- Pemerintah Indonesia akan menyampaikan dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) pada Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC), September ini. Koalisi masyarakat sipil mendesak, komitmen Indonesia berkeadilan iklim, mencakup penghormatan terhadap masyarakat adat, hak asasi manusia dan perlindungan terhadap subjek rentan.
- Dalam dokumen NDC kedua, terdapat sektor dan sub sektor baru yaitu kelautan dan hulu migas, serta akan mendetailkan elemen just transition dan elemen adaptasi.
- Arti Indallah, dari Yayasan Humanis mengatakan, harus ada perubahan pola perumusan kebijakan, dari top-down menjadi bottom-up. Karena, tanpa partisipasi bermakna dari masyarakat, mitigasi perubahan iklim akan selalu menyimpan risiko.
- Andriyeni, Koordinator Program Solidaritas Perempuan khawatir, minimnya partisipasi bermakna akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada kelompok rentan, termasuk perempuan.
- Advertisement -
Pemerintah Indonesia akan menyampaikan dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) pada Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC), September ini. Koalisi masyarakat sipil mendesak, komitmen Indonesia berkeadilan iklim, mencakup penghormatan terhadap masyarakat adat, hak asasi manusia dan perlindungan terhadap subjek rentan.
SNDC merupakan komitmen iklim keempat yang dibuat Pemerintah Indonesia, sejak 2015. Sebelumnya, pemerintah merampungkan Intended NDC atau first NDC (2015), updated NDC (2021) dan enhanced NDC (2022).
Dalam first NDC, Pemerintah Indonesia menyampaikan komitmen kontribusi menghadapi perubahan iklim dan implementasi Persetujuan Paris. Ambisi mencapai target menjaga suhu global tidak lebih dari 2 derajat celsius kemudian ditingkatkan melalui upadated NDC dan ENDC.
Pada dokumen ENDC, pemerintah meningkatkan target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dari 29% menjadi 31,89% dengan upaya sendiri. Lalu, dari 41% menjadi 43,2% dalam ENDC dengan dukungan internasional.
Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, melalui SNDC, pemerintah kembali menyampaikan peningkatan komitmen dalam aksi global sampai tahun 2035. Dengan tetap memegang prinsip no back sliding dan tetap sejalan dengan long-term strategy for low carbon and climate resilience (LTS-LCCR) 2050.
Dalam dokumen SNDC, katanya, pemerintah melakukan penyelarasan pada skenario 1,5 derajat celsius untuk mencapai net zero emmission tahun 2060 atau lebih cepat.
“Jadi kita pertegas posisi kita sekarang adalah menurunkan (hingga) 1,5 derajat celsius, yang lalu masih 2 derajat sampai 1,5 derajat,” kata Siti membuka Komunikasi Publik SNDC, pertengahan Agustus silam.
Cakupan GRK dalam SNDC, katanya, meliputi CO2, CH4, N2O dan gas baru HFC. Selain itu, terdapat pula sektor dan sub sektor baru yaitu kelautan dan hulu migas, serta akan mendetailkan elemen just transition dan elemen adaptasi.
Siti menambahkan, dokumen SNDC bersifat transformatif, mengarus-utamakan aksi iklim ke dalam perencanaan pembangunan yang lebih luas, mengaktualisasi investasi untuk aksi iklim yang efektif dan mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan.
Lewat hasil uji SNDC, dia yakin, Indonesia bisa mencapai angka penurunan emisi hingga 97% di tahun 2050, dan hingga 103% tahun 2060. “Dengan kata lain, kita optimis Indonesia dapat mencapai net zero emission sebelum 2060.”
Meski demikian, kata Siti, pencapaian target itu perlu kerja sama semua sektor dan seluruh pemangku kepentingan. Serta, dengan mempertahankan kerja-kerja baik dalam beberapa tahun belakangan.
Hutan masyarakat adat yang terjaga, Atuk Sukar, Ketua Adat Suku Mapur di Dusun Pejem, Pulau Bangka, yang masih menetap di sekitar hutan larangan Bukit Tabun. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Partisipasi bermakna
Koalisi masyarakat sipil menilai, komitmen iklim Indonesia harus jalan dengan mengedepankan partisipasi bermakna dari masyarakat. Hal itu sejalan dengan prinsip keadilan iklim, yang di dalamnya mencakup penghormatan terhadap masyarakat adat, hak asasi manusia dan perlindungan terhadap subjek rentan.
Pentingnya partisipasi bermakna dari subjek rentan itu mengingat peranan sejumlah komunitas dalam menjaga lingkungan hidup. Seturut identifikasi Working Group ICCAs Indonesia (WGII) hingga Mei 2024, setidaknya ada 524.501 hektar areal konservasi masyarakat (AKKM) di 79 komunitas adat dan lokal di seluruh Indonesia.
Selain itu, analisis peta partisipatif dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), menemukan potensi AKKM seluas 4,2juta hektar.
Kontribusi masyarakat adat dalam menjaga iklim juga tampak dari terjaganya lingkungan hidup di sekitar mereka. Ihsan Maulana, Peneliti Kebijakan di WGII menyebut, 72% wilayah adat merupakan ekosistem penting dan 70% tutupan hutan di wilayah adat berada dalam kondisi baik. Ditambah lagi, 70% wilayah adat merupakan hutan alam dengan cadangan karbon yang tinggi.
“Jadi kalau bicara perubahan iklim, sebetulnya mereka punya praktik baik yang berasal dari kampung,” katanya dalam peluncuran dokumen rekomendasi untuk SNDC Berkeadilan, di Jakarta, akhir Agustus.
Namun, kata Ihsan, praktik baik masyarakat adat dalam menjaga lingkungan itu belum terakomodir dalam penyusunan dokumen maupun kebijakan-kebijakan iklim, termasuk SNDC. Partisipasi yang minim itu, kemudian menempatkan masyarakat adat sebagai subjek rentan di tengah ancaman krisis iklim.
Andriyeni, Koordinator Program Solidaritas Perempuan khawatir, minimnya partisipasi bermakna akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada kelompok rentan, termasuk perempuan.
Padahal, selama ini perempuan memikul beban ganda akibat kerusakan lingkungan. Dia contohkan, ketika hasil tangkapan minim, perempuan nelayan tetap harus memenuhi kebutuhan domestik keluarga.
Di lingkup masyarakat adat, perusakan hutan memutus hubungan perempuan dengan tumbuh-tumbuhan sebagai bahan obat-obatan. “Kita tidak bisa mengatakan situasi yang dialami subjek rentan adalah hal yang biasa. Karena kalau kita membiasakan itu, maka terjadilah normalisasi kejahatan,” katanya.
Sebenarnya, Indonesia memiliki kebijakan pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional, termuat pada Instruksi Presiden Nomor 9/2000. Namun, Andriyeni menilai, Inpres ini jarang terpakai, termasuk dalam penyusunan dokumen-dokumen iklim.
“Kami berharap SNDC ini tidak mengulang, membiasakan hal-hal yang terjadi di NDC atau dokumen-dokumen lainnya. Serta, bisa mengakomodir situasi, dan kebutuhan dari subjek rentan.”
Partisipasi minim juga khawatir berdampak pada penyandang disabilitas. Fatum Ade, Koordinator Advokasi Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) mengatakan, dalam kehidupan sehari-hari penyandang disabilitas menghadapi berbagai kesulitan mulai dari sektor ekonomi, sosial, layanan kesehatan hingga pedidikan. Kini, kesulitan itu bertambah dengan ancaman krisis iklim.
Dia menilai, komitmen pemerintah dalam upaya mitigasi dan adaptasi iklim, seharusnya diterapkan dengan memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas yang beragam. Seperti, memastikan transportasi, sarana-prasarana yang menunjang disabilitas, menyediakan informasi yang mudah dipahami, serta penyediaan lapangan pekerjaan.
“Tanpa akses dan dukungan inklusif, penyandang disabilitas akan jadi korban berlapis-lapis dari krisis iklim, dengan tingkat kematian meningkat sampai empat kali lipat,” kata Fatum.
Kondisi Hutan di Akejira Perbatasan Halmahera Tengah dan Timur yang telah Gundul akibat aktivitas pertambangan nikel . Foto: Christ Belseran/Mongabay Indonesia
Perubahan paradigma
Syaharani, Plt. Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, perlu perubahan paradigma dari pembuat kebijakan agar komitmen iklim Indonesia bisa membuka ruang partisipasi bermakna bagi subjek rentan.
Selama ini, katanya., pemenuhan energi fokus pada pembangunan pembangkit listrik dengan kapasitas besar dan menegasikan praktik-praktik baik masyarakat. Situasi itu, membuat peluang masyarakat mengakselerasi energi terbarukan jadi sangat terbatas.
“Contoh, PLTS atap, itu salah satu bentuk partisipasi masyarakat paling nyata dalam penyediaan energi. Itu saja sekarang dipotong, kesempatan atau peluang masyarakat dipersempit. Ini paradigma yang harus diubah,” kata Syaharani.
Arti Indallah, dari Yayasan Humanis mengatakan, harus ada perubahan pola perumusan kebijakan, dari top-down menjadi bottom-up. Karena, tanpa partisipasi bermakna dari masyarakat, mitigasi perubahan iklim selalu akan menyimpan risiko.
Selain itu, katanya, kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus secara holistik. Memandangnya terpisah akan menghadirkan risiko mal-adaptasi.
Arti contohkan, kendaraan listrik dan nikel yang sering disebut sebagai bagian dari mitigasi iklim, justru merampas ruang hidup dan membuat adaptasi masyarakat makin rendah.
“Ketika masyarakat lokal dicabut dari ruang hidupnya, pasti ketahanannya berkurang,” katanya.
Sebagai upaya menghadirkan muatan keadilan iklim, hingga Agustus 2024, koalisi masyarakat sipil menyusun dokumen Rekomendasi untuk SNDC Indonesia yang Berkeadilan.
Mereka mendesak pemerintah:
- Eksplisit mengakui ragam subjek rentan dan interseksionalitasnya yang mendapatkan dampak, kebutuhan dan kapasitas yang berbeda.
- Memastikan pelibatan publik secara bermakna dalam penyusunan dokumen hingga implementasi SNDC, terutama subjek rentan.
- Memastikan mekanisme distribusi beban dan manfaat secara proposional.
- Komitmen pemerintah Indonesia perlu melengkapi strategi pemulihan ruang hidup dan hak bagi korban terdampak perubahan iklim, aksi perubahan iklim dan pembangunan.
- SNDC perlu mengadopsi paradigma baru yang melampaui sekadar penurunan emisi semata. Pendekatan itu adalah pendekatan resiliensi lanskap yang memuat resiliensi ekosistem, sosial dan ekonomi, dengan mengakui situasi dan dampak berbeda dari setiap subjek rentan.
Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul mengatakan, rekomendasi masyarakat sipil itu merupakan upaya mengajak pemerintah melihat kebutuhan spesifik yang perlu terencana agar tidak ada kelompok jadi korban atau zona-zona pengorbanan baru atas nama perubahan iklim.
Selain itu, katanya, mendorong aksi perubahan iklim mengikuti karakteristrik ruang-ruang hidup di kepulauan.
“Kami mengingatkan pemerintah, kita punya ekosistem beragam, kita negara kepulauan, punya berbagai macam kultur. Hingga, agenda perubahan iklim harus disesuaikan, harus cocok dengan karakteristik kita yang beragam.”
Dia berharap, ada mekanisme mutakhir dan multi-kanal dengan teknologi yang menjangkau hingga ke pelosok. “Agar komitmen iklim di tingkatan global yang akan jadi kebijakan nasional, bisa memberi manfaat dan dampak pada masyarakat di berbagai daerah.”
Kawasan tambang nikel di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, menyebbakan pencemaran laut dan berdampak pada masyarakat sekitar. Ketika ekosistem laut rusak, terumbu karang hancur, berapa lepasan emisi yang terjadi tak pernah masuk hitungan. Foto: WALHI Sulsel.
*******
Susun NDC Kedua, Berikut Masukan Kelompok Masyarakat Sipil
Sumber: Mongabay.co.id