- Para petani Tebo, di Jambi, yang tergabung dalam Serikat Tani Tebo berjuang mempertahankan tanah kehidupan mereka. Masyarakat petani hadapi masalah karena pemerintah berikan izin kepada perusahaan di atas tanah mereka. Konflik agraria pun terjadi antara masyarakat dengan perusahaan kayu.
- Ada juga warga dari Aceh. Bersama 10 keluarga lain datang dari Aceh sampai ke Jambi dengan penuh perjuangan. Ketika konflik Aceh merebak, mereka terusir oleh kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sampai di Tebo, Jambi, juga berhadapan dengan perusahaan.
- Sadli adalah tokoh pergerakan petani Serikat Tani Tebo (STT), percaya kalau petani memiliki tanah, tidak lagi bergantung dan menengadahkan tangan pada bantuan pemerintah seperti program bantuan langsung tunai (BLT), bantuan sosial ataupun bantuan beras untuk orang miskin (raskin). Kalau warga memiliki lahan untuk berusaha, dia percaya kemiskinan di Indonesia akan berkurang bertahap.
- Konflik agraria membuat anak-anak terdampak, terpisah dari orangtua sampai tak bisa mengenyam pendidikan. Seperti Rina, saat ini guru di sekolah jauh Lubuk Mandarsah. Dia saksi hidup bagaimana konflik agraria memisahkan dia dengan kedua orangtuanya.
Bunyi ekskavator perusahaan kayu, PT Wira Karya Sakti (WKS), -pemasok kayu pulp Sinar Mas Group–, meraung keras mendekati lahan kebun milik Nyai Jusmawati. Nyai, adalah sebutan lokal untuk nenek. Kebun perempuan 58 tahun ini berada sekitar 500 meter dari Desa Lubuk Mandarsah, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Jambi.
- Advertisement -
Sejak 26 September 2020, hingga keesokan harinya, alat berat terus meratakan tanah di sekitar kebun nenek Jusma. Beberapa kali mesin itu coba mereka tahan, namun operator tak peduli.
Perempuan ini sempat hilang akal. Dia bersama lima perempuan lain nekat menaiki eskavator dan melepaskan pakaian, hanya menyisakan celana pendek dan pakaian dalam.
“Pokoknya sudah dak sadar lagi, dak tahu lagi bagaimana menghentikan alat berat itu. Ada 8 alat berat terus bekerja dak berhenti,” katanya
Selama 48 hari, Jusma dan perempuan lain yang tergabung dalam Serikat Tani Tebo (STT) kucing-kucingan dengan perusahaan. Tanam dihancurkan, tanam, dihancurkan kembali. Berulang kali terjadi seperti itu.
“Kadang kami dak sempat lagi makan, buang air kecil pun harus ditahan. Kalaulah bunyi alat tuh, hancur lagi tanaman kami,” kenangnya.
Jusma adalah bagian dari Kelompok Tani Mandiri Dusun Sungai Landai, Desa Lubuk Mandarsah, KabupatenTebo, Jambi.
Konflik lahan telah berlangsung lama. Berawal sejak 2006, saat perusahaan membuat jalan di Bukit Bakar, di lahan Kelompok Tani Alam Lestari Dusun Tanjung Beringin.
Nyai Jusma bilang apabila masyarakat Lubuk Mandarsah nyaris tidak memiliki lahan untuk berkebun. Sejak perusahaan datang, ladang mereka berubah menjadi kebun kayu akasia dan eucalyptus.
Sejak itu, tak ada lagi tradisi behumo (berhuma), ikan di sungai pun menghilang. Bahkan mencari jernang, rotan manau, dan hasil hutan lainnya pun turut sirna.
“Mau hidup di mano lagi, tanah itu nyawa kami,” katanya.
Sebelum konflik dengan perusahaan memanas, Jusma didatangi oknum berbaju loreng dan bos-bos perusahaan.
“Ada tiga orang datang ke pondok saya, kasih peringatan mau usir. Saya bilang kami sudah ada surat untuk upaya penyelesaian konflik dari Dinas Kehutanan Jambi.”
Jusma sempat menunjukkan surat-surat kesepakatan itu. Apa daya, yang dia peroleh adalah pengusiran.
“Dak ado, surat ini dak berlaku. Petani diusir.”
Perusahaan pun melancarkan aksi penggusuran. Tak sedikit pun Jusma gentar.
“Biar saya di kubur di tanah ini, daripada harus tinggalkan sejengkal pun,” katanya setengah berteriak.
Nyai Jusmawati. Kebun perempuan 58 tahun ini berada sekitar 500 meter dari Desa Lubuk Mandarsah, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Jambi. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia
Lain lagi cerita Sujarman, warga Dusun Kelapa Kembar, dusun di Lubuk Mandarsah. Dia bukan asli Jambi. Bersama 10 keluarga lain datang dari Aceh. Mereka sampai ke Jambi dengan penuh perjuangan.
Ketika konflik Aceh merebak, mereka terusir dari kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Hanya baju dan beberapa barang berharga mereka bawa. Mereka menyusuri hutan mencari perlindungan.
“Yang terpenting nyawa selamat saja dulu, itu saja yang saya pikirkan,” katanya.
“Saya orang Aceh asli, tapi kami hidup bersama masyarakat transmigran. Desa kami harus dikosongkan. [Kami diusir], tidak pandang bulu mau orang lokal atau pendatang, semua harus pergi,”katanya.
Sujarman memutuskan ikut dengan keluarga lain menuju Jambi. Dia tidak tahu bagaimana nasibnya nanti. Bisa hidup saja, sudah syukur.
“Kami datang ke sini dengan beragam permasalahan. Kami hanya ingin tanah untuk hidup”.
Sujarman datang ke Lubuk Mandarsah sudah mendapat persetujuan dari pihak desa. Namun, harapan berbeda dengan kenyataan. Di tanah baru, mereka mendapat penggusuran dari perusahaan.
“Surat-surat yang kami tunjukkan tidak ada artinya bagi perusahaan. Di Aceh, diusir, sampai di sini juga diusir.”
Orang-orang seperti Sujarman, banyak dijumpai di Mandarsah. Sejak 1995, mereka datang bergelombang menghindari konflik di tanah asalnya.
Di tempat baru, mereka hadapi konflik bertahun-tahun, lahan terancam tergusur. Tak ayal membuat para petani stres, sampai ada yang meninggal dunia.
Dia adalah Sukanto, petani di Bukit Rinting. Dia syok ketika melihat lahan bercocok tanam tergusur habis. Di tengah ladang padi siap panen, dia jatuh pingsan, sejak itu tak pernah bangun lagi.
Warga di Tebo, Jambi, yang berupaya mempertahankan tanah mereka karena berkonflik dengan perusahaan kayu. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia
Anak-anak terdampak
Konflik agraria ini membuat anak-anak terdampak, dari terpisah dari orangtua sampai tak bisa mengenyam pendidikan. Seperti Rina, saat ini guru di sekolah jauh Lubuk Mandarsah. Perempuan 25 tahun ini adalah saksi hidup bagaimana konflik agraria memisahkan dia dengan kedua orangtuanya.
Ayahnya, Sukur, adalah anggota Serikat Tani Tebo (STT). Saat konflik lahan memanas, lelaki 65 tahun ini dan istrinya harus mengambil keputusan sulit. Mereka mengantarkan dan menitipkan Rina kepada neneknya.
“Rina disekolahkan oleh neneknya di ibukota Tebo dan kami tetap berjuang di sini,” kenang Sukur.
Apapun yang terjadi dengan mereka, Sukur berketetapan pendidikan anaknya tidak boleh berhenti.
“Saya tidak ingin merusak masa depan anak. Jadi, tidak mengapa saya dan istri berjuang di sini dan anak jauh dari orang tua. Saya tidak ingin anak saya seperti saya, tidak bersekolah.”
Dari SD hingga SMA, Rina tinggal bersama neneknya di Tebo, ibukota Kabupaten Tebo Dia dijauhkan dari dampak negatif konflik agraria yang tengah berkecamuk.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengah, Rina kembali ke desa dan mengabdi sebagai guru. Ini satu-satunya sekolah sekaligus madrasah yang ada di Lubuk Mandarsah.
Sembari mengajar, Rina melanjutkan kuliah secara daring di Universitas Terbuka.
Hal berbeda dialami Dina. Ibu dua anak ini tidak cukup beruntung. Perempuan 27 tahun ini kehilangan kesempatan mengenyam pendidikan, harus putus sekolah saat kelas 3 sekolah dasar.
Saat itu, dia tidak tahu apa yang terjadi. Yang dia ingat, alat berat pernah menggusur lahan di sekitar tempat tinggalnya. Memori itu membekas dalam ingatan seperti sebuah mimpi buruk.
“Dulu, saya merasa bingung, ini masalah apa?”
Dina berharap, anak-anaknya tidak mengalami pengalaman serupa dengannya, tak mendapatkan hak pendidikan karena konflik.
“Mimpi saya janganlah sampai anak-anak mengalami seperti yang saya alami pada masa kecil,” katanya,
Ari Putra pun alami sama. Sudah sekitar setahun ini pria 23 tahun ini bekerja di proyek pengerjaan jalan di perbatasan Kabupaten Bungo dan Tebo. Orangtuanya tinggal di Dusun Kelapa Kembar, dalam bayang-bayang penggusuran.
Sejak dia kecil diungsikan ke tempat neneknya, bersekolah dan tinggal jauh dari orang tua. Meski sudah mendapatkan pekerjaan di luar desanya, tak menyurutkan dia mengambil peran untuk memperjuangkan tanah mereka yang kena gusur.
Ari tidak pernah merasa terpisah dengan perjuangan kelompoknya. Dia ikut pelatihan yang diselenggarakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) untuk memetakan prioritas lokasi-lokasi reforma agraria di Jambi.
Dalam kegiatan ini, mereka diberi pemahaman tentang potensi wilayah dan tata ruang. Anak muda, katanya, harus ambil bagian dalam perjuangan agar generasi ke depan tidak mengulangi kegetiran yang pernah dia rasakan.
“Ini bukan persoalan rebut lahan saja. Tapi ini adalah bagian melawan ketidakadilan dan kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam,” katanya.
Hail panen petani Tebo. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia
***
Pagi masih basah oleh embun, Sadli duduk di dekat kolam ikan di samping rumahnya. Dia memeluk kucing kesayangannya, Ipung. Setidaknya, lebih dari belasan kucing dia pelihara.
Sadli adalah tokoh pergerakan petani Serikat Tani Tebo (STT), sebuah organisasi yang memperjuangkan lahan-lahan masyarakat di wilayah sengketa di Kabupaten Tebo.
“Tujuan saya untuk mempertahankan lahan. Saya melihat ketidakadilan, saat lahan-lahan masyarakat dikuasai oleh perusahaan.”
Sadli cerita tentang awal mereka menggarap tanah.
“Awal kami datang ke sini membuka lahan tahun 2001. Kami tidak tahu kalau ini adalah hutan produksi. Tempatnya, sudah tak tampak seperti hutan, hanya ada semak belukar,” katanya.
Lahan mulai mereka garap dan tanami padi ladang. Semua hanya untuk bertahan hidup.
Pada 2006, perusahaan masuk membuka jalan akses. Sekitar 200 hektar lahan yang tergarap warga, terancam tergusur. Saat itu, mereka baru tahu kalau perusahaan telah mendapat izin operasional sejak 2004.
“Kami coba cegat tetapi tidak kuasa. [Saya sudah duga] kedepan pasti akan terjadi konflik karena jalan melewati kebun dan ladang warga,” kata Sadli.
Alat-alat berat pun perusahaan kerahkan. “Satu alat berat itu dikawal tentara berkisaran 3-4 orang,”
Dalam keputusasaan masyarakat berusaha menghentikan. Perlawanan ini tidaklah sepadan. Mereka pun mencari tempat mengadu.
“Kami lalu dikenalkan kepada organisasi yang waktu itu dipimpin oleh saudara Irman, namanya PPJ (Persatuan Petani Jambi).”
Kala itu, PPJ sedang bermasalah. Mereka menghadapi intimidasi dan tekanan dari penguasa. Mereka dianggap melanggar hukum karena berorganisasi melawan penggusuran.
“Pemerintah tidak ada pembelaan kepada kami, bahkan kami yang berorganisasi ini dianggap melanggar hukum. Kami dipanggil Kapolsek, ditanya, diintimidasi aparat dan dianggap pembangkang,” kenang Sadli.
Demi perjuangan lahan, para petani pantang surut. Pada 2013, mereka mendirikan organisasi yang dinamakan Serikat Tani Tebo. Tujuannya untuk menghentikan penggusuran dan mempertahankan lahan warga.
Berbagai kelompok tani di berbagai wilayah di Tebo bergabung, termasuk Tanjung Beringin, Kelapa Kembar, Pematang Tebat, dan Sungai Landai. Anggota terus bertambah, mencapai lebih dari 1.300 orang.
Dalam perjalanannya mereka berjumpa Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Jambi, jejaring kerja yang berjuang untuk keadilan agraria di Indonesia.
Dalam menyikapi masalah konflik, STT memilih sikap non-cooperative. Peluang kemitraan yang ditawarkan perusahaan pernah mereka tolak. Bagi STT, perundingan harus melahirkan posisi adil dan setara.
Pelepasan kawasan di Lubuk Mandarsah bagi STT adalah harga mati. Jawabannya dapat ditebak, perusahaan menolak. Negosiasi berhenti. Di lapangan, para petani menanami lahan.
Garis keras itu menghadapi perbedaan secara internal. Di Dusun Sungai Landai, sebagian warga cenderung menerima tawaran kemitraan. Muncul kelompok baru yang bernama, Sungai Landai Bersatu. Kesepakatan dengan perusahaan pun terjalin, difasilitasi kontak-kontak perusahaan dan pemuka desa.
Tidak semua orang bahagia dengan hasil itu. Kemitraan hanya untuk sebagian orang. Sekitar 80-an petani, -termasuk Jusmawati tetap menolak. Mereka membentuk kelompok bernama Tani Mandiri.
“STT mendukung perjuangan Nyai Jusmawati dan teman-teman di Sungai Landai. Mereka sudah lama berjuang, namun hanya dimanfaatkan segelintir orang,” kata Sadli.
Mereka yang disebut Sadli adalah beberapa oknum individu. Ada beberapa antara lain, yang menjabat sebagai pemuka desa. Persoalannya, ada tanah yang berstatus areal penggunaan lain (APL) yang sebenarnya milik masyarakat, namun berakhir sebagai kemitraan dengan perusahaan.
Sadli menganggap ini bentuk lain dari okupasi lahan oleh perusahaan, di luar wilayah konsesinya.
“Saya sudah capek, keadilan harus ditegakkan.” Sadli menarik napas berat.
Keadilan tidak akan tercapai kalau tanah,-sebagai aset produktif warga negara–, hanya dikuasai segelintir orang.
“Ironis, kita petani tetapi tidak memiliki tanah. Tanah adalah sumber kehidupan bagi petani, tanpa tanah tidak dapat bertani. Sedang pemerintah banyak beri izin kepada perusahaan besar. Di mana keadilan?”
Dia percaya kalau petani memiliki tanah, tidak lagi bergantung dan menengadahkan tangan pada bantuan pemerintah seperti program bantuan langsung tunai (BLT), bantuan sosial ataupun bantuan beras untuk orang miskin (raskin). Kalau warga memiliki lahan untuk berusaha, dia percaya kemiskinan di Indonesia akan berkurang bertahap.
Sadli berharap, masyarakat bisa punya tanah hingga dapat hidup layak dan berdikari.
“Para petani harus memiliki sertifikat agar ada bukti kepemilikan legalitas atas lahan. Negara harus hadir.”
Sadli dan istri, petani Tebo, Jambi, yang berupaya mempertahankan tanah yang berkonflik dengan perusahaan kayu. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia
*******
*Tulisan ini terbit atas kolaborasi Mongabay Indonesia dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Gerak Serikat Petani Pasundan Wujudkan Mandiri Agraria
Sumber: Mongabay.co.id