- Legina Istiana, sosok perempuan yang gigih memperjuangkan hak tanah di Lubuk Mandarsah, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Jambi. Masyarakat desa ini berkonflik agraria dengan perusahaan pemasok pulp Sinar Mas Group, PT Wira Karya Sakti (WKS).
- Para perempuan di Lubuk Mandarsah, selain bertani juga merajut. Biasa mereka merajut bersama di Balai Pertemuan sekaligus Kantor Sekretariat Serikat Tani Tebo. Mereka membuat gantungan kunci, bros dan tas rajut. Barang-barang hasil rajutan ini mereka titip di warung dan toko aksesoris, juga kerap ikut beragam pameran. Menurut Legina, usaha ini bukan sekadar upaya mengisi waktu senggang, tetapi simbol perlawanan perempuan di daerah konflik.
- Konflik sempat memanas pada 2005, perusahaan dengan alat berat mau meratakan kebun-kebun warga. Perempuan termasuk Legina, bergerak mempertahankan tanah.. Sekitar 20-an perempuan berkonsolidasi dan memutuskan membawa tanaman pisang untuk mereka tanam sebagai penanda batas lahan-lahan.Gerakan para perempuan ini akhirnya diikuti para pria.
- Saat ini, konflik mereda, para petani mulai menata hidup. Meski demikian, Legina dan suaminya tidak lagi menanam padi di ladang. Aturan pemerintah melarang mereka membakar lahan untuk antisipasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Sebagai gantinya, mereka memilih menanam cabai, sebagian tanah pun mereka tanami sawit.
Legina Istiana, begitu nama perempuan 56 tahun yang gigih memperjuangkan hak tanah di Lubuk Mandarsah, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Jambi. Masyarakat desa ini berkonflik agraria dengan perusahaan pemasok pulp Sinar Mas Group, PT Wira Karya Sakti (WKS).
- Advertisement -
Pagi itu, Legina sedang menyiapkan makan siang. Di balik dinding-dinding kayu dapur rumahnya, menguar aroma ikan goreng dan tumisan bawang.
Di Lubuk Mandarsah, perempuan juga di depan memperjuangkan tanah, modal utama petani, sekaligus tempat bergantung nafkah.
Para petani perempuan ini berjuang mempertahankan tanah mereka, kala terjadi konflik dengan perusahaan.
Saat itu, pada 2005, perusahaan dengan alat berat mau meratakan kebun-kebun warga.
Tidak tinggal diam, sekitar 20-an perempuan berkonsolidasi. Mereka berkumpul di rumah Nyai Jusmawati, tokoh perempuan desa itu hingga larut malam.
Para perempuan ini memutuskan membawa pisang untuk mereka tanam. “Bawa pisang ke lahan, kita tanam, habis itu kita usir itu penggusur lahan,” kata Legina. Pisang mereka gunakan sebagai penanda batas lahan-lahan.
Gerakan para perempuan ini akhirnya diikuti para pria. Mereka yang membantu tanam pisang di tanah warga.
Tidak hanya itu, para perempuan pernah terpaksa beraksi di luar kebiasaan. Untuk mengusir alat berat yang menghancurkan hutan dan kebun warga, mereka berdemo dengan aksi telanjang.
“Kita sudah berbagai macam cara untuk mengusir alat berat. Satu-satunya jalan [agar dapat mengusir mereka] adalah harus bertelanjang, tetapi tidak boleh telanjang bulat,” katanya.
Para perempuan Tebo, tak hanya bertani, dan berkebun, mereka juga merajut sebagai simbol perlawanan mempertahankan tanah. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia
***
Legina bercerita tentang pengalaman hidupnya, dari perempuan biasa, yang akhirnya turun berjuang, mempertahankan tanah.
Pengalaman hidup ini yang membentuk Legina menjadi individu kuat. Belajar mengatasi tantangan, mengejar cita-citanya dengan menghargai akar dan kultur budaya.
“Saya dari Jambi, Saya anak kesembilan dari 12 bersaudara.Saya mengikuti orang tua, dan bapak saya dulu bekerja di Muara Sabak, Teluk Buan,” katanya.
Dari masa muda di Jambi, nasib membawanya merantau sampai ke Jawa, di Tangerang, Banten. Di sana, dia berjumpa suaminya, Sadli. Saat ini, suaminya menjadi tokoh penggerak dan pejuang tani.
“Saya ketemu Pak Sadli di Tangerang, di pabrik kayu pada 1990. Kemudian kami menikah pada 1994. Pada 1999, kami kembali ke Jambi,” katanya.
Awalnya, mereka tinggal di Teluk Buan, Kecamatan Dendang, Tanjung Jabung Timur. Mereka tidak berniat menetap lalu pindah ke Tebo.
Hidup di pedesaan memberi kesempatan mereka mencoba hal-hal baru, seperti bercocok tanam.
Akhirnya, mereka mantap memutuskan menjadi petani di Desa Mandarsah. “Hidup sengsara, hidup susah, [tidak apa-apa] kami sudah mantap hidup bertani.”
Baginya, hidup bertani berarti hidup bebas tidak terikat, berbeda saat kerja jadi buruh perusahaan. Tantangannya, mereka harus bekerja keras agar tanah menghasilkan.
Berjalannya waktu, disanalah mulai muncul gesekan, ketika tanah yang mereka garap kena klaim perusahaan sebagai bagian dari konsesinya.
Legina bilang, suaminya dulu sempat dicari orang-orang perusahaan karena konflik agraria ini. Persoalannya, ada di batas tanah Sadli dengan perusahaan. Mereka pun dianggap bertani ilegal di dalam konsesi.
“Bapak itu pernah dicari orang-orang WKS. Bapak sempat ditahan polisi karena konflik lahan ini.”
Saat-saat sulit itu, Legina setia menemani suaminya. “Zaman PPJ (Persatuan Petani Jambi) dulu, saya sering bolak-balik ke Jambi. Duit gak ada, terpaksalah pinjam sama toke-toke ayam, pinjam Rp200.000-Rp300.000 untuk ongkos.”
Intimidasi yang kerap terjadi juga jadi momok bagi orang-orang yang berjuang seperti Legina, Sadli dan kawan-kawannya. Itu yang membuat mereka lebih aman dalam kelompok, dan memilih tidak tinggal sendiri, terutama di waktu malam.
“Dulu, kalau malam di sini sepi, jadi kalau malam saya mengungsi ke rumah orang. Pagi barulah saya pulang lagi kesini. Karena takut diculik.”
Legian Istiana, pejuang agraria dari Mandrasah, Tebo. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia
Saat ini, konflik mereda, para petani mulai menata hidup. Meski demikian, Legina dan suaminya tidak lagi menanam padi di ladang. Aturan pemerintah melarang mereka membakar lahan untuk antisipasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Sebagai gantinya, mereka memilih menanam cabai, sebagian tanah pun mereka tanami sawit.
“Dulu, kami tanam padi, sekarang tidak lagi, kan tidak boleh membakar [lahan]. Saya pernah tanam padi tidak pakai pupuk hasil bakaran, tanamannya tidak jadi. Bibit beli untuk tanam dua karung, hasil dua karung. Tak ada hasil.”
Legina juga mewarisi pengetahuan tentang pengobatan tradisional dari orangtuanya. Banyak tumbuhan herbal di sekitar kebun dia manfaatkan, seperti kunyit, jahe, dan daun wedusan.
“Kalau untuk menyembuhkan dan mensterilkan luka, saya gunakan daun rebusan,”katanya.
“Daun ditumbuk lembut. Kalau luka dikit, satu daun cukup. Daun tumbukan diletakkan di luka. Luka bisa sembuh. Walau terkena air gak apa-apa.”
Bagi Sadli, perjuangan tak akan bisa bertahan kalau tidak ada istrinya.
“Perjuangan tanpa ibu [Legina], mungkin dari dulu sudah patah di tengah jalan,” katanya.
Ada pasang surut, katanya, tetapi mereka selalu melengkapi satu sama lain.
***
Para perempuan di Lubuk Mandarsah, selain bertani juga merajut. Biasa mereka merajut bersama di Balai Pertemuan sekaligus Kantor Sekretariat Serikat Tani Tebo.
Mereka membuat gantungan kunci, bros dan tas rajut. Barang-barang hasil rajutan ini mereka titip di warung dan toko aksesoris, juga kerap ikut beragam pameran.
Bagi Legina, usaha ini bukan sekadar upaya mengisi waktu senggang, tetapi simbol perlawanan perempuan di daerah konflik. Rajutan ini memperkenalkan mereka sebagai warga yang punya tanah dan tatanan kehidupan yang diabaikan oleh negara.
“Sampai di Jakarta, kami bawa hasil rajutan ini. Kami perkenalkan ini dari kami perempuan Tebo yang membangun harap dengan merajut. Mengikat hati orang-orang untuk peduli, bahwa masih banyak petani yang terabaikan, petani tanpa tanah,” katanya.
Hail panen petani Tebo. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia
*Tulisan ini terbit atas kolaborasi Mongabay Indonesia dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
*******
Merajut Hidup Berdampingan dengan Konflik Agraria
Sumber: Mongabay.co.id