- Fase kedua Program Kemitraan Wallacea (PKW) telah mendukung program konservasi oleh 46 organisasi masyarakat sipil pada 61 unit proyek yang berbeda. Secara keseluruhan, wilayah kerja PKW kedua berlangsung di 73 desa yang terkategori dalam 7 koridor laut.
- Dalam 4 tahun terakhir, PKW berkontribusi memberi perlindungan bagi setidaknya 8 spesies satwa termasuk dugong, 4 spesies hiu dan 2 spesies penyu. Dampak lainnya adalah terbentuknya 2 kawasan konservasi perairan yang luasnya lebih dari 500 ribu hektar.
- Di samping kerja-kerja konservasi, PKW kedua juga mendukung beberapa program strategis pemerintah, baik di tingkat tapak, kabupaten maupun nasional. Di antaranya pengentasan IUU Fishing, legalisasi kapal-kapal nelayan di sejumlah daerah, serta pemberdayaan dan peningkatan ekonomi masyarakat.
- Kesuksesan PKW tidak lepas dari kolaborasi yang baik antara pemerintah, sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil
Sebanyak 46 organisasi masyarakat sipil resmi merampungkan Program Kemitraan Wallacea (PKW) kedua pada awal September ini. Kerja-kerja perlindungan laut dan pesisir yang mereka lakukan disebut berdampak memperbaiki dan melestarikan ekosistem, serta meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat sekitar.
PKW merupakan program hibah yang didukung oleh Dana Kemitraan Ekosistem Kritis (CEPF) dan Burung Indonesia sebagai tim implementasi regional, yang bertujuan memperkuat peran organisasi masyarakat sipil dalam perlindungan dan pelestarian keanekaragaman hayati laut dan pengembangan kelembagaan masyarakat pesisir dalam skema perikanan skala kecil berkelanjutan.
Pada fase pertama, 2015-2019, PKW telah dilaksanakan di 202 desa di 24 Kabupaten yang berada di enam provinsi. Sementara, antara 2020-2024, fase kedua program ini berlangsung di 73 desa yang terkategori dalam tujuh koridor laut.
Dian Agista, Direktur Eksekutif Burung Indonesia mengatakan, sejak 2015, Burung Indonesia mendapatkan dukungan dari CEPF untuk mendorong perlindungan spesies dan habitat, peningkatan penghidupan masyarakat setempat dan penguatan kapasitas organisasi masyarakat sipil di seantero wilayah Wallacea.
Menurutnya, Program Kemitraan Wallacea sejalan dengan visi konservasi Burung Indonesia, yang sejak didirikan pada tahun 2002 yang telah fokus pada program-program konservasi di kawasan tersebut. Bahkan lima lokasi awal program konservasi Burung Indonesia berlangsung di Sumba (Nusa Tenggara Timur), Sangihe, Talaud (Sulawesi Utara), Halmahera (Maluku Utara), Tanimbar (Maluku).
“(Lima lokasi awal program Burung Indonesia) semua di Wallacea. Dan itu kami pertahankan hingga hari ini menjadi lokasi prioritas bagi program konservasi Burung Indonesia. Alasannya, keunikan dan keragamannya yang sangat tinggi,” ujar Agis di Manado, awal September ini.
- Advertisement -
Baca : CEPF Burung Indonesia Tawarkan Dana Konservasi Satwa Endemik Sulawesi. Apa Programnya?
Sesi diskusi hasil pelaksanaan program kemitraan Wallace di Manado, Sulut, awap September lalu. Foto : Burung Indonesia
Pada fase kedua PKW, antara 2020-2024, tercatat sekitar 2,2juta USD atau setara Rp33 miliar pendanaan CEPF untuk menjalankan program konservasi oleh 46 organisasi masyarakat sipil pada 61 unit proyek yang berbeda.
Secara keseluruhan, wilayah kerja PKW kedua berlangsung di 73 desa yang terkategori dalam 7 koridor laut, yakni Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Togean-Banggai, Solor-Alor dan Bentang Laut Buru.
“Dengan jumlah penerima manfaat langsung 4.080 jiwa, 41% di antaranya perempuan. Dan penerima manfaat tidak langsung 34.089 jiwa, 33% di antaranya adalah perempuan,” terangnya.
Agis percaya, kerja-kerja kolektif yang dilakukan seluruh mitra PKW kedua, telah memberikan manfaat bagi lestarinya keanekaragaman hayati di Wallacea. Agis menyebut, dalam empat tahun terakhir, keterlibatan organisasi masyarakat sipil berkontribusi memberi perlindungan bagi setidaknya delapan spesies satwa termasuk dugong, empat spesies hiu dan dua spesies penyu.
Dampak lainnya adalah terbentuknya dua kawasan konservasi perairan yang luasnya lebih dari 500ribu hektar di Liukang Tangaya, Pangkajene Kepulauan. “Kemudian juga turut berkontribusi atas penguatan beberapa kawasan konservasi laut daerah. Beberapa memang baru dibuat, yang lain sebelumnya sudah ada kemudian kami perkuat,” tambahnya.
Baca juga : Program Konservasi di Wallacea Turunkan Ancaman terhadap Puluhan Satwa Endemik
Lembaga penerima dana Program Kemitraan Wallace sedang menjelaskan hasil capaian kerja dan produk masyarakat dampingannya. Foto : Burung Indonesia
Membantu Program Perikanan dan Kelautan
Di samping kerja-kerja konservasi, PKW kedua juga mendukung beberapa program strategis pemerintah, baik di tingkat tapak, kabupaten maupun nasional. Wahyu Teguh Prawira, Wallacea Programme Manager Burung Indonesia menyebut, dukungan itu diantaranya membantu penanganan illegal, unreported and unrelulated (IUU) fishing dan legalisasi kapal-kapal nelayan di sejumlah daerah.
“Kemudian kami menerapkan pemantauan pendaratan ikan, juga ada enumerasi (pencatatan hasil tangkapan). Dan itu sangat membantu kawan-kawan di tingkat pengambil kebijakan,” ujarnya.
Teguh menambahkan, kerja konservasi yang dilakukan dengan cara sederhana, namun dijalankan secara kolektif dapat memberi hasil baik. Di Lembata, NTT, dia mencontohkan konservasi laut berbasis kearifan lokal yang disebut muro, tidak saja memberi dampak ekologi tetapi juga meningkatkan ekonomi masyarakat setempat.
Selain itu, metode buka-tutup kawasan tangkap gurita, katanya, memberi dampak dan jangkauan lebih luas. Beberapa komunitas masyarakat yang sebelumnya menangkap gurita dengan ukuran kecil dan harga murah, dengan metode buka-tutup kawasan disebut menghasilkan tangkapan yang lebih besar.
“Ini bukan berarti menangkapnya lebih banyak. Secara individu, secara spesies, mungkin jumlahnya sama, hanya ukurannya lebih besar. Sehingga tangkapannya mendapatkan harga lebih baik,” jelas Teguh.
Konservasi buka-tutup kawasan atau sasi, juga berdampak terhadap keberlanjutan ekosistem dan meningkatnya kehadiran atau perjumpaan dengan spesies lain. Contohnya spesies hiu martil, hiu blacktip, serta penyu.
Baca juga : Kolaborasi Konservasi di Sektor Kelautan Menjadi Keharusan di Kawasan Wallacea
Produk olahan komunitas masyarakat hasil pendampingan Program Kemitraan Wallacea (PKW) kedua yang ditampilkan di Manado. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia
Pentingnya Kolaborasi
Kunci keberhasilan kerja PKW tidak lepas dari kolaborasi yang baik antara pemerintah, sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil. Masing-masing dari ketiga elemen tadi dipercaya punya peran penting dalam mewujudkan keberhasilan konservasi.
Daniel Rothberg, Grant Director CEPF menyebut, pemerintah punya kekuatan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan pembangunan berkelanjutan, sektor swasta dengan dukungan finansial. Sementara organisasi masyarakat sipil dengan aksi langsung di lapangan.
“Kami percaya, program hasil konservasi akan lebih baik, berkelanjutan dan bermakna jika ketiga pihak ini bekerja sama dengan baik,” tambahnya.
Selain itu, pencapaian PKW kedua juga tidak terlepas dari soliditas organisasi masyarakat sipil. Daniel percaya, konservasi akan memberi hasil yang baik, berkelanjutan dan bermakna, jika melibatkan organisasi lokal yang disebut merepresentasikan masyarakat setempat.
Dalam 10 tahun terakhir, dia melihat, pencapaian positif dalam kerja-kerja konservasi di tingkat lokal. Organisasi masyarakat sipil, katanya, telah berkontribusi mendukung peningkatan pendapatan, peningkatan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat, hingga perlindungan dan pelesarian ekosistem.
“Saya senang mengatakan kita berhasil. Di tempat program ada perubahan. Kesadaran meningkat, ancaman berkurang. Tapi ini hanya bagian kecil dari keseluruhan ekosistem,” pungkasnya.
Kerja Pemprov Sulut Terbantu
Tinneke Adam, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Utara mengapresiasi pencapaian PKW kedua. Dia mengakui, minimnya anggaran membuat pemerintah tidak mampu menjalankan perlindungan sumber daya alam tanpa dukungan masyarakat sipil dan sektor swasta.
Salah satu tantangan konservasi yang dihadapi pemerintah adalah luasnya wilayah perairan. Tinneke mencontohkan, 72,36% wilayah Provinsi Sulawesi Utara merupakan laut. Sedangkan darat hanya 26,64%,
“Oleh karena itu kami sangat memerlukan bantuan, sinergitas dan kolaborasi dari organisasi masyarakat sipil. Jangan harapkan pemerintah semua. Pemerintah perlu kerja sama yang baik untuk dapat hasil yang maksimal,” terangnya.
Baca juga : Berkah Wallacea yang Belum Terpancar di Buano
Ato memperlihatkan kepiting bakau hasil upaya pelestarian ekosistem mangrove dalam Program Kemitraan Wallacea di Desa Ambelang, Pulau Peling, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Foto: Burung Indonesia/Kukuh Akhfad
Menurutnya, kerja-kerja konservasi yang dilakukan dalam PKW kedua, sejalan dengan program Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yakni ekonomi biru yang salah satu program utamanya adalah perluasan kawasan konservasi.
Pada periode 2020-2024, pemerintah disebutnya mengagendakan perluasan kawasan konservasi seluas 23,8juta hektare, dengan 10juta hektare yang akan dikelola secara berkelanjutan. Sementara itu, Pemprov Sulut telah mencadangkan lima kawasan konservasi, yang tiga diantaranya sudah ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
“Tiga ada di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kabupaten Minahasa Utara, dan Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro). Sedangkan ada dua pencadangan yang sementara akan di-SK-kan yaitu pencadangan kawasan konservasi di Kota Bitung dan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan,” tambahnya.
Tinneke percaya kerja-kerja konservasi dan upaya menjaga keberlanjutan sumber daya alam, merupakan tanggung jawab untuk memastikan hak generasi di masa depan dalam menikmati kekayaan alam di Indonesia. (***)
Target Kawasan Konservasi Laut: Semakin Luas, Semakin Besar Manfaatnya
Sumber: Mongabay.co.id