- Suku Besemah, Sumatera Selatan, memiliki tradisi menarik ketika memasuki hutan, yaitu menabur biji-bijian. Mereka menaburnya di area terbuka, baik akibat longsor atau aktivitas manusia.
- Biji-bijian yang ditabur, umumnya tumbuhan Misalnya pohon tembesu [Fragraea fragrans Robx.], cendana [Santalum album l], bayur [Pterospermum], kerinjing [Bischofia javanica], dan lainnya.
- HKm Kibuk merupakan bentuk Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan yang sudah masuk klasifikasi gold atau emas. Sebab unit usahanya sudah berjalan, memiliki produk dan modal usaha, serta ada pasar lokal.
- Sejauh ini, dari 133.390,23 hektar kawasan hutan yang diperuntukan Perhutanan Sosial [PS] di Sumatera Selatan, skema HKm yang paling luas, yakni 47.030 hektar untuk 101 perizinan dengan keterlibatan 11.022 kepala keluarga.
Ada tradisi menarik Suku Besemah, Sumatera Selatan, ketika memasuki hutan, yaitu menabur biji-bijian. Mereka menaburnya di area terbuka, baik akibat longsor atau aktivitas manusia.
“Tradisi yang diwariskan para leluhur kami ini, mungkin belajar dari burung dan satwa lainnya, yang menebar benih melalui biji-bijian,” kata Rusi Siruadi, warga Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagaralam, Sumatera Selatan, Selasa [17/9/2024] lalu.
Hutan yang sering dimasuki Suku Besemah, selain perbukitan yang terhubung dengan Gunung Dempo [3.195 mdpl] dan perbukitan Gunung Patah [2.650 mdpl], adalah Bukit Jambul dan Bukit Jambul Asahan.
Hamparan kawasan pemukiman di sekitar lembah dan hutan, wilayah perbukitan Gunung Dempo dan perbukitan Gunung Patah, disebut “Besemah libar” merupakan lanskap penyebaran Suku Besemah.
Baca: Perhutanan Sosial dan Utang Pemerintahan Jokowi pada Masyarakat Sekitar Hutan
- Advertisement -
Hutan di HKm Kibuk selain sebagai penjaga air, juga menjadi habitat beragam jenis satwa, termasuk harimau sumatera. Foto: Muhammad Tohir/Mongabay Indonesia
Biji-bijian yang ditabur, umumnya tumbuhan hutan. Misalnya pohon tembesu [Fragraea fragrans Robx.], cendana [Santalum album l], bayur [Pterospermum], kerinjing [Bischofia javanica], dan lainnya.
“Prinsipnya yang ada bijinya, lalu buahnya bisa dimakan satwa atau burung, serta dapat kami manfaatkan sebagai obat-obatan,” jelas Rusi, saat menaburkan biji-bijian di kawasan HKm [Hutan Kemasyarakatan] Kibuk, Bukit Dingin, Gunung Dempo.
Baca juga: Menilik Arah Masa Depan Perhutanan Sosial di Indonesia
Bijian tanaman hutan ini disebar agar ketika besar buahnya dapat dimakan burung atau satwa liar. Foto: Muhammad Tohir/Mongabay Indonesia
HKm Kubik yang luasnya 450 hektar berada di ketinggian 1.700-1.900 meter di atas permukaan laut. Di masa pemerintahan Hindia Belanda, kawasan ini merupakan perkebunan kina. Setelah Indonesia merdeka dijadikan kawasan hutan lindung.
Masyarakat sekitar, membuka kebun kopi dan sayuran di Kibuk. Tapi sejak 1970-an hingga 1990-an, para petani sering dikejar dan ditangkap aparat, dikarenakan dituduh merambah hutan lindung.
Selain dengan aparat keamanan, para petani juga sering bersinggungan dengan PTPN VII sebagai pemilik hak guna usaha [HGU] perkebunan teh, yang diklaim mencapai 1.478 hektar. Kibuk dinilai bagian dari kawasan tersebut.
“Hadirnya HKm Kibuk sangat membantu dan menyelesaikan konflik tersebut. Saat ini, tercatat 132 kepala keluarga yang mendapatkan manfaatnya,” kata Boedi Majari, Ketua HKm Kibuk.
Baca: Pandemi Menghambat Perkembangan Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan?
Genangan air di dalam hutan HKm Kibuk merupakan sumber mata air bagi beragam satwa. Foto: Muhammad Tohir/Mongabay Indonesia
Beragam jenis burung yang sering terlihat atau menetap di hutan HKm Kibuk, termasuk enggang gading atau rangkong gading [Rhinoplax vigil] dan burung betet [Psittacula alexandri].
“Tapi, burung enggang gading kian jarang terlihat,” kata Boedi.
Fungsi hutan tersebut, jelas dia, selain sebagai penjaga air di Bukit Dingin, juga sebagai rumah bagi beragam satwa, khususnya kucing kecil dan kucing besar.
“Kawasan hutan di Bukit Dingin merupakan habitat harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae]. Habitat Bukit Dingin [Barat] terhubungan dengan Bukit Jambul Gunung Patah [Timur]. Keberadaan hutan dan mata air sangat dibutuhkan satwa tersebut. Di hutan ini, hidup beragam satwa yang menjadi makanannya seperti kijang dan babi,” jelasnya.
Baca juga: Peran Media Dibutuhkan untuk Perkembangan Perhutanan Sosial
Kawasan hutan di HKM Kibuk, Kota Pagaralam, Sumsel, yang merupakan habitat harimau sumatera. Foto: Muhammad Tohir/Mongabay Indonesia
Kopi jadi andalan
Deddy Permana, Direktur Eksekutif HaKI [Hutan Kita Institut], menyatakan HKm Kibuk merupakan bentuk Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan yang sudah masuk klasifikasi gold atau emas. Sebab unit usahanya sudah berjalan, memiliki produk dan modal usaha, serta ada pasar lokal.
“Produknya bukan hanya kopi [green bean dan kopi bubuk], juga sayuran dan buah-buahan. Konsepnya agroforestri. Semua produk itu telah memiliki pasar, baik lokal [Pagaralam dan Palembang], juga ke Jawa. Kini mereka tengah meniti ke pasar international, sejalan perkembangan komoditas yang diusahakan empat tahun terakhir,” terangnya, pertengahan September 2024.
Kopi arabika yang dikembangkan HKm Kibuk. Kopi ini memiliki pasar yang baik, lokal maupun regional. Foto: Muhammad Tohir/Mongabay Indonesia
Tanaman sela di perkebunan kopi arabika [Coffea arabica] tersebut antara lain kayu manis [Cinnamomum verum], alpukat [Persea americana], dan terung belanda [Solanum betaceum]. Sementara sayuran yang ditanam adalah kol, cabai, daun bawang, kentang, dan sawi.
“Selain itu dikembangkan juga agrowisata bernama HKm Kibuk 94,” katanya.
Kayu manis yang menjadi tanaman sela di perkebunan kopi arabika di lokasi HKm Kibuk, Pagaralam, Sumatera Selatan. Foto: Muhammad Tohir/Mongabay Indonesia
Sejauh ini, dari 133.390,23 hektar kawasan hutan yang diperuntukan Perhutanan Sosial [PS] di Sumatera Selatan, skema HKm yang paling luas, yakni 47.030 hektar untuk 101 perizinan dengan keterlibatan 11.022 kepala keluarga.
Sebagian besar HKm dan HD [Hutan Desa] di wilayah dataran tinggi di Sumatera Selatan, seperti di Kabupaten Lahat, Kota Pagaralam, Muaraenim [Semende], dan Ogan Komering Ulu [OKU] Selatan, mengembangkan kopi arabika atau robusta [Coffea canephora].
Beberapa HKm dan HD dampingan HaKI, yang mengembangkan kopi adalah Kabupaten Lahat [6 kelompok], Kota Pagaralam [9 kelompok], Semende [14 kelompok], serta OKU Slatan [4 kelompok].
Tradisi menabur biji tumbuhan di hutan adalah cara masyarakat Suku Besemah, Sumatera Selatan, melestarikan hutan. Foto: Muhammad Tohir/Mongabay Indonesia
Masyarakat yang mengembangkan perkebunan kopi dalam skema PS bukan hanya di Sumatera Selatan. Beberapa produk kopi dari Kelompok Usaha Perhutanan Sosial [KUPS] di Jambi, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur [NTT], bahkan sudah diekspor ke luar negeri.
Dikutip dari ppid.menlhk.go.id, pada gelaran One Day With Indonesia Coffee Fruits Floriculture [ODICOFF] pada 2021, sejumlah pelaku usaha di Turki menjalin kesepakatan dengan tiga KUPS, yakni Kopi Batabual [Maluku], Kopi Kerinci [Jambi], dan Kopi Rimba Bajawa, NTT.
Luasan kebun kopi di Indonesia sekitar 300-an ribu hektar. Enam provinsi yang tercatat sebagai setra kopi adalah Sumatera Selatan, Lampung, Sumatera Utara, Aceh, Bengkulu, dan Jawa Timur.
Pada tahun 2022, ekspor kopi Indonesia mencapai 437,56 ton atau memberikan devisi negara sebesar USD1,15 miliar.
* Muhammad Tohir, fotografer dan memimpin Ghompok Art Kolektif, sebuah komunitas fotografer di Palembang.
Perhutanan Sosial dan Utang Pemerintahan Jokowi pada Masyarakat Sekitar Hutan
Sumber: Mongabay.co.id