- Korupsi timah, konflik masyarakat, interaksi negatif manusia dan satwa, hingga masifnya kerusakan lingkungan di darat dan pesisir-laut, menguatkan gagalnya tata kelola timah di Kepulauan Bangka Belitung pada era pemerintahan Jokowi.
- Hal ini diperburuk dengan sejumlah kebijakan yang membuka keran ekstraksi sumber daya alam yang lebih masif, khususnya mineral. Seperti UU No. 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara, serta UU Cipta Kerja beserta turunannya.
- Hilirisasi mineral serta berbagai agenda transisi energi juga akan berdampak dan meneruskan posisi Kepulauan Bangka Belitung sebagai objek eksploitasi sumber daya alam.
- Pemerintahan selanjutnya harus berfokus pada pemulihan lingkungan yang selama ini telah disediakan oleh beragam pengetahuan dan kearifan masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung.
Belum setahun sejak dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober 2014 lalu, Joko Widodo [Jokowi] langsung memberikan perhatian terhadap isu timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Dalam rapat terbatas yang membahas masalah timah pada akhir Juni 2015 itu, Presiden Jokowi menunjuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] untuk mengkoordinir seluruh penataan tambang timah.
Jokowi resah dengan harga timah dunia yang turun, akibat produksi yang berlebih serta maraknya ekspor timah ilegal. Karenanya, diperlukan tata kelola timah agar ekspor ilegal tersebut berkurang.
Lebih lanjut, Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki mengatakan, Presiden meminta kepada Gubernur Kepulauan Bangka Belitung dan Direktur PT Timah, untuk mempelajari kemungkinan melegalkan rakyat agar tetap melakukan penambangan timah. Namun, tetap dengan rambu-rambu agar alam tidak rusak.
Presiden juga menginstruksikan agar mempelajari penugasan khusus ke PT Timah untuk membeli timah sebanyak mungkin sehingga bisa menjadi stok, agar bisa mengendalikan harga.
- Advertisement -
“Bila bisa dilakukan, Polri ditugaskan untuk menjaga agar tidak ada lagi timah yang dijual keluar. Produksi harus tinggi, namun jangan sampai dilakukan penambangan di hutan konservasi,” kata Presiden, sebagaimana dikutip Teten Masduki, dalam siaran pers, Kamis [25/6/2015] silam.
Baca: Tersangka Kasus Korupsi Timah Telah Ditetapkan, Bentang Alam Bangka Belitung Harus Dipulihkan
Penampakan kolam bekas tambang timah ilegal di Desa Rindik, Kabupaten Bangka Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Ironinya, pada periode kedua pemerintahan Jokowi, Kejaksaan Agung justru mencium adanya korupsi tata niaga timah pada wilayah Izin Usaha Pertambangan [IUP] PT Timah Tbk, tahun 2015-2022.
Sejak pertama kali dibicarakan pada 17 Oktober 2023, penyelidikan dugaan korupsi timah yang diperkirakan merugikan negara sebesar Rp300 triliun tersebut terus bergulir, hingga ke tahap persidangan saat ini.
Sebanyak 22 tersangka telah ditetapkan. Sejumlah nama besar pengusaha swasta, petinggi PT Timah, hingga jajaran pemerintahan diduga ikut terlibat. Seperti, sejumlah Kepala Dinas ESDM Bangka Belitung, hingga Mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM periode 2015-2022.
Menurut Ahmad Subhan Hafiz, Direktur Walhi Kepulauan Bangka Belitung, korupsi timah di Bangka Belitung yang meliputi kerugian ekologi, penyewaan alat processing timah dan pembelian timah ilegal dari IUP negara, merupakan bentuk kegagalan tata kelola timah pada pemerintahan Jokowi.
“Korupsi yang melibatkan 22 terdakwa merupakan output kegagalan tata kelola timah, serta gagalnya menjaga aset negara, baik fisik maupun non-fisik,” terangnya, Rabu [25/9/2024].
Walhi Kepulauan Bangka Belitung menilai, sejak awal pemerintahannya, Jokowi tidak memiliki niat baik dalam pemulihan lingkungan, justru sebaliknya menambah beban lingkungan.
Komplikasi masalah lingkungan yang ditimbulkan dalam 10 tahun kepemimpinan Jokowi terhadap ekosistem Kepulauan Bangka Belitung dapat diidentifikasi dari; berbagai konflik sosial, ketimpangan penguasaan lahan, serta ekstraktivisme sumber daya alam yang masif di daratan dan pesisir-laut.
Dalam waktu 5 tahun [2018-2023], aktivitas penambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung telah menimbulkan 33 kali konflik masyarakat. Tercatat, lebih dari 40 desa/kecamatan yang terlibat.
Berdasarkan dokumen IKPLHD Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2019, sekitar 1.007.372 hektar lahan telah diberikan izin usaha pertambangan. Terdapat 25 jenis bahan galian, yang dikelola ratusan perusahaan.
Akibatnya, dari 1,6 juta hektar luas daratan Bangka Belitung, tersisa 204.974 hektar tutupan hutan [DIKPLHD Bangka Belitung, 2022]. Pada 2018, jumlah kolong yang tersebar di semua wilayah Bangka Belitung, mencapai 12.607 kolong dengan total luasan 15.579 hektar.
Jumlah kolong ini, jauh lebih banyak jika dibandingkan penelitian Universitas Sriwijaya tahun 1998/1999, yang tercatat 887 kolong [PT Timah] dan 104 kolong [PT Kobatin].
“Ini diperburuk dengan kian masifnya aktivitas penambangan timah di pesisir dan laut,” lanjut Hafiz.
Dalam kurun waktu dua tahun [2015-2017], sekitar 64.514 hektar terumbu karang di Bangka Belitung hilang.
“Semua data kerusakan ini belum termasuk 38 orang meninggal dan 22 orang luka-luka akibat kecelakaan tambang, hanya dalam waktu 2021-2024. Sungguh ironi, ketika di awal pemerintahannya, Jokowi justru mendorong rakyat untuk menambang timah tanpa perlindungan yang jelas,” kata Hafiz.
Baca juga: Dugaan Korupsi Tambang Timah Rp271 Triliun, Lingkungan Bangka Belitung Rusak Parah
Seorang penambang menunjukkan bongkah batuan yang mengandung timah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Menurut Endy R. Yusuf, Manager Lembaga Konservasi Pusat Penyelamatan Satwa [LK-PPS] Alobi, kerusakan lingkungan di Bangka Belitung memicu banyak interaksi negatif antara manusia dengan satwa liar, seperti kukang [Nycticebus bancanus] dan buaya muara [Crocodylus porosus].
Khusus kukang, kerusakan habitat terlihat dari seringnya masuk pemukiman warga.
“Dalam satu bulan, bisa empat hingga tujuh kali laporan warga. Sulit mencari habitat yang aman bagi satwa di Bangka Belitung,” ujarnya.
Berdasarkan analisis tumpang susun peta digital [2021], penambangan timah dilakukan di 202 daerah aliran sungai [DAS] dari 433 DAS yang ada di Kepulauan Bangka Belitung.
Merujuk data yang diperoleh Mongabay Indonesia dari Brandon Sideleau/CrocAttack, spesialis buaya dari CrocBITE dan IUCN Crocodile Specialist Group, sepanjang 2014 hingga 17 Juni 2024, tercatat 105 kasus serangan buaya.
Menurut Brandon, serangan buaya juga dilaporkan terjadi di tambang timah di Bangka-Belitung pada abad ke-19, jadi ini bukan hal baru. Hanya saja, tampaknya semakin parah karena maraknya tambang ilegal dan kemungkinan besar juga sangat buruk pada masa lampau [abad ke-19 hingga awal abad ke-20], karena sifat tambang yang tidak diatur dan ketergantungan yang lebih besar pada jalur air.
“Tambang ilegal dan kerusakan habitat yang meluas memicu peningkatan konflik baru,” jelasnya.
Swarlanda, founder The Tanggokers [Yayasan Ikan Endemik di Kepulauan Bangka Belitung], mengatakan kondisi lanskap habitat ikan air tawar di Bangka Belitung juga tidak jauh berbeda.
“Habitat berubah menjadi lahan perkebunan dan tambang. Aliran sungai hilang dan pencemaran terjadi. Pencemaran kami deteksi karena populasi ikan yang dulunya banyak, kini sukar ditemukan,” katanya.
Di Pulau Bangka, terdapat 89 lebih spesies yang teridentifikasi. Tujuh di antaranya adalah endemik Bangka Belitung.
“Masih banyak yang belum kami kenali. Atau mungkin sudah punah akibat kerusakan habitat,” paparnya.
Inilah salah satu penampakan terumbu karang yang tertutup sedimentasi akibat penambangan timah di laut Kepulauan Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Kebijakan yang membuka keran eksploitasi mineral
Syaharani, dari Indonesian Center for Environmental Law [ICEL] mengatakan, selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, terdapat beberapa peraturan dan kebijakan yang dibentuk untuk membuka keran ekstraksi sumber daya alam lebih masif. Khususnya, komoditas mineral.
Seperti, pengesahan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara, serta PP No. 96 Tahun 2021 yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja.
“Eksploitasi ini menimbulkan kerusakan lingkungan skala besar di berbagai lokasi ekstraksi mineral, termasuk di Kep. Bangka Belitung,” kata Syaharani, Plt. Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Keadilan Iklim ICEL kepada Mongabay, Jumat [27/9/2024].
UU Minerba, UU Cipta Kerja, serta beberapa peraturan turunannya juga memperlemah berbagai instrumen lingkungan hidup dalam UU 32/2009, serta penegakan hukum yang memastikan kegiatan usaha sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Berbagai peraturan tersebut, jelas dia, telah mengerdilkan partisipasi publik dalam amdal [analisis dampak lingkungan] dengan menghilangkan komisi penilai amdal [KPA] dan membatasi konsultasi hanya kepada masyarakat yang terdampak langsung kegiatan usaha.
Penggantian KPA menjadi Lembaga Uji Kelayakan Amdal, belum pasti menempatkan unsur masyarakat di dalamnya. Hal ini diperburuk dengan tidak adanya kejelasan dalam penyelesaian ketidaksesuaian kegiatan usaha dengan tata ruang.
Lebih lanjut, penyusunan tata ruang hanya memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta KLHS.
“Padahal, melandaskan tata ruang pada daya dukung dan daya tampung, serta asesmen potensi dampak lingkungan, dapat secara signifikan mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.”
Selain itu, pemberian izin yang banyak tidak diikuti dengan pengawasan memadai. UU 3/2020 juga, menghilangkan kewenangan inspektur tambang untuk menghentikan sementara kegiatan usaha pertambangan dan hak masyarakat untuk mengajukan permohonan penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan.
“Salah satu permasalahan tata kelola pertambangan adalah jumlah pengawas pertambangan yang tidak sebanding dengan izin yang diawasi.”
Selain pelemahan instrumen dan pengawasan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam [SDA] di era pemerintahan Jokowi juga, diikuti pelemahan terhadap pengawasan korupsi SDA.
Pelemahan fungsi KPK menjadi catatan merah. Sebab, setelah revisi UU KPK, jumlah kasus korupsi yang ditindak menurun drastis.
“Korupsi timah ini seperti kulminasi kegagalan dari upaya perbaikan tata kelola SDA selama era pemerintahan Jokowi,” kata Syaharani.
Terbaru, akhir Agustus 2024, keran ekspor untuk pasir laut juga resmi dibuka pemerintah.
“Kebijakan ini hanya akan melanjutkan aktivitas penambangan dan pengerukan pasir di Kepulauan Bangka Belitung, serta menambah beban kerusakan dan mengancam keseimbangan ekosistem pesisir-laut,” tegas Hafiz.
ICEL menilai, kasus korupsi timah perlu menjadi momentum perbaikan tata kelola pertambangan timah yang lebih baik di Bangka Belitung, salah satunya melalui moratorium.
Moratorium harus diikuti pelaksanaan audit lingkungan dan audit kepatuhan pada izin-izin pertambangan eksisting di Bangka Belitung, serta penyusunan rencana pemulihan.
Kasus timah jangan hanya berhenti pada pengusutan korupsi, mengingat adanya kerugian lingkungan dengan angka cukup besar.
“Terlebih, belum ada jaminan pemulihan kembali lingkungan yang telah dirusak,” kata Syaharani.
Kasus korupsi timah menunjukkan gagalnya tata kelola pertambangan pemerintahan Jokowi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Hilirisasi dan energi
Selama masa pemerintahannya, Jokowi telah memandatkan hilirisasi berbagai komoditas mineral termasuk timah. Berkaca pada perkembangan di nikel, agenda hilirisasi justru membawa arus ekstraksi yang lebih masif, dan menghancurkan ruang hidup masyarakat serta alam.
“Agenda hilirisasi dan algomerasi industri sebagai strategi pertumbuhan ekonomi di pemerintahan baru, akan berdampak pada Bangka Belitung yang memiliki potensi sumber daya mineral. Ini akan menjadikan Bangka Belitung sebagai objek eksploitasi,” lanjut Syaharani.
Dari sektor energi, termasuk agenda transisi energi, dengan adanya peningkatan nilai tambah dan harga komoditas, bisnis cenderung akan memperluas operasi pertambangan guna memenuhi kebutuhan bahan baku untuk pengolahan.
Ini berujung pada ekspansi area tambang yang berlebihan dan kawasan industri, yang berujung pada kerusakan ekosistem, deforestasi, dan pencemaran yang berdampak pada warga.
“Tentunya, agenda eksploitasi timah atas nama hilirisasi akan semakin intens, mengingat timah merupakan bahan baku penting dalam ekosistem energi terbarukan.”
Sama halnya dengan penemuan potensi logam tanah jarang [LTJ] yang juga krusial untuk infrastruktur pembangkit energi terbarukan. Kebutuhan LTJ akan mendorong masifnya upaya eksplorasi.
“Di luar kepentingan transisi energi, LTJ juga penting untuk industri pertahanan.”
Kepulauan Bangka Belitung juga menjadi target eksploitasi mineral thorium, sebagai sumber energi pembangkit listrik tenaga thorium [PLTT] atau nuklir.
“Nuklir ditargetkan mencapai 11.7 – 12.1% pada 2060. Nuklir tidak lagi menjadi opsi terakhir dalam pengembangan energi Indonesia. Dengan ini, eksplorasi cadangan thorium serta pengerukannya guna memenuhi kebutuhan suplai pembangkit listrik nuklir akan semakin gencar,” jelas Syaharani.
Sebagai informasi, terdapat tiga agenda transisi energi yang mengancam lingkungan di Kepulauan Bangka Belitung. Pertama, adanya rencana pembangunan PLTT di Pulau Gelasa. Kedua, pembangunan co-firing pembangkit listrik tenaga uap [PLTU] Air Anyir. Ketiga, pembangunan kebun energi di kawasan HTI dan perkebunan sawit.
Kekayaan kehati Pulau Gelasa yang terancam agenda transisi energi dengan adanya rencan pembangunan PLTT. Foto : Ariadi Damara/Mongabay Indonesia
Penolakan rakyat dan solusi pemulihan
Industri penambangan timah di Bangka Belitung telah berlangsung sejak awal abad ke-18. Perubahan lanskap Bangka dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat penambangan timah, bukan hal baru.
Dikutip dari penelitian Erwiza Erman [2010] berjudul “Aktor, Akses dan Politik Lingkungan di Pertambangan Timah Bangka” dalam Jurnal Masyarakat Indonesia, masalah lingkungan akibat tambang timah telah dilaporkan sejak 1800 hingga 1900-an.
“Seorang ahli geografi Jerman yang hidup dalam zaman berbeda, dengan sinis melaporkan bahwa Bangka memiliki banyak sungai tetapi kekurangan air bersih,” tulis penelitian tersebut.
“Tidak ada pulau di Nusantara yang telah mengalami perubahan topografi luar biasa akibat eksploitasi penambangan timah yang telah mengupas tanah secara meluas, telah menggundulkan hutan yang berlangsung beratus tahun,” lanjut keterangan Schuurman, dalam riset itu .
Pada 2008, luas lahan kritis di Bangka pernah mencapai 1.642.414 hektar. Hutan yang terdegradasi telah diperparah oleh air sungai yang tercemar.
“Ada sebelas sungai besar tercemar dan telah berubah warnanya menjadi kopi susu,” tulis penelitian yang sama.
Catatan penolakan rakyat juga sudah terjadi. Dari masyarakat pesisir, penolakan yang paling diperhatikan dalam penelitian Erwiza adalah gerakan penolakan masyarakat adat di Desa Rambat [Bangka Barat] yang “dilegitimasi oleh mitos” pada 2009 lalu.
Protes dipimpin oleh seorang perempuan sekaligus “dukun laut”, yang ditujukan kepada Bupati Bangka Barat yang memberi izin tiga kapal isap, yang akan mengambil timah sehabis-habisnya di perairan sekitar Tritis.
“Protes tersebut berhasil, ketiga kapal tidak beroperasi. Tingkat solidaritas yang tinggi di kalangan masyarakat nelayan Rambat diperkuat kepercayaan mereka terhadap mitos turun temurun. Mereka percaya akan terjadi bahaya jika mereka ‘menjual’ laut mereka ke orang asing,” tulis Erwiza.
Di kalangan petani, protes muncul akibat sulitnya memperoleh akses air bersih dan mengalir untuk merendam lada di sungai-sungai [1990-2005]. Hal ini dipicu keruhnya sejumlah aliran sungai akibat penambangan timah, yang berujung pada menurunnya kualitas lada masyarakat.
Menurut Sukardi, tokoh adat di Dusun Tuing mengatakan, kondisi lingkungan Bangka Belitung, antara dulu dan sekarang sama sekali tidak jauh berbeda.
“Malahan makin kacau. Masyarakat banyak yang berkonflik satu sama lain, hutan rusak, laut rusak. Pemerintah juga tidak pernah melibatkan kami [masyarakat adat] untuk menyelamatkan serta mengelola tanah dan laut kami,” katanya.
Saat ini, kian sulit menemukan habitat aman satwa liar di Kepulauan Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Jessix Amundian dari Tumber for Earth, mengatakan, jika berkaca pada beragam persoalan akibat penambangan timah yang telah disuarakan rakyat, peneliti, dan kawan-kawan aktivis lingkungan sejak dulu, kabar terbongkarnya kasus korupsi timah memang patut diselesaikan. Namun, bukanlah sesuatu yang mengejutkan.
“Sebaliknya, sudah saatnya pemerintah fokus pada pemulihan lingkungan,” katanya.
Jessix menjelaskan, selama ini konsep pemulihan dan penataan ulang lanskap telah disediakan oleh pengetahuan dan kearifan masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung.
Ini termasuk adanya wilayah ampak [wilayah larangan menambang timah], larangan tumbek [perlindungan kepala atau sumber air], tradisi behume [pangan], bukit larangan [sumber air], kelekak [sumber nutrisi dan buah-buahan], hingga hutan peramuan [sumber obat-obatan].
“Ini yang harus terus digali, diformulasikan, diterapkan dan menjadi ujung tombak pemulihan lingkungan di Kepulauan Bangka Belitung,” tegasnya.
Hutan Kerangas untuk Pulihkan Lahan Bekas Tambang Timah
Sumber: Mongabay.co.id