- Warga yang tinggal di sekitar PLTU Nagan Raya 1 & 2, Kabupaten Nagan Raya, Aceh, mengeluhkan asap dan debu yang timbul dari pengoperasian PLTU. Anak-anak dan orang dewasa terindikasi mengalami gejala ISPA.
- Data dari Puskesmas Padang Rubek, Kecamatan Kuala Pesisir, Kabupaten Nagan Raya menunjukkan, banyak warga terkena ISPA pada tahun 2022 tercatat sebanyak 809 kasus, tahun 2023 sebanyak 526 kasus, tahun 2024 terhitung sejak Januari hingga Juli sebanyak 146 kasus.
- PLTU Nagan Raya Unit 1 & 2 beroperasi awal sejak 2014 dengan menggunakan bahan bakar batubara.
- Sejak tahun 2021, PLTU ini menggunakan co-firing biomassa sebagai campuran batubara. Pihak PLTU menyebut telah menggunakan teknologi Electrostatic Emission Monitoring (ESP) yang berfungsi untuk menangkap debu emisi gas buang.
Asap putih tipis mengepul keluar dari ujung cerobong Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1&2 Nagan Raya (07/08/2024). Pemandangan ini terlihat jelas dari rumah Midarwati, warga Dusun Gelanggang Merak, Desa Suak Puntong, Kecamatan Kuala Pesisir, Kabupaten Nagan Raya.
Rumah kecil itu hanya berjarak 30 meter dari dinding PLTU yang dikelola PT PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Nagan Raya itu.
“Kalau pagi sampai siang itu asapnya sedikit, tapi kalau sudah malam asapnya lebih tebal dan gemuruh mesin semakin kencang terdengar,” jelas Midarwati (53).
Midarwati tinggal bersama ketujuh anaknya dan empat orang cucunya yang masih berusia dua hingga delapan tahun.
Sebagai warga yang tinggal di dekat PLTU, Midarwati masih ingat betul, tahun lalu dia membawa Sri Wahyuni cucunya, yang berusia 18 bulan ke klinik, karena menderita gangguan sesak nafas.
“Dipeugah lek dokter gara-gara abee (kata dokter akibat terpapar abu),” ungkapnya.
- Advertisement -
Sri Wahyuni sekarang berusia dua tahun. Dia sudah dua kali masuk ke rumah sakit karena infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Dia memperkirakan asal debu itu berasal dari dampak pembakaran PLTU.
Midarwati (53) bersama para cucunya. Foto diambil di teras rumah. Foto: Mardili/Bithe.co
Pasrah Bertahan Hidup di Lingkungan yang Tidak Sehat
Faktor keterbatasan ekonomi membuat Midarwati memilih bertahan meski harus hidup berdampingan dengan PLTU 1&2 Nagan Raya.
Sehari-harinya, dia berjualan nasi di depan rumahnya. Jika warungnya sepi, Midarwati memasak di dapur dan minta cucunya berjaga apabila ada pembeli yang datang.
Dia bilang keempat cucunya hanya bermain di rumah. Faktor kualitas udara yang buruk membuat dirinya khawatir.
“Di sini kami hanya tinggal di rumah dan tidak ada tempat bermain untuk anak-anak [di luar] karena asap dan debu,” sebutnya.
Midarwati mengaku dia dan empat orang cucunya kini sering menderita batuk dan sesak nafas. “Saya dan empat cucu saya ini kalau sakit pasti batuk-batuk. Kalau sudah parah [kami] sampai sesak nafas.”
Selain gejala ISPA yang diderita, maka mulai muncul pula bercak hitam gatal pada kulit. Gatal-gatal di kulit itu mulai dirasakan sejak awal tahun 2024. Hampir seluruh anggota keluarganya dan warga yang bermukim di dekat PLTU 1&2 Nagan Raya pernah merasakan penderitaan yang sama.
“Sebelumnya, saya tidak pernah merasakan gatal-gatal separah ini.”
Bercak hitam bekas penyakit kulit di tangan Midarwati. Foto: Mardili/Bithe.co
Musim kemarau panjang tahun 2024 ini juga membuat Midarwati menderita karena asap dan abu PLTU yang masuk ventilasi rumahnya.
“Sekalinya hujan, itu airnya warna hitam karena debu sudah menumpuk di genteng rumah.”
Setiap paginya Midarwati rutin menyapu dan membersihkan perabotan rumahnya. Dia bilang, sampai harus membersihkan rumah hingga lebih dari delapan kali dalam sehari.
Kali ini dia pun heran melihat asap yang keluar dari cerobong PLTU 1&2 Nagan Raya yang tidak lagi berwarna hitam dan berubah menjadi warna putih kekuningan.
“Dulu asapnya hitam, saya tahu itu dari batubara, tapi sekarang warnanya putih kekuningan, apa batubara yang berubah warna?” ungkap Midarwati keheranan. Sebagai orang awam, dia tidak sepenuhnya paham tentang teknologi co-firing.
Midarwati saat menggendong cucunya Sri Wahyuni yang pernah terkena penyakit ISPA di Desa Suak Puntong, Kecamatan Kuala Pesisir, Nagan Raya, Rabu (7/8/2024). Rumah mereka terletak dekat dengan PLTU Nagan Raya. Foto: Mardili/Bithe.co
Masih di Desa Suak Puntong, Dusun Permai, tampak sejumlah anak-anak sedang asyik bermain sepeda di halaman rumah. Mereka merupakan warga yang direlokasi dan mendapatkan biaya ganti rugi dari PLTU 1&2 Nagan Raya.
Darna (56) salah satunya. Dia dulu tinggal di depan PLTU 1&2 Nagan Raya, kini lebih memilih tinggal sedikit lebih jauh dari pembangkit listrik itu.
Darna sebut, ini buah dari upayanya yang vokal menentang keras pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh operasi PLTU 1&2. Dia menuntut hak ganti rugi, hingga akhirnya direlokasi.
Pada tahun 2020, Darna mendapatkan kompensasi tanah dan bangunan sebesar 500 juta. Meski terbilang murah sebutnya, mereka memilih menjual dan pindah ke tempat yang lebih aman dari asap dan debu PLTU.
“Saya lebih memilih pindah meski harganya tidak sesuai, daripada anak cucu saya harus kena debu setiap hari,” jelasnya (6/8/2024). Jaraknya tinggal sekarang sekitar 3 km dari PLTU.
Meski demikian, asap dan abu hasil pembakaran PLTU masih kerap menghampiri. “Kalau anginnya bertiup ke arah Selatan, asap dan debunya masih kena ke permukiman kami.”
Darna (56) memperlihatkan daun mangga di pekarangan rumahnya di Dusun Permai, Desa Suak Puntong, Kecamatan Kuala Pesisir, Nagan Raya, yang masih terpapar abu PLTU, Selasa (6/8/2024). Foto: Mardili/Bithe.co
ISPA Mengintai Kesehatan Warga
Data penyakit ISPA yang diperoleh dari Puskesmas Padang Rubek, Kecamatan Kuala Pesisir, Kabupaten Nagan Raya menunjukkan, pada tahun 2022 tercatat ada sebanyak 809 kasus, tahun 2023 sebanyak 526 kasus, tahun 2024 terhitung sejak Januari hingga Juli sebanyak 146 kasus.
Kepala Puskesmas, Kiky Tri Wahyuni menyebutkan pasien yang mengeluhkan ISPA berusia dari balita ke atas.
Kiky bilang, penyakit ISPA adalah penyakit infeksi yang menyerang saluran pernafasan, ini karena infeksi virus atau bakteri pada saluran pernapasan dan amat dipengaruhi sistem kekebalan tubuh.
“Jadi, bayi dan anak-anak amat rentan terkena ISPA,” terangnya.
Kiky belum bisa memastikan sumber penyebab ISPA di Padang Rubek karena belum ada riset mendalam. Namun kata dia, pola hidup tidak sehat dan lingkungan dengan kualitas udara yang buruk bisa menjadi penyebab ISPA.
“Kami belum dapat memastikan karena belum adanya penelitian.”
Sejumlah anak-anak sedang bermain sepeda di Dusun Permai, Desa Suak Puntong, Kecamatan Kuala Pesisir, Nagan Raya, pada Selasa (6/8/2024). Foto: Mardili/Bithe.co
Psikolog Anak, Endang Setianingsih, menyatakan lingkungan memiliki peran penting dalam perkembangan psikologi anak khususnya perkembangan mental. Lingkungan sekitar juga peran besar dalam membentuk pola pikir dan perilaku anak tersebut.
Lingkungan buruk seperti adanya kebisingan, polusi udara, serta tata ruang yang tidak nyaman akan dapat menyebabkan gangguan psikologis.
“Jika lingkungan buruk, psikologi anak rapuh dan mudah terkena stres, mudah cemas dan bahkan depresi,” jelas Endang (21/8/2024).
Dia bilang, bermain bagi anak dapat membentuk otot dan melatih seluruh tubuh. Bermain juga berpengaruh dalam penyaluran emosi, bila terpendam akan dapat mempengaruhi perilaku seperti gelisah, mudah tersinggung dan mudah tegang dalam menghadapi sesuatu hal.
“Anak yang tinggal di lingkungan terbatas akan memiliki perilaku agitasi, mudah gelisah dan akan mengalami halusinasi,” ungkapnya.
Sebuah laporan dari Health Effects Institute (HEI) menemukan bahwa anak-anak di bawah usia lima tahun amat rentan polusi udara. Dampaknya dapat menyebabkan kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, asma, dan penyakit paru-paru.
Dalam temuannya, mereka menyebut bahwa pada tahun 2021 polusi udara telah menyebabkan 8,1 juta kematian di seluruh dunia. Selain kematian, jutaan orang lainnya hidup dengan penyakit kronis yang melemahkan kesehatan, ekonomi, dan masyarakat.
Cerobong asap PLTU 1&2 Nagan Raya. Foto: Mardili/Bithe.co
PLTU Co-firing dan Klaim Keamanan Teknologi
PLTU 1&2 Nagan Raya terletak di tepi jalan nasional lintas Barat Sumatera tepatnya di Desa Suak Puntong, Kecamatan Kuala Pesisir, Kabupaten Nagan Raya.
Conveyor atau pengangkut material campuran batubara dan biomassa, milik PLTU 1&2 Nagan Raya membentang hingga jalan nasional. Truk bermuatan tampak lalu lalang masuk ke area.
PLTU ini mulai beroperasi sejak 2014 dengan menggunakan bahan bakar batubara. Pengoperasiannya merupakan bagian program percepatan 10.000 MW tahap pertama, yang tertuang dalam Perpres No. 71 Tahun 2006.
Kemudian, pada Oktober 2020 mulai dilakukan uji coba co-firing biomassa menggunakan cangkang sawit sebesar 5-10 persen. Operasionalisasi co-firing dilakukan sejak 2021 untuk membangkitkan daya PLTU berkapasitas 4,6 MW.
Edy Purnama, dari Team Tata Niaga dan Bahan Bakar PLTU 1&2 Nagan Raya, menyampaikan bahwa, hingga saat ini 2024 PLTU Nagan Raya telah menggunakan empat jenis biomassa yakni cangkang sawit, serbuk gergaji (sawdust), sekam padi, dan potongan kayu berukuran kecil (wood chip).
“Kita juga sedang dalam tahap uji coba serat kelapa sawit (fiber),” ucap Edy.
Untuk pencampuran, masih 3-5 persen biomassa yang dicampur dengan batubara. Targetnya akan meningkat hingga 10 persen, namun dia sebut masih terkendala di penyediaan bahan baku biomassa.
“Dari kebutuhan harusnya pembakaran sebesar 300 ton per hari, tapi belum optimal karena masih ada keterbatasan bahan baku.”
Husnul Hidayat, Team Leader Lingkungan PLTU 1&2 Nagan Raya, mengatakan program co-firing jauh lebih aman.
“Program co-firing biomassa ini jauh lebih aman dan mampu menekan jumlah partikel karbon pencemaran udara,” ungkapnya.
Husnul menyampaikan, hingga April 2024 PLTU 1&2 Nagan Raya sudah membakar biomassa sebesar 18.982 ton dan listrik yang dihasilkan dari biomassa tersebut sebesar 14.800 MW. Untuk besaran CO2 yang berhasil ditekan jumlahnya 18.122 ton.
“Artinya, lebih sedikit bahkan hampir tidak ada emisi,” ucapnya.
Dia juga menerangkan terkait abu sisa pembakaran boiler, PLTU Nagan Raya telah dilengkapi dengan teknologi ramah lingkungan yakni Electrostatic Emission Monitoring (ESP) yang berfungsi untuk menangkap debu dari emisi gas buang.
“Kita sudah menggunakan teknologi ESP, jadi tidak ada lagi pencemaran udara.”
Terkait asap pekat di malam hari, Husnul membantah adanya praktik pengoperasian di waktu-waktu tertentu. Dia mengatakan proses pembakaran pada PLTU dilakukan selama 24 jam dengan pengendalian emisi gas buang.
Alat berat melakukan pencampuran biomassa dengan batubara di PLTU 1&2 Nagan Raya. Foto: Mardili/Bithe.co
Dampak Polusi dari PLTU
Studi yang dilakukan Salikin Mirza pada tahun 2021 tentang dampak PLTU bagi warga di Desa Suak Puntong, menemukan jika delapan narasumber wawancara yang tinggal di sekitar PLTU, mengaku kesejahteraannya menurun.
“Faktor utamanya karena debu yang dihasilkan oleh PLTU itu. Faktor lainnya karena polusi dan kebisingan dan jalan utama yang rusak,” tulis Salikin Mirza dalam penelitian itu.
Direktur Yayasan Apel Green Aceh, Syukur Tadu mengatakan, PLTU 1&2 Nagan Raya telah mempersempit ruang hidup masyarakat. Polusi udara yang dihasilkan lewat asap dan debu hasil pembakaran pun telah mengancam kesehatan warga, khususnya anak-anak.
Syukur juga menyebutkan, praktik pembakaran co-firing biomassa yang dilakukan PLTU 1&2 malah makin memperburuk kondisi lingkungan. Asap semakin pekat, dan debu yang dihasilkan makin meningkatkan potensi ISPA.
“Sudah saatnya beralih ke energi yang lebih bersih, karena nyawa manusia lebih berharga dibandingkan PLTU,” tuturnya.
Manager Kampanye dan Advokasi Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga menilai bahwa teknologi co-firing akan menghasilkan pencemaran lingkungan dan berdampak bagi kesehatan masyarakat sekitar.
“Co-firing ini sebenarnya hanya kamuflase transisi energi,” kata Anggi Prayoga (12/8/2024). “Kata co-firing digunakan seolah-olah merupakan solusi krisis iklim.”
Menurut Anggi, selama proses bakar membakar masih dipraktikkan, maka selama itu pula pencemaran akan terus terjadi dan belum bisa disebut transisi energi.
Dia merekomendasikan adanya audit menyeluruh tentang dampak co-firing. Jika masih berdampak, maka praktik co-firing harus dihentikan.
“Kalau kita bicara perubahan, maka harus di audit semuanya mulai dari aktor, implementasi, dan kebijakan.”
Kelompok pemerhati lingkungan WALHI Aceh menilai, transisi energi model co-firing adalah cara melegalkan pembangkit listrik agar tetap beroperasi. Nyatanya hal tersebut malah menambah penderitaan warga sekitar PLTU.
“Co-firing ini tidak mengurangi emisi gas rumah kaca karena masih melakukan proses pembakaran batubara dan biomassa, malah ini akan memperburuk kondisi lingkungan,” ucap Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin.
“Praktik ini tidak mengurangi emisi, karena masih menebang pohon dan merusak biodiversiti di lokasi pengembangan biomassa. Hutan yang menyerap emisi malah hilang,” tambahnya.
***
Midarwati harus menutup makanan di warungnya rapat-rapat dari abu yang beterbangan. Ia juga menutup penampungan air hujan dengan kain menghindari paparan partikel kecil berbahaya itu.
“Sudah ditutup pakai kain pun tetap debunya masuk ke air yang ditampung,” keluhnya.
Midarwati mengaku sudah tidak tahan tinggal di lingkar PLTU dengan kualitas udara yang semakin buruk. Dia juga bersedia apabila sewaktu-waktu pihak PLTU membeli rumah dan tanahnya.
“Belum dibeli, tapi lebih baik rumah ini saya jual daripada tinggal dalam abu kotor,” pungkasnya menutup harapan terbesarnya saat ini.
Tulisan ini adalah kerjasama antara Mongabay Indonsia dengan Forest Watch Indonesia. Artikel ini telah terbit di BITHE.co.
Polusi Udara dari PLTU Co-Firing Indramayu, Balita Rawan Terserang ISPA [1]
Sumber: Mongabay.co.id