- Proyek pengembangan pangan skala besar (food estate) yang Pemerintahan Presiden Joko Widodo galakkan lewat narasi ‘mengatasi krisis pangan’ dampak krisis iklim malah timbulkan banyak masalah.
- Proyek pangan yang dalam beberapa tahun terakhir menyerap ratusan triliun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ini justru menghadirkan kerusakan lingkungan masif, menghilangkan ruang hidup hingga mengancam kemandirian pangan masyarakat adat/lokal di berbagai daerah sasaran. Seolah tak belajar dari food estate sebelumnya, kini, pemerintah mulai buka lagi hutan-hutan di Merauke, Papua, untuk pengembangan pangan skala besar ini.
- Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, model pertanian pangan berbasis perusahaan skala besar itu, sebenarnya ingin memberangus dan menghancurkan sistem pertanian rakyat yang justru perlu penguatan melalui agenda reforma agraria. Proyek ini, justru menghasilkan krisis pangan. Pasalnya, dari beberapa kejadian, pusat-pusat produksi pangan justru dihabisi.
- Food estate di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara dan Kalimantan Tengah, sejak awal persoalan muncul dari mulai proses penanaman sampai panen. Kini, tanah food estate sebagian besar tak ditanami alias mangkrak.
- Advertisement -
Proyek pengembangan pangan skala besar (food estate) yang Pemerintahan Presiden Joko Widodo galakkan lewat narasi ‘mengatasi krisis pangan’ dampak krisis iklim malah timbulkan banyak masalah.
Proyek pangan yang dalam beberapa tahun terakhir menyerap ratusan triliun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ini justru menghadirkan kerusakan lingkungan masif, menghilangkan ruang hidup hingga mengancam kemandirian pangan masyarakat adat/lokal di berbagai daerah sasaran. Alih-alih belajar belajar dari food estate sebelumnya, kini, pemerintah mulai buka lagi hutan-hutan di Merauke, Papua, untuk pengembangan pangan skala besar ini.
Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam konferensi pers menyebut, pemerintah memaksakan petani tanam komoditas yang bisa memberikan keuntungan besar (cash crop) dengan sistem monokultur. Padahal, sistem monokultur bisa menimbulkan kerusakan lingkungan berupa ketidakseimbangan ekologis berujung pada ketidaksuburan tanah.
“Terbukti, [food estate] ini bukan jawaban krisis pangan yang selalu digembar-gemborkan oleh pemerintah.”
Model pertanian pangan berbasis perusahaan skala besar itu, sebenarnya ingin memberangus dan menghancurkan sistem pertanian rakyat yang justru perlu penguatan melalui agenda reforma agraria.
Proyek ini, kata Dewi, justru menghasilkan krisis pangan. Pasalnya, dari beberapa kejadian, pusat-pusat produksi pangan justru dihabisi.
Pemerintah, katanya, kerap melibatkan TNI untuk mengamankan tanah yang sebetulnya lahan produktif masyarakat.
“Yang terjadi perampasan tanah skala besar di banyak provinsi, seperti, Sumatera Utara, Papua, Kalimantan Tengah, NTT dan banyak daerah dorong sistem pertanian pangan ala food estate.”
Dewi menilai, food estate itu sebagai proyek tipu-tipu.
Sampai saat ini, Indonesia masih terus mengimpor pangan.
“Maka beban atau krisis agraria dan krisis pangan makin berlapis dan dihadapi kaum tani,” katanya.
Sunarno, Koordinator Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) juga menyoroti proyek ini. Lebijakan ini, katanya, tidak berpihak pada buruh tani.
Dalih mensejahterakan petani tak terwujud karena pemerintah justru melibatkan perusahaan untuk menjalankan proyek itu.
“Seharusnya pemerintah membuat kebijakan-kebijakan agar kaum tani benar-benar bisa menjalankan produksi di tanah-tanah pertanian di desa-desa di tanah yang bisa digunakan petani untuk bercocok tanam,” katanya.
Sunarno sebut, food estate tidak bisa menjaga kedaulatan pangan dan melenceng dari kepentingan masyarakat. Dengan pengelolaan serampangan justru hanya menghambur-hamburkan anggaran.
Sejauh ini, dalam APBN 2024, alokasi dana untuk ketahanan pangan Rp114,3 triliun, naik Rp13,4 triliun dibanding 2023 sebesar Rp100,9 triliun, yang di dalamnya mencakup food estate.
Pada 2025, pemerintah berencana mengalokasikan anggaran food estate Rp124,4 triliun.
“Pemerintah harus mengevaluasi ini. Jangan sampai proyek ini justru dinikmati segelintir orang dan memanipulasi masyarakat.”
Proyek food estate bukan barang baru di Indonesia. Walaupun hadir dalam baju berbeda sejak rezim Soeharto, tetapi kegagalan selalu mengikuti proyek ini.
Pada 1990-an, misal, Presiden Soeharto, pernah menjalankan mega rice project, di Kalimantan Tengah dengan mengubah rawa gambut untuk bikin sawah satu juta hektar. Proyek ini gagal karena lahan gambut tak sesuai untuk tanam padi. Alhasil pemerintah menelan kerugian besar dan hingga kini lahan gambut rusak terus munculkan masalah.
Lalu pada 2010, era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, punya proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Proyek ini untuk menjamin pangan dan energi Indonesia.
Lagi-lagi, proyek ini gagal karena komoditas tak sesuai dengan kultur masyarakat Papua yang sehari-hari makan dan bikin sagu. “Saat itu, pemerintah menciptakan lahan pertanian penghasil beras, tebu dan minyak sawit yang justru dijalankan petani Jawa,” kata Dewi.
Kunjungan Presiden Jokowi ke Kalimantan Tengah pada Oktober 2020 untuk melihat kesiapan areal food estate. Foto: Dok. Humas Protokol Provinsi Kalimantan Tengah
Sumut dan Kalteng
Pada era Jokowi ada food estate, sebagai proyek nama baru model lama. Beberapa lokasi pemerintah tetapkan jadi lokasi food estate, seperti di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara dan Papua.
Food estate di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, sejak awal persoalan muncul mulai proses penanaman sampai panen. Kini, tanah food estate sebagian besar tak ditanami alias mangkrak.
Delima Silalahi, Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) mengatakan, food estate seluas 215 hektar di Humbang Hasundutan mangkrak.
Dari penanaman pertama di Desa Siria-ria, Kecamatan Pollung, Humbahas, sekitar 70% lahan pangan itu terlantar.
Ada berbagai macam komoditas yang ditanam seperti kol, kentang, jagung, bawang merah dan bawang putih.
“Terakhir saya ke sana dua minggu lalu itu masih 30% dikelola. Dari 215 hektar itu paling yang tertanam, ditanam masyarakat itu nggak nyampe deh seperempatnya. Sekarang, kebanyakan tumbuh ilalang begitu.”
Food estate Desa Siria-ria mulai 2020 dengan anggaran Rp1,5 triliun. Dalam pelaksanaan, pemerintah gunakan lahan warga yang dikerjasamakan. Warga diberi subsidi penuh untuk mengelola lahan pertanian dan bermitra dengan perusahaan.
Awalnya, warga tergiur iming-iming kerjasama dari pemerintah. Sebagian lahan dulu sawah, kemenyan hingga andaliman yang sudah ada sejak dulu mereka ubah jadi tanaman yang ditanam dalam food estate.
Skema kemitraan ternyata tak berjalan mulus. Perusahaan justru menyewa lahan warga. “Disewa Rp1-1,5 juta per hektar per tahun.”
Konsep kemitraan dengan perusahaan ini juga tak jelas. Petani justru merugi. “Karena bibit, pupuk, dan bahan-bahan dari perusahaan nanti dibayar saat panen, padahal hasil panen nggak bagus. Itu juga nggak jalan.”
Alhasil, petani yang awalnya hendak menjual hasil taninya ke perusahaan, sebagian justru mengalihkannya ke pasar tradisional untuk menutup kerugian tersebut. Selain itu, untuk menutup kerugian dan menambah modal para petani juga rela meminjam uang ke bank.
Selain itu, kata Delima, ada pula skema jual hasil tani ke koperasi yang dibentuk Pemerintah Humbahas. Skema ini juga tak berjalan karena tak ada transparansi.
Dari 100% panen, 60% penjualan diberikan ke petani, 30% disimpan koperasi, 10% biaya administrasi.
“Itu nggak jalan. Uang mereka tertahan di koperasi untuk modal tanam kedua, hingga tidak ada penanaman kedua. Nah, di penanaman kedua itu petani disuruh mandiri, ya, atau dicarikan seperti perusahaan.”
Petani pun bingung dengan standar perusahaan. Menurut mereka, standar pertanian perusahaan tak sesuai pengetahuan tradisional.
Warga pun rugi secara waktu. Mereka meninggalkan pertanian awal sementara keuntungan dari hasil panen food estate tidak menjanjikan.
Martin Hadiwinata, Koordinator Nasional FIAN Indonesia mengatakan, dominasi korporasi agribisnis dalam proyek food estate di Humbahas justru mengakibatkan ketimpangan penguasaan sumber agraria yang merugikan petani kecil secara signifikan.
Ada beberapa perusahaan besar, yakni Bayer CropScience, Indofood, McKinsey&Company, Nestlé, Sinar Mas, Syngenta dan Unilever dengan mendirikan Partnership for Indonesia’s Sustainable Agriculture (PISAgro). Mereka memiliki keterikatan dengan food estate untuk peroleh pasokan bahan baku.
“Hadirnya food estate, membuat petani meninggalkan tanaman tradisional seperti andaliman dan kopi, beralih ke seperti bawang merah yang tidak sesuai dengan konteks lokal.”
Kondisi ini, menyebabkan petani kehilangan kendali atas lahan yang mereka kelola turun-temurun hingga mengakibatkan penurunan pendapatan signifikan.
Hadiwinata bilang, petani di Humbahas yang sebelumnya mampu memproduksi pangan lokal mandiri justru membeli pangan. Belum lagi risiko terjebak dalam lingkaran utang karena perjanjian kontrak pertanian dengan korporasi.
“Mereka tak hanya kehilangan pendapatan dari pertanian, terpaksa membeli bahan pangan yang seharusnya bisa mereka tanam sendiri,” katanya.
Jadi, pendekatan pemerintah dengan proyek food estate dia nilai gagal dan bersifat kolonial. “Seharusnya, pemerintah beralih mendukung petani kecil dengan memberikan akses terhadap sumber daya dan pasar lebih baik, hingga mereka dapat berproduksi secara mandiri.”
Untuk itu, penting pemerintah jalankan reforma agraria sesungguhnya agar hak atas tanah dan sumber pangan terjaga.
“Solusi pangan di Indonesia bukan pada proyek besar seperti food estate, tetapi pada dukungan konkret untuk petani kecil,” kata Hadiwinata.
Area food estate di Humbahas, yang mulai masuk panen kedua pada November tahun lalu. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia
Dengan mengubah pendekatan ini, dia harapkan kedaulatan pangan nasional dapat meningkat dan petani kecil bisa kembali berperan sebagai penyedia pangan berkelanjutan.
“Pemberdayaan petani kecil melalui reforma agraria dan akses pasar lebih baik dapat jadi kunci mengatasi tantangan besar yang dihadapi sektor pertanian di Indonesia saat ini.”
Bagaimana proyek food estate di Kalimantan Tengah? Proyek ini mulai 2021 dengan target awal 30.000-an hektar. Luas jadi 60.000 hektar pada 2022, dan target sampai akhir 2025 mencapai 1,4 juta hektar.
Beberapa titik proyek ini antara lain di Pulang Pisau 10.000 hektar, dan Kabupaten Kapuas 20.000 hektar dan Gunung Mas 30.000 hektar.
Temuan di lapangan menunjukkan proyek ini gagal dan mangkrak. Di Gunung Mas, misal, tanaman singkong gagal, lalu aktivis lingkungan menemukan jagung ditanam pakai polybag awal 2024.
Bayu Herinata, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng mengatakan, singkong gagal panen karena lahan berupa pasir. Lahan itu dahulu hutan jadi proyek pangan ini.
Pemerintah, katanya, tidak memerhatikan pertimbangan relevan untuk proyek yang berdampak terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi ini. “Pemerintah tidak belajar dari pengalaman. Tidak ada pertimbangan matang dan kajian yang hidup,” katanya.
Alhasil, proyek ini hanya menimbulkan masalah. Panen tak maksimal sampai konflik dengan masyarakat lokal. Pembabatan hutan untuk jadi lahan food estate pun merusak lingkungan.
“Lagi-lagi kerugian bukan hanya ekonomi, juga lingkungan. Makin menurun fungsi lingkungan di Kalteng,” katanya.
Tidak ada kajian cukup membuat komoditas yang ditanam gagal panen. Pemerintah sebut Bayu sengaja menimbun pasir dengan tanah untuk menutupi kegagalan mereka.
Hasil investigasi Walhi dan Pantau Gambut mendapati deforestasi seluas 700 hektar di Desa Tewai Baru. Ditinjau dari sudut pandang bentang lahan, desa ini merupakan bagian dari lanskap ekoregion dataran fluvial Kalimantan dengan jenis tanah aluvium yang bertekstur pasir.
Karakteristik jenis tanah ini berpotensi tinggi sebagai pengatur tata air karena tekstur mudah menyerap dan mengeluarkan air.
Namun, lapisan tanah yang gembur mudah tererosi dan menyebabkan runoff, membawa material tanah yang menyebabkan sedimentasi saluran air. Mempersempit bahkan menutup saluran air dan menyebabkan banjir di area sekitar.
Selain itu, katanya, ada konflik terjadi antara masyarakat, khusus petani dan masyarakat adat yang wilayahnya jadi lahan pertanian untuk singkong.
Tanah untuk food estate awalnya hutan tempat sumber pangan masyarakat adat. Mereka menanam padi dan lain-lain juga tempat berburu hewan. Pemerintah tak memperhatikan pemanfaatan masyarakat itu.
Peraturan, katanya, kerap mengesampingkan masyarakat yang sudah ada turun-temurun.
Masyarakat pun, kata Bayu, tidak dilibatkan dalam program ini. Proses proyek langsung oleh Kementerian Pertahanan.
“Mulai dari pembukaan hutan, menyiapkan lahan Itu kan dikerjakan pihak ketiga. Itu nggak terdapat masyarakat lokal, termasuk yang menanam juga itu bukan petani lokal. Itu orang-orang yang didatangkan oleh kontraktor dari luar daerah,” katanya.
Lahan sudah dibersihkan untuk cetak sawah food estate di Merauke, Papua. Foto: Yayasan Pusaka
******
Hari Tani Nasional: Aturan jadi Legitimasi, Perampasan Tanah Makin Parah
Sumber: Mongabay.co.id