Rhett A. Butler, pendiri Mongabay, mencurahkan keprihatinannya terhadap nasib badak Sumatra yang berada di ambang kepunahan. Dalam surat terbuka yang ditujukan kepada anaknya, dan juga generasi mendatang, ia mengungkapkan kepedihan mendalam atas kegagalan kolektif manusia melindungi spesies ikonik ini.
Bayang-bayang kepunahan badak Sumatra menghantui Rhett A. Butler. Sebagai pendiri Mongabay, sebuah platform media lingkungan yang cukup terkemuka, ia telah ikut menjadi saksi perjuangan badak-badak di dunia ini melawan ancaman perburuan, hilangnya habitat, dan ketidakpedulian manusia. Hari Badak Sedunia yang baru saja berlalu mengingatkannya akan urgensi situasi ini, mendorongnya untuk menuliskan sebuah surat yang sarat akan emosi sekaligus harapan.
Surat yang ditujukan kepada anakanya tersebut dimulai dengan sebuah permintaan maaf yang tulus. Butler merasa bersalah karena telah mengecewakan mereka, mengecewakan dunia, dan membiarkan makhluk purba yang telah menjelajahi bumi selama jutaan tahun ini berada di ambang kepunahan. Badak Sumatra, dengan bulu lebatnya dan sosoknya gagah menawan, seharusnya menjadi warisan planet bumi yang lestari, namun kini terancam menjadi korban dari era kita—sebuah era yang ditandai oleh kehilangan, kelalaian, dan rusaknya jalinan alam yang rapuh.
Rhett A Butler, pendiri Mongabay
Butler mengenang masa ketika anaknya lahir, saat populasi badak Sumatra di alam liar hanya tersisa kurang dari lima puluh individu. Ia tahu saat itu bahwa waktu terus berdetak, dan setiap hari sangatlah berharga. Namun, meskipun memiliki pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya konservasi, manusia gagal. Kita gagal melindungi cukup banyak badak, gagal memulihkan habitat mereka, dan gagal menghentikan perburuan serta perusakan habitat yang tak henti-hentinya.
“Bagaimana kita bisa membiarkan ini terjadi?” Butler mempertanyakan. “Bagaimana kita membiarkan salah satu spesies tertua di Bumi, makhluk yang bertahan dari zaman es dan pasang surut bumi, menghilang di depan mata kita sendiri?”
Namun, surat ini bukan hanya tentang kepunahan badak Sumatra, melainkan tentang kehilangan yang lebih besar, tentang lubang menganga dalam jaring kehidupan, tentang warisan yang kita tinggalkan untuk generasi mendatang—sebuah dunia yang lebih ‘miskin’, lebih sepi, dan tak lagi menakjubkan seperti sebelum-sebelumya.
- Advertisement -
Butler berharap surat ini tak pernah harus ia sampaikan kepada anaknya. Ia membayangkan anaknya yang baru berusia tiga tahun tumbuh di dunia tanpa badak Sumatra, spesies yang mungkin akan punah di alam liar sebelum ia dewasa. Namun, ia juga menekankan bahwa masih ada harapan.
“Masih ada waktu untuk bertindak, untuk mengubah takdir,” tulis Butler. Ia menyerukan kepada semua pihak untuk bersatu dan berjuang sekuat tenaga demi menyelamatkan badak Sumatra dari kepunahan. Surat ini, yang semula ia harapkan menjadi peringatan, bisa menjadi awal dari sebuah perubahan besar.
Butler menutup suratnya dengan sebuah pesan penuh harapan. Ia percaya bahwa generasi mendatang, anak-anak kita, akan mampu bercerita tentang bagaimana kita bangkit dan memilih untuk melindungi kehidupan, tidak peduli betapa sulit, terlambat, atau kecil harapannya. Karena pada akhirnya, harapan adalah kekuatan yang luar biasa, dan bila dipadukan dengan tindakan nyata, ia bisa mengubah dunia.
Hari Badak Sedunia mungkin telah berlalu, namun perjuangan untuk melindungi badak Sumatra dan keanekaragaman hayati lainnya harus terus berlanjut. Surat terbuka Rhett Butler ini menjadi pengingat yang kuat akan tanggung jawab kita sebagai manusia untuk menjaga kelestarian alam, demi generasi mendatang dan masa depan planet kita.
Beginilah isi lengkap surat terbuka Rhett A. Butler anaknya, dan juga generasi mendatang. (Terjemahan dalam bahasa Indonesia ada di bawahnya)
———
A Letter to I Hope I Never Have to Send
Rhett Ayers Butler – August 2024
I’m sorry.
I’m sorry for letting you down, for letting the world down, and for letting a creature that once roamed the earth for millions of years slip away. The Sumatran rhino, with its thick coat of bristling hair and mournful song, is no longer a living testament to our planet’s wild past. Instead, it has become a casualty of our time—an era marked by loss, negligence, and the slow unraveling of nature’s fabric.
When you were born, less than fifty of these magnificent beings remained, scattered in the shrinking forests of Sumatra and possibly Borneo. We knew then that the clock was ticking, that every day counted. Yet, despite our knowledge, despite the calls for action, we failed. We failed to capture and protect enough rhinos, failed to restore their habitats, and failed to halt the relentless march of poaching and habitat destruction that drove them to the edge.
Now, as I write this, I can’t help but feel the weight of our collective failure. How could we let this happen? How did we allow one of Earth’s oldest species, a creature that survived ice ages and the rise and fall of empires, to vanish on our watch?
Satu dari dua anak badak yang lahir di Suaka Badak Sumatera di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, Indonesia. Tujuh badak Sumatra saat ini berada di Suaka Badak Sumatera, termasuk dua badak yang lahir di penangkaran di Kebun Binatang Cincinnati, dan dua badak yang lahir di cagar alam. Kelahiran ini telah memperbarui harapan bahwa spesies dapat berkembang biak di penangkaran tanpa menggunakan ART. Namun, semua badak sumatera jantan yang saat ini berada di penangkaran memang terkait secara genetik. Foto: Rhett Butler/Mongabay
But this is not just about the Sumatran rhino. It’s about what we lose when we allow a species to disappear. It’s about the holes we tear in the web of life and the inheritance we leave to you and your generation—a world that is poorer, lonelier, and less full of wonder.
This is a letter I hope I never have to deliver to you. You just turned three, and the Sumatran rhino is currently on a trajectory to be functionally extinct in the wild before you’re able to vote.
But it’s not too late.
There is still time to act, to change the course of history. If we come together, if we fight with everything we have, we can save this species before it blinks out forever.
This letter can remain a warning, not a farewell.
And one day, you can tell your children that when it mattered most, we stood up and chose to protect life—no matter how difficult, no matter how late, no matter how small the chance.
Because in the end, hope is a powerful force, and when combined with action, it can change the world.
World Rhino Day is September 22nd.
——–
Terjemahan:
Saya Harap, Saya Takkan Pernah Harus Mengirim Surat Ini
Rhett Ayers Butler – Agustus 2024
Maafkan Ayah, Nak.
Maaf karena telah mengecewakanmu, mengecewakan dunia, dan mengecewakan makhluk istimewa yang telah berjuta tahun menghuni bumi ini. Badak Sumatra, dengan bulu tebalnya dan lagu sendu yang ia nyanyikan, tak lagi menjadi saksi hidup dari masa lalu liar planet kita. Sebaliknya, ia telah menjadi korban dari zaman kita—sebuah masa yang dipenuhi kehilangan, kelalaian, dan terurainya perlahan jalinan alam yang indah.
Saat kamu lahir, hanya tersisa kurang dari lima puluh badak yang terserak di hutan-hutan Sumatra yang (ruang hidupnya) semakin sempit, mungkin juga di Kalimantan. Kita tahu waktu terus berjalan, setiap detik begitu berharga. Namun, meski tahu, meski ada seruan untuk bergerak, kita gagal. Kita gagal melindungi mereka, gagal memulihkan rumah mereka, gagal menghentikan perburuan dan perusakan yang tak henti yang membuat mereka berada di ujung tanduk (kepunahan).
Kini, saat Ayah menulis ini, rasa bersalah menyelimuti hati. Bagaimana kita bisa membiarkan ini terjadi? Bagaimana kita, manusia, bisa membiarkan salah satu spesies tertua di Bumi, makhluk yang bertahan dari zaman es dan pasang surut kekuasaan manusia, menghilang di depan mata kita?
Tapi ini bukan hanya tentang badak Sumatra, Nak. Ini tentang apa yang kita relakan hilang ketika kita membiarkan satu spesies punah. Ini tentang lubang yang kita buat dalam jaring kehidupan, dan warisan yang kita tinggalkan untukmu dan anak cucumu—sebuah dunia yang lebih miskin, lebih sepi, dan tak lagi menakjubkan.
Ayah berharap surat ini tak pernah harus Ayah berikan padamu. Kamu baru tiga tahun, dan badak Sumatra kini di ambang kepunahan di alam liar, mungkin bahkan sebelum kamu bisa memilih (ikut pemilihan umum) nanti.
Tapi, belum terlambat, Nak.
Masih ada waktu untuk bertindak, untuk mengubah takdir. Jika kita bersatu, jika kita berjuang sepenuh hati, kita bisa menyelamatkan mereka sebelum mereka hilang selamanya.
Surat ini bisa menjadi pengingat, bukan perpisahan.
Dan suatu hari, kamu bisa bercerita pada anak-anakmu bahwa saat ini begitu genting, kita bangkit dan memilih untuk melindungi kehidupan—tidak peduli betapa sulitnya, betapa terlambatnya, betapa kecil harapannya.
Karena pada akhirnya, harapan adalah kekuatan yang luar biasa, dan bila dipadukan dengan tindakan, ia bisa mengubah dunia.
Hari Badak Sedunia adalah tanggal 22 September.
Sumber: Mongabay.co.id