- Muhammad Asri bersama anggota Kelompok Tani Mattiro Baji berupaya melestarikan sejumlah spesies anggrek di hutan Campaga Bantaeng, Sulawesi Selatan, dengan melakukan perbanyakan vegetatif dengan cara stek.
- Jika dulunya mereka mengambil anggrek dari dalam hutan, kini mereka tak lagi mengambil anggrek dan bahkan memasukkan kembali anggrek tersebut ke dalam hutan agar terjaga kelestariannya.
- Terdapat sekitar 78 spesies anggrek yang dibiakkan di green house Kelompok Tani Mattiro Baji, meski hanya beberapa jenis yang dikenal luas seperti anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis), anggrek macan (Grammatophyllum speciosum), anggrek pandan (Dipodium scandens) dan Dendrobium.
- Karena permintaan tinggi dan produksi terbatas, mereka berharap bisa melakukan perbanyakan melalui metode kultur jaringan.
Siang itu, langit sangat cerah. Muhammad Asri (54) melajukan motornya sepanjang jalan desa lalu berhenti di depan sebuah pohon rambutan besar di depan rumah seorang warga, kami ikut singgah.
Sekilas tak ada yang istimewa di pohon itu, namun setelah dilihat dari dekat terlihat beberapa tanaman anggrek menempel di beberapa bagian batang pohon. Akarnya menjalar ke berbagai arah, sebagian telah ditumbuhi tunas.
Asri kemudian mengambil beberapa tunas itu, meletakkan di telapak tangannya dan menjelaskan pertumbuhannya.
“Ini setelah berbunga kita biarkan jadi buah, setelah itu mekar sendiri. Inilah yang sulurnya, bakal buahnya atau bijinya yang tumbuh menjadi anakan. Nanti diberi sabut kelapa,” jelasnya saat ditemui akhir Agustus lalu.
Menurutnya, dalam satu tanaman induk bisa menghasilkan 50 anakan yang nantinya akan dipindahkan ke wadah yang terbuat dari sabut kelapa. Bagian yang diikat hanya bagian akar, bukan daun. Sebelumnya sabut kelapa harus diberi fungisida antracol. Butuh waktu seminggu agar tanaman itu tumbuh.
Anggrek sendiri adalah tanaman yang tidak mengenal musim, namun senang dengan kondisi yang rindang dan akan tumbuh baik di musim hujan. Bunganya akan mekar saat menjelang musim kemarau. Untuk pembiakan awal tanaman indukan diletakkan di pohon besar dan rindang, paling sering pohon rambutan, langsat dan cengkeh.
- Advertisement -
Asri adalah penggiat konservasi anggrek di Kelurahan Campaga, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Ia adalah ketua Kelompok Tani Mattiro Baji yang fokus pada perbanyakan anggrek, yang dibentuk sejak 1997, beranggotakan 30 orang.
Selama 27 tahun mereka telah melakukan perbanyakan anggrek secara vegetatif dengan metode stek, yaitu memisahkan rumpun atau cabang dari batang atau psedobulb.
Baca : Hutan Desa Campaga yang Dijaga Tradisi dan Hidupi Warga Sekitar Hutan
Di sepanjang jalan desa dan kawasan permandian Erbol akan terlihat anggrek yang ditempel di pohon-pohon. Ribuan anggrek juga telah dikembalikan ke dalam hutan, setelah selama ini populasinya hampir habis. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.
Anggrek-anggrek itu awalnya diperoleh di dalam hutan Campaga, yang merupakan hutan yang disakralkan di kampung tersebut. Di hutan seluas 23 hektar ini selain ditumbuhi berbagai macam anggrek juga terdapat pohon Erasa Lego-lego yang merupakan pohon beringin tertua di area tersebut, dan mata air Tombolo yang disakralkan.
Diyakini hutan ini sangat keramat sehingga tidak hanya dijaga namun juga ada larangan-larangan tertentu, seperti kencing atau meludah ke sungai yang mengalir di tengah hutan. Kehadiran hutan juga penting untuk suplai air bagi ratusan hektar sawah dan kebun di sekitar hutan.
“Hutan ini dikelola oleh adat. Ada sanksi bagi yang melanggar larangan. Mereka harus tanam pohon atau anggrek sejumlah yang mereka ambil. Di dalam hutan juga kami sudah pasang larangan-larangan itu,” katanya.
Menurut Asri, upaya mereka melakukan perbanyakan anggrek karena tidak bisa lagi berharap mengambil anggrek dari dalam hutan, karena ketersediaannya yang semakin terbatas. Selama ini, kawasan hutan Campaga memang bebas dimasuki siapa pun untuk berburu anggrek.
Usaha Asri dan rekan melakukan stek anggrek bermula dari kegiatan hobi. Mereka mengambil anggrek dari dalam hutan untuk kebutuhan pribadi dan dijual. Bisnis anggrek selama ini telah membantu perekonomian mereka. Mereka bisa mendapatkan penghasilan hingga jutaan rupiah per bulan.
Perbanyakan Anggrek Hutan
Belakangan mereka merasa prihatin melihat populasi anggrek di hutan Campaga, khususnya anggrek bulan yang terancam habis. Mereka pun mulai membatasi mengambil anggrek dari hutan dan mulai melakukan perbanyakan.
“Sudah tiga tahun ini kami tidak lagi mengambil anggrek di dalam hutan dan bahkan ada papan larangan bagi siapa pun untuk mengambilnya. Bahkan pada tahun ini kami sudah memasukkan anggrek ke dalam hutan. Sudah ada sekitar 1.500 pohon bibit yang kami tanam dan akan terus bertambah,” katanya.
Baca juga : Anggrek Kuku Macan, Jenis Baru Khas Sulawesi
Muhammad Asri (54) selama 27 tahun telah mendedikasikan hidupnya untuk pelestarian anggrek di Kelurahan Campaga, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.
Setelah menjelaskan anggrek di pohon depan rumah warga, Asri mengajak kami sebuah kawasan wisata permandian, namanya Erbol. Tak jauh dari area permandian terdapat sebuah bangunan green house ukuran 10×12 meter berisi puluhan bibit tanaman anggrek yang ditanam dan ditempel di pohon.
Green house itu dibangun tiga tahun silam atas bantuan Kementerian Pertanian. Selama ini mereka memperbanyak anggrek di green house mini di pekarangan rumah masing-masing anggota. Green house jumbo ini telah menjadi pusat pembiakan dan sekaligus klinik. Mereka melayani konsultasi terkait pemeliharaan anggrek.
“Ini adalah tempat belajar bagaimana merawat dan memelihara anggrek mulai dari kecil sampai berbunga. Hasil dari sini kami keluarkan untuk diikat ke pohon sambil mengamati perkembangannya. Selama ini hasilnya 99 persen tanaman bisa tumbuh dengan baik.”
Terdapat sekitar 78 spesies anggrek yang dibiakkan di tempat itu, namun hanya beberapa jenis yang dikenal luas seperti anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis), anggrek macan (Grammatophyllum speciosum), anggrek pandan (Dipodium scandens) dan Dendrobium.
Menurut Asri, tanaman anggrek yang telah ditumbuhkan di green house itu selain untuk dijual, akan dikembalikan ke alam. Selain ditempelkan di pohon-pohon inang sepanjang lokasi sekitar green house ataupun sepanjang kampung, juga sebagian lagi ditanam kembali di kawasan hutan Campaga.
Kondisi hutan sekitar green house yang teduh menjadi tempat yang kondusif untuk pertumbuhan anggrek.
Permintaan tanaman anggrek yang semakin meningkat membuat Asri dan kelompoknya mulai kewalahan dalam menyiapkan stok tanaman. Metode stek yang dilakukannya selama ini meski memiliki potensi pertumbuhan yang baik namun produksinya terbatas. Ada cara pembiakan lain yang lebih menjanjikan, yaitu perbanyakan melalui kultur jaringan, namun mereka belum paham metode tersebut.
“Kalau misalnya ada dukungan dari luar, kami bisa difasilitasi bagaimana melakukan perbanyakan melalui metode kultur jaringan,” katanya.
Selain melalui Kelompok Tani Mattiro Baji, upaya perbanyakan anggrek juga dilakukan oleh Kelompok Wanita Tani (KWT) Muda Mandiri yang dibentuk pada tahun 2022.
“Alhamdulillah, sejak adanya KWT Muda Mandiri ini upaya perbanyakan anggrek semakin intens dilakukan dan semakin banyak anggrek yang diproduksi seperti yang terlihat di sepanjang jalan, sehingga kita tak khawatir anggrek di sini akan punah,” katanya.
Baca juga : Mengapa Jenis Ini Dijuluki Anggrek Macan?
Di green house seluas 12×10 meter yang dibangun tiga tahun lalu ditanam bibit anggrek dari 78 jenis, namun hanya beberapa jenis yang dikenal luas seperti anggrek bulan, anggrek macan, anggrek pandan dan Dendrobium. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.
Teknologi Kultur Jaringan
Prof. Rinaldi Sjahrir, pakar dan peneliti anggrek dari Universitas Hasanuddin menyambut baik keinginan Asri untuk membiakkan bibit anggrek melalui teknologi kultur jaringan.
“Ini memang sangat efektif dilakukan untuk mengatasi kelangkaan anggrek. Cuma memang harus dikerjakan dengan kondisi ruangan yang bersih dan dengan lemari tanam yang steril, dan harus punya skill khusus untuk mengerjakannya. Ini bisa dilakukan oleh petani setelah dilatih terkait ruangan tanam, media dan praktik beberapa kali agar skill itu terbentuk,” katanya.
Menurut Rinaldi, teknologi kultur jaringan ini bisa diterapkan untuk semua jenis anggrek. Kunci keberhasilan akan sangat tergantung pada media yang disederhanakan sumber hara dan komposisinya.
“Untuk melakukan ini, sebenarnya simpel saja. Harus diperhatikan pada saat pengerjaannya agar pada saat menanam tidak terdapat sumber-sumber kontaminan berupa kuman atau cendawan yang masuk bersama biji atau pada tanaman yang dimasukkan di dalam botol media tanam. Sumber kontaminan ini bisa mematikan biji tanaman anggrek tersebut.”
Menyoal perkembangan anggrek di Indonesia saat ini, khususnya di Sulsel, menurut Rinaldi, kurang begitu berkembang. Dulu sempat berkembang ketika Ibu Tien Soeharto turut menekuni hobi memelihara anggrek ini. Begitu juga ketika Ibu Mufidah Jusuf Kalla turut aktif terlibat mempopulerkan anggrek ini.
“Kalau sekarang boleh dikata tak ada peningkatan yang berarti. Mungkin kita butuh tokoh-tokoh besar seperti Ibu Tien atau Ibu Mufidah terlibat agar anggrek kita di Indonesia bisa populer kembali,” pungkasnya. (***)
Temuan Spesies Baru Favorit Ilmuwan Dunia, Anggrek Merah dari Pulau Waigeo Papua
Sumber: Mongabay.co.id