19 sampel dari singkapan segar dan tambang granit tradisional yang terdapat di delapan titik mata air panas di Pulau Bangka.
Hasilnya, unsur-unsur radioaktif seperti U [Uranium], Th [Thorium] dan K [Kalium] diketahui dapat menghasilkan panas akibat peluruhan radioaktif di kerak dan mantel bumi. Umumnya, unsur-unsur radioaktif terdapat pada batuan granit yang banyak terdapat di Pulau Bangka.
“Unsur radioaktif di Pulau Bangka secara mengejutkan lebih tinggi ketimbang sumber air panas lain yang mengandung granit di seluruh dunia,” tulis para peneliti.
Hal ini dikarenakan keberadaan mineral-mineral seperti serisit, muskovit, dan zirkon di dalam granit Bangka membuat pulau ini memiliki kandungan radioaktif sangat tinggi.
“Dibandingkan dengan sabuk granit serupa yang terdapat di Malaysia, produksi panas granitoid di sumber air panas Bangka empat kali lebih tinggi, mungkin karena asal granitnya yang berbeda,” lanjut para peneliti.
Produksi panas tertinggi terdapat di Terak dengan kandungan U sebesar 282 ppm, Th sebesar 813 ppm, dan K sebesar 4,16 persen.
Namun, suhu permukaan mata air panas Bangka [37–70,7 derajat Celcius], lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia [41-99 derajat Celcius].
“Kami menginterpretasikan bahwa keberadaan lapisan resistif Formasi Tanjung Genting yang lebih tebal di bawah permukaan mata air panas Bangka, dapat berkontribusi terhadap suhu permukaan mata air panas yang lebih rendah. Lapisan resistif tersebut mencegah panas yang dihasilkan oleh batuan induk mencapai permukaan,” lanjut penelitian tersebut.
Baca juga: Alga, Sumber Energi Hijau Masa Depan
Singkapan segar batuan granit dari pemecah batu granit tradisional di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Sebagai informasi, penelitian yang sama menjelaskan, Pulau Bangka adalah bagian dari benua kuno Sundaland. Dulunya, benua ini terpecah menjadi beberapa blok kecil. Pulau Bangka berasal dari salah satu blok kecil ini yang disebut Blok Malaya Timur.
Pulau Bangka terbentuk melalui serangkaian peristiwa tektonik yang terjadi selama jutaan tahun. Proses-proses seperti pemisahan benua, tabrakan, dan pembentukan gunung berapi telah membentuk Pulau Bangka seperti saat ini.
Lapisan terbawah Pulau Bangka adalah Komplek Pemali yang terbentuk di dasar laut jutaan tahun lalu. Di atasnya, ada lapisan yang lebih muda bernama Formasi Tanjung Genting.
Batuan-batuan ini kemudian terdorong, terlipat, dan retak-retak akibat pergerakan lempeng bumi. Proses ini membentuk struktur geologi seperti lipatan dan patahan.
Di antara lapisan-lapisan batuan tersebut, ada batuan granit yang menyusup. Granit ini merupakan batuan beku yang terbentuk dari magma yang mendingin di dalam kerak bumi. Granit di Pulau Bangka mengandung banyak mineral radioaktif seperti uranium [U] dan thorium [Th].
Mineral-mineral radioaktif itu menghasilkan panas. Panas inilah yang kemudian memanaskan air tanah di sekitarnya dan muncul ke permukaan sebagai mata air panas.
Peta geologi Pulau Bangka dan manifestasi panas bumi di sekitar intrusi granit. Dimodifikasi dari Mangga dan Djamal 1994, Margono dkk. 1995, dan Ng dkk. 2017. Peta: Siregar dan kolega [2024]
Potensi dan manfaat
Meskipun sistem panas bumi radiogenik di Pulau Bangka tergolong tinggi, menurut Irvani, pemanfaatannya sebagai sumber energi pembangkit listrik tenaga panas bumi [PLTP] masih membutuhkan kajian geologi, geofisika, hidrogeologi, dan lain-lain yang lebih jauh atau sangat mendalam dan detil. Dengan begitu, nantinya dapat disimpulkan layak sebagai sumber energi.
Adapun potensi air panas di Pulau Bangka tidak semenarik seperti sumber-sumber panas bumi vulkanik yang terdapat di Pulau Jawa, Sumatera, dan daerah lain di Indonesia yang memilki potensi panas bumi besar.
“Sejauh ini, potensi air panas di Pulau Bangka telah dikembangkan sebagai lokasi wisata. Ini juga baik secara ekonomi, menjadi alternatif selain wisata pantai. Ini jadi opsi paling memungkinkan untuk pemanfaatan kedepan.”
Pemanfaatan sumber air panas tersebut perlu melibatkan kelompok sadar wisata di sekitarnya, agar turut memperoleh dampak ekonomi terhadap potensi air panas tersebut. Berbagai fasilitas dan atraksi wisata sangat perlu dibenahi, sehingga lebih menarik minat pengunjung wisatawan untuk datang.
“Lebih penting lagi, sumber air ini juga sering digunakan masyarakat sebagai sumber air baku saat kemarau panjang. Intinya, harus dimanfaatkan secara arif untuk kepentingan masyarakat,” tegas Irvani.
Sumber panas permukaan di Pulau Bangka tidak lebih tinggi jika dibandingkan dengan sistem panas bumi vulkanik di Sumatera. Peta: Siregar dan kolega [2024]
Jessix Amundian dari Tumbek for Earth mengatakan, sejumlah titik air panas di Bangka Belitung juga diselimuti sejumlah mitos dan legenda rakyat [folklore] yang harus dihormati.
“Ini merupakan bentuk pemaknaan masyarakat terkait hubungan mereka dengan alam, dan itu harus dihormati,” katanya.
Sebagai contoh, salah satu air panas di Desa Permis sangat dihormati masyarakat sekitar, karena dipercaya mampu menyucikan tubuh dari berbagai panyakit dan bala.
Selanjutnya, ada kisah tentang mitos terbentuknya air panas di Desa Nyelanding, yang bermula dari perilaku sebuah keluarga yang pelit. Mereka tidak ingin berbagai dengan warga sekitar.
“Kisah-kisah tersebut merupakan memori kolektif masyarakat yang di dalamnya terdapat nilai-nilai moral penting dalam sosial masyarakat. Ini harus dijaga dan dilestarikan bersama,” tegas Jessix.
Referensi:
Siregar, R. N., Nukman, M., Widana, K. S., Harijoko, A., & Sismanto, S. (2024). Radiogenic geothermal systems of Bangka Island, Indonesia: Implications of high heat production and tectonic framework. Energy Geoscience, 5(4), 100306. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.engeos.2024.100306
Kasus Korupsi Timah, Pegiat Lingkungan: Pemerintahan Jokowi Gagal Wujudkan Tata Kelola Pertambangan
Sumber: Mongabay.co.id