- Perlindungan penuh wajib diberikan kepada para awak kapal perikanan (AKP) Indonesia yang bekerja pada kapal ikan Indonesia (KII) atau kapal ikan asing (KIA). Sebabnya, pekerjaan mereka sangat rentan mendapatkan praktik tidak menyenangkan, bahkan tindak pidana hukum
- Tanpa perlindungan penuh, para AKP yang bekerja pada KIA atau KII sudah sering terjebak dalam praktik tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Praktik tersebut tak hanya merugikan secara materi, namun juga mengancam nyawa para AKP
- Akibat TPPO, para AKP tidak mendapatkan hak yang sudah dijanjikan seperti awal proses perekrutan. Mereka dijanjikan mendapatkan sejumlah materi dan kesempatan, namun pada kenyataannya mereka justru tidak mendapatkannya
- Kasus seperti itu terjadi pada empat orang AKP yang bekerja pada Kapal Motor (KM) Sumber Rizqi-a. Akibat mendapatkan praktik dugaan TPPO dan juga hak-hak yang diabaikan, mereka memilih untuk terjun ke laut dan sampai sekarang masih belum ditemukan
Praktik Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) diduga kuat masih terjadi di atas kapal perikanan yang beroperasi di Indonesia. Dugaan itu muncul, setelah ada kabar empat orang awak kapal perikanan (AKP) melompat ke laut dari kapal ikan Indonesia (KII) dan masih belum ditemukan sampai sekarang.
Keempat orang tersebut dikabarkan melompat dari Kapal Motor (KM) Sumber Rizqi-A milik PT Mina Samudera Rejeki sejak 29 Juli 2024. Empat orang tersebut diketahui berinisial DS, MS, IL, dan AH yang diduga kuat bekerja di kapal tersebut tidak sesuai dengan perjanjian awal.
Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia kemudian melaporkan dugaan TPPO tersebut ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri) dengan ditemani Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pijar Harapan Rakyat.
Pelaporan untuk mendampingi AKP dan keluarganya itu mendapat dukungan penuh dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM). Laporan itu juga menjelaskan tentang empat AKP yang bekerja untuk menangkap cumi pada perjanjian awal dengan pihak perusahaan yang melakukan perekrutan.
Keempat AKP dijanjikan mendapatkan gaji sebesar Rp3,5 juta per bulan dan kasbon senilai Rp6 juta di awal bekerja. Semua itu di luar fasilitas mendapatkan makan dan rokok yang ditanggung penuh oleh calon perekrut.
Untuk bisa bekerja di kapal tersebut, keempatnya harus meninggalkan rumah sejak 9 Juni 2024 untuk mengikuti proses perekrutan yang informasinya didapatkan dari sesama teman AKP. Tetapi, setelah mengikuti proses perekrutan dan tiba di rumah penampungan di Brebes, Jawa Tengah, mereka mendapatkan kenyataan berbeda dari perjanjian awal.
- Advertisement -
Baca : Kapal Perikanan Ilegal Diamankan di Laut Arafura, Diduga Terlibat Perdagangan Orang
DFW Indonesia bersama perwakilan AKP memberikan keterangan usai melaporkan kasus dugaan TPPO ke Bareskrim Polri. Foto : DFW Indonesia
Keempatnya harus menerima fakta bahwa mereka hanya akan bekerja selama tujuh bulan saja, dengan gaji berbeda dari janji awal. Mereka direkrut hanya dengan bermodalkan penahanan identitas kependudukan KTP oleh calo, tanpa penandatanganan dokumen Perjanjian Kerja Laut (PKL).
Penahanan KTP dilakukan sebelum para AKP dijemput untuk naik dan bekerja di atas kapal yang berada di Banyuwangi. Jawa Timur. Saat sudah berada di atas kapal, mereka baru sadar bahwa janji mendapatkan gaji Rp3,5 juta per bulan ternyata tidak ada.
Oleh perekrut, keempatnya kemudian diberikan penjelasan bahwa gaji yang diberikan mereka akan berlaku dalam bentuk sistem bagi hasil. Perbedaan itu terjadi pula pada janji penanggungan penuh kebutuhan biaya rokok dan makanan yang ternyata akan dihitung sebagai kasbon.
Walau mengetahui ada perbedaan janji, namun keempatnya memutuskan untuk tetap bekerja di atas kapal tersebut. Sampai dua bulan kemudian, mereka merasakan sudah bekerja dalam kondisi yang tidak sesuai dengan perjanjian.
Akhirnya, keempat AKP kemudian diketahui melompat dari atas kapal saat sedang berlayar di kawasan laut Alas Purwo, Banyuwangi yang berjarak sekitar 90 kilometer dari daratan. Sampai sekarang, keberadaan empat AKP masih belum diketahui.
Baik DFW Indonesia, SBMI, atau LBH Pijar Harapan Rakyat sama-sama menduga bahwa keempat AKP mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan karena terjebak dalam praktik TPPO sejak dari proses penempatan bekerja di atas kapal perikanan.
Baca juga : Nasib Buruk Awak Kapal Perikanan di Kapal Perikanan Asing
Plt Dirjen PSDKP KKP Pung Nugroho Saksono dengan AKP KM MUS yang ditangkap oleh KP Orca 06 di Laut Arafura, Maluku karena melakukan transshipment ilegal dengan melibatkan dua KIA, yaitu Run Zeng 03 dan Run Zeng 05. Foto : PSDKP KKP
Dugaan bahwa keempat AKP terjebak dalam praktik TPPO, didasarkan pada keterangan istri salah seorang AKP, yaitu K. Perempuan tersebut menjelaskan bahwa suaminya sempat mengabarkan kondisinya saat bekerja di atas kapal melalui sambungan telepon.
Saat di telepon, suaminya mengeluhkan kondisi kerja di atas kapal dan ingin segera pulang karena bekerja tidak sesuai dengan janji di awal perekrutan. Namun, tak lama setelah itu, ada pihak kapal yang mengabarkan kalau suaminya sudah lompat ke laut.
Berdasarkan pengakuan K, suaminya saat menelepon juga menyebut kalau dia bekerja di kapal tanpa mendapatkan gaji. Namun, pada momen yang sama, dia mendengar di ujung telepon suaminya ada yang sedang marah-marah.
“Habis itu saya dikontak lagi katanya suami saya udah lompat dari kapal, padahal sebelumnya mereka minta tebusan Rp850.000 per orang karena suami saya mau pulang,” terangnya.
Sistem Perekrutan AKP Tidak Jelas
Dugaan ada ketidakberesan yang dialami empat AKP, diakui Pengacara Publik DFW Indonesia Wildanu Syahril Guntur. Dia melihat bahwa kasus seperti itu terjadi karena sistem perekrutan AKP yang tidak jelas di Indonesia.
Dia mengatakan, selama ini sistem ada ketidakwajaran dalam sistem perekrutan AKP yang terjadi di Indonesia, terutama dalam struktur perekrutan AKP. Kondisi itu wajib dilakukan pembenahan, karena sudah menimbulkan korban jiwa.
Katanya, kondisi tersebut banyak dialami oleh AKP lain yang bekerja pada KII atau KIA sering menjadi bagian dari aduan yang dialamatkan kepada National Fishers Center (NFC) Indonesia. Seharusnya, Negara paham dengan kewajibannya untuk memberikan perlindungan kepada AKP.
Baca juga : Bagaimana Mencegah Perdagangan Orang Berkedok Perekrutan Awak Kapal Perikanan?
Evakuasi enam mayat awak kapal perikanan (AKP) KM Sri Mariana yang meninggal saat berlayar di sekitar Pulau Tempurung, Merak, Kota Cilegon, Banten, Minggu (4/8/2024). Foto : Polda Banten
Pernyataan itu ada sekaligus untuk menguatkan pendampingan kepada tujuh orang AKP yang bekerja pada KM Mitra Usaha Semesta (MUS) yang terlibat dalam TPPO bersama KIA berbendera Rusia, Run Zheng 03.
“Kami sangat prihatin dengan kondisi yang dihadapi oleh para AKP di Kepulauan Aru. Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya untuk meningkatkan pengawasan dan perlindungan terhadap awak kapal perikanan,” terangnya.
“Pemerintah harus segera membuat regulasi terkait tata kelola perekrutan dan penempatan kerja guna memberikan perlindungan bagi AKP lokal atau pun migran,” tambahnya.
Penegakan Hukum Aktor Utama
Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno menilai kalau kasus yang dialami empat AKP di KM Sumber Rizqi-a dan KM MUS tidak dapat dipandang sebagai kasus biasa. Laporan yang dilayangkan kepada Bareskrim bersama keluarga korban, diduga kuat kasus TPPO, karena ada tiga unsur yang sudah terpenuhi.
Mengingat ada dugaan bahwa proses perekrutan, pengangkutan, pemindahan, dan penempatan empat orang AKP KM Sumber Rizqi-a dilakukan oleh korporasi, maka tim menggunakan Pasal 2 UU 21/2007 juncto Pasal 13 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dalam pelaporan.
Pada prosesnya, korporasi menyalahgunakan kekuasaan dan memperdaya posisi rentan keempat orang AKP yang direkrut. Itu kenapa, kasus tersebut bukan kasus biasa, karena menyangkut empat nyawa manusia dan keluarga yang ditinggalkan oleh mereka.
Baca juga : Catatan Akhir Tahun: Bagaimana Nasib Awak Kapal Perikanan di Masa Depan?
Wahyungki Saputra (kedua dari kiri) dan Zulham Afandi (keempat dari kiri) bersama rekan-rekan AKP Indonesia lainnya ketika berada di kapal penangkap cumi dari Cina Ning Tai 95. Foto : Zulham
Sekretaris Jenderal SBMI Juwarih menambahkan, pelaporan kepada Bareskrim diharapkan membuahkan perlindungan dan dukungan maksimal kepada keluarga empat orang AKP yang hilang dan diduga kuat menjadi korban TPPO.
Menurut dia, pasal yang ditujukan dalam pelaporan adalah Pasal 13 UU 21/2007, karena KM Sumber Rizqi-A diduga kuat dimiliki PT Mina Samudra Rejeki. Perusahan tersebut adalah korporasi yang bertindak dan memobilisasi keuntungan untuk kepentingan korporasi.
Perusahaan menjadi tujuan, karena selama ini SBMI mengaku kalau penegakan hukum pada kasus TPPO masih berfokus pada pihak perekrut saja, dan belum pada aktor utamanya. Dia berharap, kasus KM Sumber Rizqi-a bisa menjadi jalan untuk membuka proses penegakan hukum kepada aktor utama.
“Harapan kami untuk kasus ini, pihak kepolisian juga serius untuk melakukan penyelidikan agar kasus ini tidak berakhir seperti kasus TPPO sebelum-sebelumnya,” ucap dia.
Pengacara Publik LBH Pijar Harapan Rakyat Rizal Hakiki yang ikut mendamping pelaporan dugaan TPPO pada empat AKP yang hilang di perairan Alas Purwo, Banyuwangi, menyebut kalau pelaporan tak hanya menjadi bentuk aduan dugaan TPPO, namun juga media edukasi bagi publik untuk berhati-hati menerima tawaran pekerjaan sebagai AKP.
Dia mengatakan kalau sebagian besar dari empat orang AKP yang hilang di laut, bertempat tinggal di Kota Serang, Provinsi Banten. Mereka terjerat TPPO, karena kondisi ekonomi yang ekstrem membuat mereka tergoda untuk bekerja di kapal perikanan.
Perekrutan Manipulatif
Tentang kasus TPPO yang melibatkan KM MUS dan RZ 03, DFW Indonesia memaparkan kalau saat ini kasus sudah menjalani pemeriksaan kedua oleh Bareskrim RI. Adapun, pemeriksaan pertama dilakukan pada 30 Juli 2024.
MS, salah satu dari tujuh orang AKP yang menjadi korban dugaan TPPO pada KM MUS dan RZ 03, menjelaskan tentang kondisi selama bekerja yang dialaminya bersama teman-teman. Awalnya, dia ditawari bekerja di kapal ikan dengan gaji Rp2 juta per bulan, kasbon Rp7 juta, tunjangan hari raya (THR) Rp2 juta, dan uang premi Rp500 ribu per kilogram sesuai hasil tangkapan.
Tetapi, setelah bekerja di atas kapal, hal yang dijanjikan tidak pernah diberikan, bahkan hanya sekali diberikan Rp500 ribu saat masih di Pelabuhan Juwana, Pati, Jawa Tengah, sebelum berlayar. Saat berada di atas kapal, semua AKP diberikan makan dan minum hanya saat selesai bekerja saja.
Sering juga, mereka harus menampung air hujan untuk bisa memenuhi kebutuhan minum sehari-hari. Tak itu saja, dia cerita kalau temannya pernah mengalami kecelakaan kerja dengan luka di kepala karena tertimpa ikan kakap yang berukuran besar.
“Namun, hanya disiram dengan alkohol dan lukanya ditambal dengan bubuk kopi saja,” tegasnya.
Baca juga : Kapan Perlindungan Penuh kepada Awak Kapal Perikanan Diberikan?
Seorang Awak Kapal Perikanan (AKP) di Pelabuhan Benoa, Bali menelepon kerabatnya setelah 11 bukan berada di tengah Samudera. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia
Belum lama ini, lima lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menyebut diri sebagai Organisasi Masyarakat Sipil mempublikasikan sorotan kenapa TPPO masih terjadi di Indonesia. Khususnya, pada industri perikanan tangkap yang mengoperasikan kapal perikanan.
Kelima LSM itu adalah Migrant CARE, Emancipate Indonesia, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), DFW Indonesia, dan Serikat Awak AKP Bersatu (SAKTI) Sulawesi Utara. Kelimanya mempublikasikan pernyataan untuk memperingati Hari Anti Perdagangan Orang se-Dunia pada 30 Juli 2024.
Ada sejumlah permasalahan yang harus segera ditindaklanjuti jika TPPO ingin bisa diatasi di Indonesia. Pertama, masih lemahnya penegakan hukum dan pengawasan di laut. Itu terlihat dari kasus-kasus pekerja perikanan yang bekerja tanpa memiliki dokumen lengkap seperti Buku Pelaut, Basic Safety Training (BST), dan Perjanjian Kerja Laut (PKL).
Atau, terjadinya manipulasi dokumen-dokumen yang menjadi syarat untuk bekerja di kapal perikanan, baik asing (KIA) atau dalam negeri (KII). Kondisi itu membuat para pekerja perikanan semakin rawan dieksploitasi dan menjadi korban TPPO.
Kedua, masih ada dualisme pembuatan Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal Perikanan (SIUPPAK) yang membuat pemberantasan TPPO di sektor perikanan menjadi terhambat. Lalu, belum ada aturan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran.
Akibat ketiadaan aturan turunan, perlindungan kepada AKP menjadi kurang dan itu menjadi celah yang besar untuk terjadinya TPPO kepada pekerja perikanan.
Ketiga, belum ada upaya untuk ganti kerugian terhadap pelaku penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar regulasi (IUUF) yang mencakup sejumlah aktor penting yang terlibat. Jadi, tidak hanya pelaku di lapangan saja, namun juga aktor utamanya ditindak secara hukum.
Sasaran kepada aktor utama harus ada, karena kasus TPPO yang selama ini ada, hanya berfokus pada pelaku di lapangan saja. Itu semakin mempersulit pemberantasan praktik tersebut, karena tidak ada sanksi yang diberikan kepada aktor utama.
Baca juga : Membangun Sistem yang Aman dan Nyaman untuk Pekerja Perikanan
Aktivitas sekelompok awak kapal perikanan (AKP) di sebuah kapal penangkap ikan. Foto : Tommy Trenchard/Greenpeace
Tak lupa, sampai saat ini praktik TPPO masih melibatkan pekerja anak sebagai korbannya. Kondisi itu harus menjadi perhatian semua pihak, termasuk negara. Sayangnya, sampai saat ini pemerintah masih belum menunjukkan keseriusan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan TPPO.
Faktor lain kenapa memberantas TPPO menjadi semakin sulit, adalah karena praktik korupsi dan keterlibatan pejabat semakin besar, terutama di sektor pekerja rumah tangga, kelapa sawit, perikanan, dan industri ekstraktif.
Tak hanya itu, kejahatan TPPO juga masih terus berlangsung melalui praktik eksploitasi seksual, termasuk eksploitasi seksual pada pekerja anak. Namun sayangnya, pemerintah sangat terbatas dalam melakukan pengembangan dan penerapan standar operasional prosedur (SOP) nasional untuk identifikasi korban TPPO di semua sektor. Itu menyebabkan kurangnya identifikasi proaktif, terutama terhadap laki-laki dan anak laki-laki.
Peningkatan Kasus TPPO
Koordinator Advokasi SBMI Yunita menjelaskan kalau TPPO adalah kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) dengan modus operandi semakin kompleks, termasuk peran penting keamanan digital dalam praktik-praktiknya. Informasi yang tidak jelas sering kali diperoleh melalui platform digital yang dimanfaatkan oleh oknum untuk merekrut calon korban.
Berdasarkan Data Penanganan Kasus SBMI dan Solidaritas Perempuan (SP) selama tahun 2019-2024, lebih dari 1.800 orang buruh migran Indonesia yang terindikasi kuat sebagai korban TPPO. Temuan kasus SP terdapat peningkatan tren migrasi non prosedural di sektor informal sebesar 87 persen.
Pada 2024, Indonesia naik ke tier 2 dalam laporan TPPO Kementerian Luar Negeri AS, setelah sebelumnya berada di tier 2 watchlist. Perubahan itu mencerminkan perbaikan dalam perlindungan, pencegahan, dan penuntutan kasus TPPO.
Meskipun, masih terdapat 14 rekomendasi prioritas, seperti revisi UU 21/2007 untuk menghapus persyaratan demonstrasi kekerasan, penipuan, atau pemaksaan dalam perdagangan seks anak, serta peningkatan upaya penyelidikan dan penuntutan terhadap kejahatan perdagangan manusia. (***)
Benarkah Indonesia Berhasil Investigasi Perdagangan Orang di Sektor Perikanan?
Sumber: Mongabay.co.id