- Perjuangan petani Tebo, Jambi, yang tergabung dalam Serikat Petani Tebo (STT), peroleh hak tanah banyak melalui lika-liku, dari intimidasi, teror, bahkan sampai terjadi penganiayaan terhadap petani Tebo hingga tewas, Indra Pelani. Tulisan sebelumnya menceritakan soal para petani Tebo, berjuang mempertahankan tanah yang berkonflik agraria dengan perusahaan kayu.
- STT adalah organisasi para petani di Kabupaten Tebo, Jambi untuk mengadvokasi hak-hak lahan warga yang hadapi konflik agraria. Perjuangan bukan hanya untuk merebut tanah. Tanah bagi petani Tebo adalah tentang kehidupan, martabat, masa depan dan generasi mendatang. Sebagai organisasi, STT berdiri sejak 2013, meski perjuangan parsial sejak 2006.
- Melalui organisasi STT, para petani membangun kemandirian secara swadaya. Mereka bikin sekolah dasar kelas jauh, pondok pesantren, masjid, hingga jalan.
- Sebagai gerakan tani, mereka juga pelatihan bagi anak-anak muda petani, seperti misal lewat Akademi Reform Agraria Sejati (ARAS) yang memberikan pendidikan kader yang melibatkan sekitar 10 anak muda. Tujuannya, memberi kapasitas dan peran bagi generasi mendatang tentang pentingnya reforma agraria dan hak atas tanah.
- Advertisement -
Perjuangan Serikat Petani Tebo (STT), Jambi, peroleh hak tanah banyak melalui lika-liku, dari intimidasi, teror, bahkan sampai terjadi penganiayaan terhadap petani Tebo hingga tewas, Indra Pelani.
Pada 27 Februari 2015, Indra Pelani pamit kepada rekan-rekannya di Serikat Tani Tebo (STT)hendak menjemput Nick Karim, aktivis dari Walhi Jambi. Mereka akan bertemu di Simpang Niam.
Tak ada satupun kawan Indra yang menyangka kalau itu perjumpaan terakhir mereka dalam keadaan hidup.
Siang itu, sekitar pukul 14.30, Indra menjemput Karim di Simpang Niam, setelah berkendara hampir dua jam, mereka sampai di pos kembar sekuriti, disetop dua anggota unit reaksi cepat PT Wira Karya Sakti (WKS), perusahaan pemasok pulp Sinar Mas Group.
“Mau kemana?” kata Karim menirukan pertanyaan petugas keamanan itu. Karim ceritakan itu di depan Komisi Hak Asasi Manusia di Jakarta, pada 2015.
Setelah menjawab hendak masuk ke ladang warga di area PT WKS, sekonyong-konyong Indra lantas dipukuli lima anggota keamanan perusahaan itu.
Tak kuasa melerai, Karim mencari bantuan warga desa. Sekitar pukul 16.30, Karim dan sekitar 30 warga mendatangi pos. Namun, Indra sudah tak lagi berada di lokasi. Penjaga pos mengaku tak mengetahui keberadaan Indra dan para pengeroyok.
“Pukul 10.00 pagi esoknya, ada pemberitahuan Indra sudah meninggal. Saya syok,” kata Sadli, tokoh penggerak STT.
Jasad Indra ditemukan dibuang sekitar tujuh kilometer dari Distrik Delapan. Tubuh terikat dengan tangan dan kaki, dibuang di rawa.
Kematian Indra ini adalah puncak eskalasi konflik agraria antara warga dengan perusahaan.
Koalisi Aksi Bersama melakukan unjuk rasa di depan Kantor Polda Jambi pada Kamis (05/03/2015), meminta pengusutan tuntas kematian Indra, petani Tebo, Jambi. Foto : Walhi Jambi
***
STT adalah organisasi para petani di Kabupaten Tebo, Jambi untuk mengadvokasi hak-hak lahan warga yang hadapi konflik agraria.
Bagi mereka, perjuangan bukan hanya untuk merebut tanah. Tanah bagi mereka adalah tentang kehidupan, martabat, dan masa depan dan generasi mendatang. Sebagai organisasi, STT berdiri sejak 2013, meski perjuangan parsial sejak 2006.
“Berorganisasi adalah kunci,” kata Yadi, Ketua STT.
“Kami telah mencoba melawan sendiri, tetapi tidak berhasil. Aparat selalu kembali ketika kami melawan sendiri. Ini adalah alasan mengapa organisasi sangat penting bagi kami. Organisasi memungkinkan kami untuk bersatu dan bergerak sebagai satu kekuatan.”
Melalui organisasi STT, para petani membangun kemandirian secara swadaya. Mereka membangun sekolah dasar kelas jauh, pondok pesantren, masjid, hingga jalan.
Sumbangan diperoleh dari hasil panen yang mereka dapat. Tak ada ketentuan, umumnya Rp100 per kg hasil panen baik itu sawit, karet ataupun hasil ladang.
Sebagai gerakan tani, mereka juga pelatihan bagi anak-anak muda petani, seperti misal lewat Akademi Reform Agraria Sejati (ARAS) yang memberikan pendidikan kader yang melibatkan sekitar 10 anak muda. Tujuannya, memberi kapasitas dan peran bagi generasi mendatang tentang pentingnya reforma agraria dan hak atas tanah.
Nyai Jusma dan petani perempuan Lubuk Mandarsah, Tebo berjuang lahannya yang berkonflik dengan HTI WKS
Yadi sadar, perjuangan mereka masih jauh. Kejelasan atas status tanah adalah tujuan mereka.
“Harapan kami [status tanah] kami dikeluarkan dari kawasan hutan oleh pemerintah. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, apakah kami akan terus digusur atau tidak. Namun, harapan kami adalah untuk memiliki status kepemilikan tanah.”
Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), konflik agraria di Jambi terus meningkat dari tahun ke tahun.. Situasinya diperparah oleh Undang-undang Cipta Kerja yang memberikan ruang lebih banyak bagi investasi.
Selama kurun tiga tahun terakhir, KPA Jambi mendampingi lebih 70 petani yang dikriminalisasi karena konflik agraria.
“Jambi peringkat kedua dalam jumlah konflik agraria di Indonesia,” kata Frandodi Korwil KPA Jambi.
Dia bilang, persoalan di tingkat tapak, tidak akan selesai kalau benang kusut kebijakan di tingkat nasional tidak selesai.
“Konflik agraria ini masalah struktural. Kebijakan pemerintah adalah kunci. Jika ada kebijakan yang mendukung, masalah ini dapat diatasi.Memastikan pemerintah melaksanakan reforma agraria berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960.”
Reforma agraria adalah tentang rasa keadilan sosial, mengembalikan tanah kepada rakyat dan mengurangi dominasi korporasi besar. Sebagai contoh, mengurangi dominasi Sinarmas, yang menguasai ratusan ribu hektar tanah di Jambi, sedang rakyat tidak memiliki akses ke lahan.
Selama setengah abad lebih, negara lalai dan meninggalkan panduan restrukturisasi sistem agraria yang diatur oleh Undang-undang.
“Reforma agraria ini berakar pada konstitusi negara kita. Ini amanah konstitusi yang tidak bisa ditunda,” katanya.
Di Jambi, konflik agraria memiliki berbagai tipe, dari persoalan lahan kehutanan seperti HTI (hutan tanaman industri) sampai perkebunan, dan pertambangan. Setiap tipe konflik memiliki tantangan dan dinamika sendiri.
“Penangannya juga berbeda.”
Misal, konflik dengan HTI jadi lebih sulit karena melibatkan kekuatan besar. Juga perkebunan skala besar, kecuali kalau perkebunan tak memiliki izin. Perkebunan terbagi dua, ada swasta dan BUMN.
Ada juga konflik yang berhubungan dengan tambang.
“Ini bukan lagi hanya tentang tanah, ini tentang mencoba memindahkan orang. Ketika tanah telah dibeli dan digusur, apakah tanah itu akan bertambah? Tentu tidak, yang terjadi adalah pemaksaan orang untuk pindah. Ini konflik sangat jahat, yang merusak lingkungan dan mencoba menggusur masyarakat,” kata Dodi.
Warga di Tebo, Jambi, yang berupaya mempertahankan tanah mereka karena berkonflik dengan perusahaan kayu. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia
Dalam melihat reforma agraria, tidak semata-mata hanya persoalan merebut lahan, tetapi adalah mengedukasi warga untuk berorganisasi, mengelola dan menciptakan tata ruang yang tidak tumpang tindih.
Masyarakat memiliki peran yang paling penting dalam perjuangan reforma agraria. Meski Dodi bilang, faktor utama, yaitu negara, harus dipaksa menjalankan reforma agraria.
“Tujuan utama KPA adalah memaksa negara mengakui dan melaksanakan reforma agraria. Tantangan terbesar, ketidakpedulian pemerintah dalam menyelesaikan masalah ini. Mereka hanya datang ketika saat pemilihan umum.”
Pemerintah lewat aparaturnya, malah terkesan pro kepada pengusaha dan penguasa.
“Banyak keterlibatan TNI-Polri dalam melakukan intimidasi dan memaksa rakyat untuk menghadapi penggusuran. Ini berlangsung selama beberapa dekade, melibatkan banyak pergantian pemerintahan,” sebut Dodi.
Dalam pendampingan di Jambi, katanya, sudah memakan waktu panjang. KPA bersama elemen masyarakat sipil lain, sejak 2006 melawan penggusuran oleh WKS dan mendesak Komnas HAM turun tangan.
KPA juga terus memperkuat gerakan rakyat, menyadarkan mereka akan hak-hak, dan bersatu dalam perjuangan ini.
“Semua elemen masyarakat terlibat. Bapak-bapak, ibu-ibu, pemuda, dan anak-anak. Semua memiliki peran. Di Bukit Rinting, misal, anak-anak terlibat. Mereka berbaris mengenakan seragam sekolah, ini menggugah perasaan ibu-ibu. untuk memperjuangkan hak-hak mereka.”
***
*Tulisan ini terbit atas kolaborasi Mongabay Indonesia dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Cerita Petani Tebo Berjuang Pertahankan Tanah
Sumber: Mongabay.co.id