- Berbagai organisasi masyarakat sipil dan warga akan mengajukan gugatan aturan izin tambang untuk ormas keagamaan ke Mahkamah Agung di Jakarta. Mereka menilai, izin tambang ini berisiko besar bagi lingkungan dan masyarakat.
- Muhammad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, definisi ihwal ormas keagamaan tak jelas. Kondisi ini berisiko melahirkan oknum-oknum dengan dalih membawa nama ormas keagamaan.
- Mareta Sari dari Jatam Kaltim, pemohon uji materi mengatakan, menyaksikan dan merasakan langsung bagaimana pertambangan menyebabkan banyak kerugian di kampungnya. Daya rusak tambang menyebabkan pencemaran lingkungan, seperti air bersih tercemar.
- Herlambang Perdana Wiratraman, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, mengatakan, risiko kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial karena izin tambang kepada ormas keagamaan, dan kemungkinan konflik sosial. Izin tambang untuk ormas keagamaan lebih besar keburukan ketimbang manfaat.
- Advertisement -
Berbagai organisasi masyarakat sipil dan masyarakat akan mengajukan gugatan aturan izin tambang untuk ormas keagamaan ke Mahkamah Agung di Jakarta. Mereka menilai, izin tambang ini berisiko besar bagi lingkungan dan masyarakat.
Windy Pranata masih ingat betul pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi, tatkala menghadiri pembukaan pemilihan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Lampung, Desember 2021. Di atas mimbar berkelir hitam, Jokowi menawarkan kepada kalangan ‘muda’ Nahdlatul Ulama wadah ekonomi, bisa berupa perseroan terbatas atau kelompok usaha.
“Pemerintah, saya menyiapkan, kalau siap, saya menyiapkan konsesi,” kata Jokowi disambut tepuk tangan. “Baik itu yang namanya konsesi terserah, mau dipakai lahan pertanian, silakan,” katanya kala itu dalam rekaman video Windy.
“Saya juga ingin menyiapkan konsesi minerba,” ucap Jokowi kembali disambut tepuk tangan.
“Yang pingin bergerak di usaha-usaha nikel, misal, usaha-usaha batubara, usaha-usaha bauksit, usaha-usaha tembaga, silakan.”
“Tetapi, sekali lagi, ini dalam kelompok usaha besar, hingga nanti bisa menyeret, mengajak gerbong-gerbong yang lain untuk ikut menikmati.”
Melihat cuplikan video itu, Windy juga anggota Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim kesal.
Selang beberapa tahun, Jokowi benar-benar mengeluarkan kebijakan memberikan konsesi tambang kepada ormas keagamaan.
Pada Mei 2024, PP Nomor 25/2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara keluar. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, menyambut itu.
Dalam beleid itu terdapat aturan baru yang mengizinkan ormas dan organisasi keagamaan mengelola tambang. Perinciannya, tertuang dalam Pasal 83A yang membahas wIlayah izin usaha pertambangan khusus (IUPK) secara prioritas. Pada Pasal 83a Ayat (1) menyebutkan, guna peningkatan kesejahteraan masyarakat, wilayah IUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas oleh badan usaha yang dimiliki ormas dan organisasi keagamaan.
“Kebijakan yang jelas hanya untuk kepentingan memperkuat kekuasaan, tanpa melihat persoalan di lapangan” kata Windy.
Berdasarkan pengalaman sekitar empat tahun bersama Jatam Kaltim, dia banyak melihat daya rusak pertambangan di Bumi Etam. Mulai kematian anak di lubang tambang, warga kena kriminalisasi hingga bencana ekologi.
Konsesi tambang batubara yang menyebabkan kehancuran lingkungan. Foto: Jatam Kaltim
Gugatan
Itulah mengapa Windy, melalui Jatam, bersama warga dan organisasi masyarakat sipil membentuk Tim Advokasi Tolak Tambang untuk ajukan gugatan atau uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung Selasa (1/10/24) ini.
Tim ini terdiri dari perwakilan 16 pemohon dari berbagai kalangan ada lembaga dan perorangan seperti Jatam, Walhi, Solidaritas Perempuan dan Naladwipa Institute for Social and Cultural Studies.
Pemohon perorangan ada Asman Aziz, PW NU Kaltim; Buyung Marajo, Pokja 30; Inayah Wahid, Gusdurian dan Kisworo Dwi Cahyo, Walhi Kalsel. Ada juga Dwi Putra Kurniawan, Serikat Petani Indonesia Kalsel; Mareta Sari, Jatam Kaltim; Rika Iffati, Fatayat NU Yogyakarta; Sanaullailii dan Wahyu Agung Perdana, LHKP PP Muhammadiyah; juga Siti Maimunah dari Jatam.
Wasingatu Zakiyah, kuasa hukum dari Tim Advokasi Tolak Tambang mengatakan, pendaftaran judicial review ke Mahkamah Agung. Sebelum menuju proses pendaftaran, mereka diskusi membahas berbagai persoalan dengan publik.
“Akhirnya kami sepakat menjadi pemohon untuk menyampaikan peraturan pemerintah tentang tambang untuk ormas yang bertentangan dengan aturan,” kata Zaki.
Kabut asap akibat kebakaran lahan dan hutan tidak menghentikan pengangkutan batubara di Sungai Musi, Palembang. Foto: Mahesa Putra/Mongabay Indonesia
Daya rusak
Zaki menyebutkan, pemberian izin tambang bagi ormas keagamaan dengan dasar Pasal 83A PP 25/2024 itu bertentangan dengan pasal di atasnya–Pasal 75 ayat (3) dan ayat 4 Undang-undang Nomor 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atau UU Minerba.
Pada pasal 83A PP 25/2024 menyebutkan, IUPK secara prioritas oleh pemerintah ke ormas keagamaan. Padahal, kata Zaki, UU Minerba menjelaskan, yang dimaksud prioritas adalah badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD). Pemberian prioritas kepada BUMN dan BUMD pun menggunakan mekanisme lelang.
“Setiap IUPK yang terbit atas dasar Pasal 83A PP25/2024 dan bagi ormas adalah cacat hukum,” kata penasihat Publish What You Pay itu.
Muhammad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pun menambahkan beberapa catatan. Menurut dia, definisi ihwal ormas keagamaan juga tak jelas dalam PP 25/2024 itu. Seharusnya, definisi jelas.
“Ini tiba-tiba muncul ormas keagamaan. Pertanyaannya, makhluk apa ini ormas keagamaan? Apa definisinya? Apa cakupannya, apakah definisi ormas keagamaan,” kata Isnur.
Isnur menilai, ketidakjelasan definisi merupakan cara masuk kesewenang-wenangan, dan berpotensi menimbulkan abuse of power. Karena, katanya, tidak menjelaskan siapa yang berhak dan siapa yang bisa mendapatkan.
Dia khawatir, kondisi ini berisiko melahirkan oknum-oknum dengan dalih membawa nama ormas keagamaan.
Mareta Sari, juga pemohon uji materi menyaksikan dan merasakan langsung bagaimana pertambangan menyebabkan banyak kerugian di kampungnya. Daya rusak tambang menyebabkan pencemaran lingkungan, seperti air bersih tercemar.
Tambang juga memicu konflik sosial di masyarakat. Keikutsertaan ormas keagamaan dalam tambang hanya memperburuk kondisi itu.
“Jika sebelumnya saya yang menolak tambang berhadapan dengan aparat, kali ini harus berhadapan dengan tetangga saya yang merupakan anggota dari ormas keagamaan,” katanya.
Dengan izin pertambangan kepada ormas keagamaan, bukan tidak mungkin konflik agraria disertai kriminalisasi lebih sering terjadi. “Makin jadi rumit,” ujar Eta.
Herlambang Perdana Wiratraman, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, mengatakan, risiko kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial karena izin tambang kepada ormas keagamaan, dan kemungkinan konflik sosial.
Izin tambang untuk ormas keagamaan lebih besar keburukan ketimbang manfaat.
“Ormas keagamaan akan diseret ke bisnis pertambangan yang merusak lingkungan,” kata Herlambang.
Padahal, katanya, ormas keagamaan termasuk pihak yang seharusnya menjaga lingkungan hidup agar tetap bersih dan sehat.
Herlambang bilang, peraturan itu juga harus dibaca dalam sudut pandang demokrasi yang sedang dibajak kuasa oligarki. Politik hukum yang lahir dari demokrasi yang sedang terbajak itu, akan merefleksikan bagaimana politik oligarki melekat dalam sistem kekuasaan.
Dia bilang, kebijakan ini juga akan membawa upaya-upaya mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial makin jauh. “Artinya proses ketidakadilan sosial akan mudah disaksikan. “
Keruk bumi oleh tambang batubara merusak lingkungan dan kehidupan sosial, ekonomi maupun kesehatan masyarakat. Foto: Jatam Kaltim
******
Pemerintah Mau Bagi-bagi Izin Tambang untuk Ormas, Jatam: Itu Ngawur!
Sumber: Mongabay.co.id